https://www.suara.com/ |
Keluarga
Yang Menjengkelkan
Fia bahagia bisa menikah dengan lelaki
pilihannya. Baginya lelaki itu pasangan paling tepat untuknya. Kantong tipis
bukan masalah. Asalkan cinta. Setelah lama menunggu datangnya lamaran, akhirnya
bisa sah. Jadi dia terima lelaki itu apa adanya.
Tapi rupanya indah berumah tangga hanya
sebentar saja. Dua tiga hari pernikahan. Lebih tepat lagi kalau dikatakan, masa
pacaran jauh lebih indah dibanding setelah menikah.
Tiba-tiba saja usai akad nikah, prilaku
suaminya aneh. Tak seperti lelaki yang dia kenal sebelumnya. Pandangan mesra.
Senyum yang sering merekah. Canda tawa. Hilang semua. Lelaki itu lebih banyak
diam. Irit senyum. Kaku.
Seperti ada yang terjadi pada diri suaminya. Rasa yang tersembunyi. Yang masih jadi misteri. Apa ya?
Diajak bercanda, sesekali senyum suami Fia
mengembang. Setelahnya kembali kaku.
Suami Fia pergi bekerja di pagi hari.
Pulang hampir maghrib. Tampak lelah. Lesu. Lelaki itu seorang debt collector di
sebuah perusahaan leasing motor.
“Apa itu yang membuat suamiku berubah?
Dia lelah bekerja. Lelah menanggung beban tanggung jawab rumah tangga”, pikir Fia.
Sebab menikah berarti bertambah beban. Kalau
gaji selangit tak masalah. Ini tak jauh lebih banyak dari UMR. Meski ada sistem
capai target, jarang tercapai. Nagih utang ini loh. Hari gini. Hemmm.
Selama ini, suami Fia jadi andalan
keluarganya. Ayahnya telah wafat. Suami Fia membantu menghidupi mamak dan dua
adik perempuannya. Ditambah sedikit harta warisan dari ayah mereka.
Sempitnya ekonomi keluarga sebenarnya
salah abang ipar Fia juga. Dia bercita-cita tinggi mau jadi polisi. Tapi tak
cukup layak. Dicobanya jalur belakang. Lama-lama menipislah uang peninggalan ayah
mereka dibuatnya.
Sekarang bukan cuma untuk makan yang
susah. Rumahpun mereka tak punya. Terpaksa jadi kontraktor. Kontrak sana
kontrak sini.
Suami tak asyik lagi, mulai membuat ruang
masalah di hati Fia. Ruang masalah kedua adalah kelakuan abang ipar dan ibu
mertuanya. Bagaimana tak ikut pusing. Fia satu rumah dengan keluarga suaminya.
Di depan mata Fia abang iparnya selalu
minta uang sama mamak mertua. Kalau tak dikasih ngamuk dia. Mertua pun
menjengkelkan Fia. Perempuan tua itu lemah dimata Fia.
Menghadapi anak benalu itu tak tegas. Tak
garang. Sampai habis diporotin pun tak ada marahnya. Padahal anak benalu itu
anak tertua. Dia yang seharusnya paling pusing mikirin hidup mati keluarga.
Bukan malah menambah berat beban keluarga.
Suami yang kaku. Mertua yang lemah. Abang
ipar yang jadi benalu keluarga. “Aaaaaaah, keluarga ini menjengkelkan”, keluh
batin Fia.
Mertua Yang Usil
Dua tiga tahun berlalu. Satu adik ipar
perempuan telah menikah. Abang iparnya pun sudah pensiun jadi benalu. Lelaki
itu sudah menerima kenyataan kalau dirinya tak cukup layak secara fisik dan
keuangan menjadi polisi.
Dia sudah mengais rezeki dengan cara yang
lebih masuk akal. Tak lama menikah pula dia.
Anggota keluarga baru pun sudah hadir. Fia
melahirkan bayi tampan yang senyumnya manis kayak ayahnya. Bocah ini jadi
penghibur hati Fia, di tengah hiruk pikuk masalah yang membelitnya.
Satu dua masalah pergi. Tapi dua tiga
masalah datang lagi. Begitulah hidup, berteman akrab dengan masalah. Itu cara
Allah swt untuk membuat makhluk bergantung pada PenciptaNya. Bergantung pada
Kemahakuasaan Allah dan syariahNya.
Sehari-harinya Fia berjibaku dengan
pekerjaan rumah tangga. Dihadapinya semua bersama ibu mertua dan adik iparnya. Tambah
lagi kesalahan mertua dimata Fia. Selain lemah, baginya mertuanya itu usil.
Suka ikut campur urusan orang. Terutama tentang bayinya.
Pernah Fia memergoki bayinya dikasih
durian sama neneknya. Menurut Fia kesayanannya itu belum waktunya makan durian.
Dia baru saja genap dua tahun. Sering begitu. Fia mau A, mertua melakukan B. Fia
suka C, mertua berbuat D.
Fia merasa caranya mendidik anaknya dikacaukan mertua. Fia tidak tinggal diam. Dengan nada ketus dan bermuka masam, diutarakan isi hatinya pada mertua. Alhasil hubungan mereka sering menegang.
Baca Juga:
(Story- Bag. 2) Biduk Itu Hampir Karam
0 Comments
Post a Comment