Thursday, January 27, 2022

(Story-Bag. 4) Biduk Itu Hampir Karam

 

https://www.suara.com/

Memilih Pergi

Tapi masalah belum selesai. Suaminya mengaku cinta pada perempuan itu, namun juga tak ingin pisah dengan Fia. Tak terima Fia dengan keputusan suaminya. Fia tak tahu seluk beluk poligami.

Sebatas pengetahuannya selama ini, poligami butuh kecukupan harta suami dan kebesaran hati isteri pertama. Keduanya tak ada pada rumah tangganya. Fia lalu pergi ke rumah pamannya di pelosok daerah untuk menenangkan diri. Dia hanya pamit pada mertuanya. Tapi tak bilang mau menginap dimana.

Tak seorang pun tahu keberadaan Fia. Dia tak mengizinkan pamannya memberi info tentang dirinya pada ibu dan kakak-kakaknya. Fia benar-benar ingin menikmati kesendiriannya.

Setelah sebulan lebih berlalu, dia baru mau memegang ponsel. Dihubunginya keluarga dan teman-temannya yang terpercaya. Dia berkonsultasi tentang masalahnya pada teman-temannya.

Kepada paman dan kakak-kakaknya diapun mengungkapkan kondisi rumah tangganya yang sudah diujung tanduk. Dia minta pendapat pada kakak-kakanya tentang menggugat cerai suaminya.

Kakak pertama tak setuju. Fia diminta harus sekuat tenaga mempertahankan rumah tangganya. Sebab Fia harus mempertanggungjawabkan pilihannya. Kakak kedua mendukung Fia dan bersedia menampung Fia dan anaknya sampai mereka bisa mandiri.

Sementara kakak ketiga pendapatnya lebih sejuk. Fia diminta memastikan kembali kondisi suaminya. Jika memang tak ada penyesalan dan keinginan berubah, maka pisah lebih baik.

Sebaliknya, jika suami Fia bisa meyakinkannya untuk berubah, maka disarankan agar mereka merapikan kembali rumah tangga yang sempat berantakan. Fia dan suaminya harus sama-sama intropeksi diri, sama-sama merubah diri untuk rumah tangga yang lebih baik ke depannya.

Pendapat kakak ketiga yang diharapkan Fia bisa terjadi. Tapi dia pesimis. Dalam situasi penuh ketidakpastian seperti itu, Fia tetap mengencangkan salat malam dan doa-doanya. Minta jalan terbaik pada Allah swt.

 

Rumah Tangga Tak Jadi Karam

Tak lama suami Fia dapat kabar tentang keberadaan Fia. Dia pun segera mendatangi Fia. Mereka bicara dari hati ke hati.

“Jadi gimana bang, pisah aja kita?” ucap Fia tak bersemangat.

“Fia ini ngomong apa sih. Mana mau abang pisah sama Fia. Fia kok nggak bilang-bilang mau pergi. Kecarian abang. Rindu kali abang sama Fia. Nggak enak kali hidup abang nggak ada Fia. Pulang la kita yok!” Lelaki itu memelas.

“Nggak mau aku bang kalau masih kayak gini-gini aja abang. Nggak tahan aku. Pisah ajalah udah”, ucap Fia yang mulai menangis.

“Jangan gitu la Fi. Udah abang tinggalkan dia. Nggak di Belawan lagi abang. Tiga minggu yang lalu jumpa abang sama orang di Mesjid. Cerita-cerita kami. Diajaknya abang pengajian. Udah ada tiga kali abang ikut pengajian sama dia. Enak rupanya. Diingatkan mati. Diingatkan rezeki. Dibilang ustaz, kalau menyakiti isteri sempit terus rezekinya. Dia pun tau kerjaan abang ada ribanya. Diajaknya abang dagang. Di Bogor ada saudaranya yang punya ruko lagi kosong. Kalau abang mau bisa dipakek cuma-cuma untuk dagang. Jadi kekmana menurut Fia?”

Senang bukan kepalang hati Fia. Saudara ibunya banyak di Jakarta dan Bogor. Dulu waktu gadis pun dia pernah lama tinggal di rumah saudaranya disana. Jadi kenal baik dia sama sanak keluarga dan suasana disana.

Antusias-lah keduanya bercerita tentang pindah profesi, pindah rumah dan pindah suasana ke pulau Jawa. Ada setitik harapan akan kembalinya kebahagiaan berumah tangga.

Bagi Fia inilah jawaban dari sujud dan doa-doanya selama ini. Meski ujian hidup takkan pernah berhenti. Setidaknya ujian satu ini telah selesai dan akan berganti pada ujian-ujian lainnya.

Mereka berdua berjanji untuk saling menguatkan dan saling memperbaiki diri dengan rutin ke majelis ilmu. Karena hanya Allah swt tempat bersandar dan syariahNya solusi terhadap segala permasalahan. 

Baca Juga:

(Story-Bag. 1) Biduk Itu Hampir Karam

(Story-Bag. 2) Biduk Itu Hampir Karam

(Story-Bag. 3) Biduk Itu Hampir Karam

0 Comments

Post a Comment