https://www.suara.com/ |
Misteri Suami Pulang Malam
Rupanya masalah sama mertua belum
seberapa. Masih ada yang lebih berat dari itu. Ia mencium aroma perempuan lain
dalam kehidupan suaminya. Belakangan suaminya suka pulang hampir pagi. Kadang
dalam keadaan sempoyongan dengan bau mulut menyengat.
Saat pagi hari Fia menanyakan kebiasaan
baru suaminya itu. Tapi suaminya bersikap dingin. Hanya bilang, “Ngumpul-ngumpul
sama kawan.”
Naluri seorang isteri itu tajam. Atau Fia cemburu berlebihan, jadi curigaan. Barangkali sulit memisahkan antara naluri yang tajam dengan cemburu buta ya. Yang pasti, kali ini insting Fia benar. Suaminya tak sekedar ngumpul sama teman. Ada yang lain disana.
Ditanyakan Fia pada teman kerja suaminya.
Apa saja yang mereka lakukan waktu lagi ngumpul. Teman suami Fia mengaku, ada
yang sedang dekat dengan suami Fia. Seorang pelayan bar bergabung bersama
mereka saat ngumpul disitu.
Suami Fia ngobrol dengan perempuan
bahenol itu. Apa yang mereka berdua ceritakan, tak jelas terdengar sekitar.
Tapi memang dekat. Fia lemas. Galau. Hatinya tertusuk-tusuk. Separuh jiwanya
seperti terlepas dari dirinya, melayang ke udara.
Fia mencoba lagi dan lagi bertanya pada
suaminya. Apa yang sebenarnya terjadi. Ada apa?
Mengapa lelakinya itu memilih perempuan
lain untuk bercerita?
Sementara pada dirinya, selama ini
suaminya lebih banyak diam. Mengapa tidak mengungkap isi hati pada isteri.
Teman satu ranjang sendiri. Sejuta tanya mengisi benak Fia. Namun belum juga
ada jawaban yang jelas.
Untunglah Fia melampiaskan kegalauannya
dengan cara yang benar. Disaat hatinya getir, dia ingat pada Allah swt. Dia
berkeluh kesah pada Sang Pemilik hati. Diadukannya semua rasa pada Yang Maha
membolak balik hati.
Hampir tiap malam Fia curhat dengan
Rabbnya. Dimana malam-malam itu tak ada suami di dekatnya. Dalam perenungannya,
dia merasa butuh teman. Dia ingin bersama orang-orang yang bisa saling
menyemangati untuk kuat menghadapi ujian.
Fia pun mengontak beberapa teman,
menanyakan bagaimana caranya dia bisa punya teman hijrah. Tak lama ada titik
terang. Tak jauh dari rumah Fia, ada jamaah pengajian. Tempat ngumpul para emak
untuk berbagi ilmu Islam.
Segera dia mendatangi jamaah itu. Selama
ini kehidupan Fia memang minim interaksi dengan tetangga. Dia tinggal di lingkungan
yang sunyi sepi dari suasana pertetanggaan.
Dia tak punya teman bercerita disana.
Adik iparnya cuek. Maklum remaja. Sama mertua Fia malas bertegur sapa. Sikap Fia pun bikin mertuanya sering menginap
di rumah saudara. Kadang di rumah saudara A. Kadang di rumah saudara B.
Mertuanya sampai tak tahu masalah yang
dihadapi Fia. Ibu kandung Fia sudah tua. Fia anak bungsu dari 7 bersaudara.
Jadi dia tak mau ibunya kepikiran kalau dia cerita.
Lagipula sejak awal, pernikahannya tak
disetujui keluarga. Sebab lelaki pilihan Fia tak memiliki profil suami yang layak
dimata keluarganya. Miskin. Pemalas. Keluarga Fia tak yakin lelaki itu bisa
membahagiakan Fia.
Mengingat hal itu, Fia gengsi mengadu
pada kakak-kakaknya. Pasti dia yang disalahkan atas situasi buruk yang
menimpanya. Jadi Fia benar-benar merasa sendiri.
Dengan jamaah pengajian inilah pertama
kalinya ia memiliki teman. Meski jarak rumah mereka tak cukup dekat. Pertemanan
dengan para emak hijrah membuahkan hasil.
Fia cukup kuat menunggu kejujuran
suaminya. Dia tak pernah meledakkan amarah di depan suaminya. Dia hanya
bertanya dengan nada memelas, “Abang kenapa? Ceritalah sama aku. Abang kok
minum? Itu kan dosa!”
Hampir setiap hari begitu. Tapi lelaki
itu masih saja membisu.
