https://www.suara.com/ |
Suami Berulah Lagi
“Abang dipindahkan ke Belawan sama kantor
Fi. Disana abang tinggal di mess. Seminggu sekali la abang pulang ya fi. Jadi
wakil manajer abang disana. Sedikit lagi tercapai keinginan abang. Doain ya
Fi.”
Telah empat bulan berlalu dari kejadian
itu. Kehidupan rumah tangga Fia kembali seperti biasa. Dia hampir lupa pada
luka hatinya. Ribut sama mertua pun tak pernah. Walau dimatanya nilai mertua
masih sama, menjengkelkan.
Tapi ucapan suaminya tentang dipindahkan
bekerja ke daerah berjarak tiga jam dari tempat tinggal mereka, menyenggol luka
batinnya. Disatu sisi mendengar posisi suaminya naik, tak lagi kerja lapangan
menagih utang, melainkan di kantor dan sedikit naik gaji membuatnya senang.
Disisi lain, dia bakal jauh dari suaminya. Ini spontan membuatnya was-was. Apa yang akan dilakukan suaminya nanti disana tanpa dia. Dia berusaha menepis prasangka.
Tapi tak bisa. Dia memilih memata-matai
suaminya melalui teman kerja suaminya. Sebulan dua bulan tak ada masalah. Tak
ada laporan apa-apa dari teman suaminya. Semua baik-baik saja.
Tapi curiga di hati Fia tak mau minggat. Dia
tak tahan, ingin memastikan secara langsung. Dia ingin datang ke lokasi kerja
suaminya. Pada waktu yang sudah direncanakan, Fia bersama anaknya pun meluncur
ke tempat kerja suaminya.
Menyadari isterinya tiba-tiba ada di
kantornya, lelaki itu sedikit gugup.
“Fia kok nggak bilang mau datang?”
“Kalau bilang emang abang kasih aku ikut?
Selama ini nggak pernah abang ajak aku kesini. Mau main aja kok aku kesini. Mau
jalan jalan. Habis makan siang pulang aku bang. Makan siang di mess abang kita
ya.”
“Nggak usahlah. Berantakan kali messku.
Di warung aja kita makan ya. Warung yang dekat stasiun. Biar langsung
berangkat. Biar nggak capek kali kalian”.
“Udah disini masak kami langsung pulang.
Singgah dulu la ke mess abang ya. Sebentar aja-nya”.
Lelaki itu tak bisa mengelak lagi. Waktu
istirahat, mereka ke mess. Mess itu terlihat rapi. Tak ada piring kotor.
Lantainya bersih. Berbeda dengan ucapan suami Fia sebelumnya, kalau tempat
tinggalnya berantakan.
Perasaan Fia langsung tak enak. Tapi
sekuat tenaga dia berusaha bersikap tenang. Nalarnya masih jalan. Pikirnya,
kalau dia berteriak sambil menangis, suaminya tak mau terus terang.
“Ini siapa yang membereskan bang? Kita
terbuka aja ya bang. Aku nggak papa bang.”
Lelaki itu duduk bersila dan menunduk.
Dia diam sejenak. Lalu bicara.
“Ada kenal aku perempuan disini. Baik
kali dia sama aku. Sering dia kesini. Lama-lama terbiasa aku sama dia”.
Mendengar ucapan suaminya Fia terdiam.
Luka lama yang belum sembuh kini ditetesi garam. Pedih sekali. Lemas dia. Suaminya
akrab dengan perempuan lain. Mereka berdua di ruangan ini.
Fia terbayang kakaknya yang dulu
menentang pernikahannya. Fia menyesal dulu tak menuruti ucapan kakaknya. Dia
terisak lalu pergi meninggalkan suaminya. Lelaki itu menyusul Fia dan
mengantarnya ke stasiun bus menuju pulang.
Berdamai Dengan Mertua
Fia sampai di rumah saat mertuanya sedang
menyapu. Mertua Fia heran melihat mata Fia bengkak. “Kenapa Fia? Bengkak matamu
nak. Diapain kau sama suamimu?”
Mendengar pertanyaan tulus itu dada Fia
sesak. Fia nangis sejadi-jadinya sambil mengungkapkan isi hati pada mertuanya.
“Selingkuh dia mak. Kekmana aku ini mak. Mau cerai aja la aku. Nggak tahan aku.
Ini kedua kalinya dia kayak gitu. Disana sama perempuan lain dia mak.”
“Betul yang kau bilang itu?
Kok nggak tau mamak?
Kok nggak kau bilang sama mamak?” Perempuan
tua itu berkata sambil mengelus-elus punggung Fia.
“Yang sekali itu ku pikir berubah dia.
Rupanya diulanginya lagi. Udah nggak tahan aku. Tapi nggak tau aku mau kemana”.
Fia berkata sambil terus menangis.
“Ngapain kau pigi. Kau kan isteri sah.
Perempuan itu yang kegatalan. Ayok kita labrak dia. Biar mamak yang ngomong
sama dia. Dimana dia tinggal? Biar kesana kita.”
Hati Fia sedikit lapang mendengar
pembelaan mertuanya. Dia tak menyangka perempuan tua yang selama ini
dianggapnya lemah, pengalah, malah mengajaknya menang dari pelakor.
Tadinya dia hanya sekedar mencurahkan
perasaannya saja. Selintas pikirannya mengira, mertuanya takkan mempercayainya.
Bahkan balik menuduhnya menjelek-jelekkan suaminya.
Selama ini Fia sadar betul sering
menunjukkan sikap cuek dan ucapan ketus pada mertuanya. Sampai-sampai mertuanya
sering menginap di rumah kerabat. Ternyata mertuanya percaya pada ucapannya dan
peduli padanya.
Dia malu sama mertuanya. Sepulang dari
melabrak pelakor itu, Fia minta maaf sama mertuanya atas kesalahannya selama
ini. Sejak itu mereka mulai akrab kembali, seperti saat Fia masih pendekatan
dengan suaminya.
Baca Juga:
(Story- Bag. 1) Biduk Itu Hampir Karam
0 Comments
Post a Comment