https://www.suara.com/ |
Memilih Pergi
Tapi masalah belum selesai. Suaminya
mengaku cinta pada perempuan itu, namun juga tak ingin pisah dengan Fia. Tak
terima Fia dengan keputusan suaminya. Fia tak tahu seluk beluk poligami.
Sebatas pengetahuannya selama ini,
poligami butuh kecukupan harta suami dan kebesaran hati isteri pertama.
Keduanya tak ada pada rumah tangganya. Fia lalu pergi ke rumah pamannya di
pelosok daerah untuk menenangkan diri. Dia hanya pamit pada mertuanya. Tapi tak
bilang mau menginap dimana.
Tak seorang pun tahu keberadaan Fia. Dia tak mengizinkan pamannya memberi info tentang dirinya pada ibu dan kakak-kakaknya. Fia benar-benar ingin menikmati kesendiriannya.
Setelah sebulan lebih berlalu, dia baru
mau memegang ponsel. Dihubunginya keluarga dan teman-temannya yang terpercaya. Dia
berkonsultasi tentang masalahnya pada teman-temannya.
Kepada paman dan kakak-kakaknya diapun
mengungkapkan kondisi rumah tangganya yang sudah diujung tanduk. Dia minta
pendapat pada kakak-kakanya tentang menggugat cerai suaminya.
Kakak pertama tak setuju. Fia diminta
harus sekuat tenaga mempertahankan rumah tangganya. Sebab Fia harus
mempertanggungjawabkan pilihannya. Kakak kedua mendukung Fia dan bersedia
menampung Fia dan anaknya sampai mereka bisa mandiri.
Sementara kakak ketiga pendapatnya lebih
sejuk. Fia diminta memastikan kembali kondisi suaminya. Jika memang tak ada
penyesalan dan keinginan berubah, maka pisah lebih baik.
Sebaliknya, jika suami Fia bisa
meyakinkannya untuk berubah, maka disarankan agar mereka merapikan kembali
rumah tangga yang sempat berantakan. Fia dan suaminya harus sama-sama
intropeksi diri, sama-sama merubah diri untuk rumah tangga yang lebih baik ke
depannya.
Pendapat kakak ketiga yang diharapkan Fia
bisa terjadi. Tapi dia pesimis. Dalam situasi penuh ketidakpastian seperti itu,
Fia tetap mengencangkan salat malam dan doa-doanya. Minta jalan terbaik pada
Allah swt.
Rumah Tangga Tak Jadi Karam
Tak lama suami Fia dapat kabar tentang
keberadaan Fia. Dia pun segera mendatangi Fia. Mereka bicara dari hati ke hati.
“Jadi gimana bang, pisah aja kita?” ucap
Fia tak bersemangat.
“Fia ini ngomong apa sih. Mana mau abang
pisah sama Fia. Fia kok nggak bilang-bilang mau pergi. Kecarian abang. Rindu
kali abang sama Fia. Nggak enak kali hidup abang nggak ada Fia. Pulang la kita
yok!” Lelaki itu memelas.
“Nggak mau aku bang kalau masih kayak
gini-gini aja abang. Nggak tahan aku. Pisah ajalah udah”, ucap Fia yang mulai
menangis.
“Jangan gitu la Fi. Udah abang tinggalkan
dia. Nggak di Belawan lagi abang. Tiga minggu yang lalu jumpa abang sama orang
di Mesjid. Cerita-cerita kami. Diajaknya abang pengajian. Udah ada tiga kali
abang ikut pengajian sama dia. Enak rupanya. Diingatkan mati. Diingatkan
rezeki. Dibilang ustaz, kalau menyakiti isteri sempit terus rezekinya. Dia pun
tau kerjaan abang ada ribanya. Diajaknya abang dagang. Di Bogor ada saudaranya
yang punya ruko lagi kosong. Kalau abang mau bisa dipakek cuma-cuma untuk
dagang. Jadi kekmana menurut Fia?”
Senang bukan kepalang hati Fia. Saudara
ibunya banyak di Jakarta dan Bogor. Dulu waktu gadis pun dia pernah lama
tinggal di rumah saudaranya disana. Jadi kenal baik dia sama sanak keluarga dan
suasana disana.
Antusias-lah keduanya bercerita tentang
pindah profesi, pindah rumah dan pindah suasana ke pulau Jawa. Ada setitik
harapan akan kembalinya kebahagiaan berumah tangga.
Bagi Fia inilah jawaban dari sujud dan
doa-doanya selama ini. Meski ujian hidup takkan pernah berhenti. Setidaknya
ujian satu ini telah selesai dan akan berganti pada ujian-ujian lainnya.
Mereka berdua berjanji untuk saling
menguatkan dan saling memperbaiki diri dengan rutin ke majelis ilmu. Karena
hanya Allah swt tempat bersandar dan syariahNya solusi terhadap segala
permasalahan.
Baca Juga:
(Story-Bag. 1) Biduk Itu Hampir Karam
0 Comments
Post a Comment