Pengakuan Suami
Tiga bulan berlalu. Suatu hari, akhirnya
suami Fia mau bicara juga. “Capek kali aku gini-gini aja. Mau punya motor bagus
pun nggak bisa. Habis-habis gitu aja uangku untuk kalian. Bosan aku”, keluh
lelaki itu.
“Mungkin, karena kerjaan abang
berhubungan dengan riba. Kata ustaz, riba bikin hidup tak tenang”, ucap Fia.
“Payah kerjaan ini kudapatkan. Belum
tentu dapatku lagi kerja yang lain kalau kutinggalkan ini. Aku mau karirku
naik. Jadi manajer. Makanya kerja keras aku biar mencapai target. Tapi lelah
aku, hasilnya pun tak nampak”, ucap lelaki itu.
“Jadi kenapa abang malah dekat sama
pelayan bar itu? Uang abang habis kesana, bukan untuk kami. Sedikit abang kasih
aku uang belanja. Sewa rumah pun udah dua bulan nunggak. Sebentar lagi bisa
diusir kita”, Fia berkata sambil menahan isak.
Matanya berkaca-kaca. Lelaki itu diam
sejenak.
“Aku nyaman sama dia”.
Lelaki itu diam lagi.
“Fia mau aku jujur kan. Jujur aku sama Fia
ya. Hamil dia. Tapi tenang aja. Nggak kulanjutkan lagi hubunganku sama dia.
Dapat kerja dia di Malaysia. Mau berangkat dia. Mau digugurkannya katanya”, aku
lelaki itu.
Mendadak panas hati Fia. Seperti mimpi
yang baru saja didengarnya. Sayangnya itu kenyataan. Suaminya telah mendua,
dengan cara yang menjijikkan. Fia hanya diam mendengar pengakuan suaminya.
Dipeluknya buah hatinya.
Tak lama suami dan anaknya tertidur.
Namun mata Fia tak mau terpejam. Tak sanggup dia mengakhiri malam itu dengan
tidur nyenyak. Bayang-bayang suram masa depan ada dibenaknya. “Setelah ini bagaimana?”
“Apa yang harus aku lakukan?”
“Dia mengkhianatiku.”
“Dia merendahkan harga diriku. Dia telah
berzina. Ya Allah.”
Semalaman Fia menangisi kebingungannya.
Mau menuruti rasa kecewa lalu pulang ke rumah keluarganya, dia malu. Bertahan
dengan lelaki itu, dia sakit hati. Waktu terasa sangat lama berlalu. Fia
melalui malam itu dengan sangat berat. Hingga pagi pun tiba.
Pagi itu suami Fia pergi bekerja tanpa
sarapan yang biasa disedikannya. Fia memilih sibuk mengurus bayinya. Hari itu
Fia dihubungi teman kerja suaminya. Itu kesempatan Fia untuk bertanya, kenapa
sebagai teman mereka membiarkan suaminya sedekat itu pada perempuan lain.
“Kami ingatkan juga, jangan terlalu
dekatlah sama cewek itu. Tapi kami pun nggak berani terlalu ikut campur urusan
suamimu Fi. Marah pulak nanti dia sama kami. Dia ada cerita memang. Suntuk kali
dia. Udah uang nggak ada, isteri banyak nuntut. Terus dilihatnya pulak
isterinya nggak akur sama mamaknya. Pening dia. Mau santai dulu katanya dia
sama cewek itu. Nggak nyangka kami sampek hamil cewek itu.”
Dari percakapan itu Fia baru tahu,
ternyata suaminya memperhatikan hubungannya dengan mertua. Selama ini suaminya
tak bilang apa-apa. Rupanya ada yang mengganjal dihatinya.
Payah memang lelaki itu, banyak diam.
Padahal masalah bisa terurai dengan komunikasi. Pasangan harus tahu apa yang
dirasakan masing-masing mereka. Apa hal-hal yang disukai dan tak disukai dari masing-masing.
Jadi bisa saling memperbaiki
Hari itu suami Fia kembali pulang kerja
seperti sebelumnya, hampir maghrib. Fia masih mendiamkan suaminya. Sampai
suaminya yang mulai mengajaknya bicara. “Abang minta maaf Fi. Sadarnya abang
udah buat Fia sakit hati. Udah nggak ada hubungan abang lagi sama perempuan
itu. Udah pigi dia ke Malaysia”.
Fia tak menanggapi ucapan suaminya. Fia sibuk bermain dengan anaknya. Beberapa hari kemudian mereka diundang ke acara saudara suami Fia. Pergilah mereka sekeluarga kesana. Suasana perlahan kembali mencair, meski luka hati Fia tak sepenuhnya kering.
Baca Juga:
(Story- Bag. 1) Biduk Itu Hampir Karam
0 Comments
Post a Comment