https://intisari.grid.id/ |
Seorang model di Inggris meminta maaf
kepada ayahnya, setelah ia berpenampilan sangat terbuka di sebuah acara pesta.
Dia merasa aksinya melukai ayah. Gadis itu berusaha meyakinkan ayahnya kalau
dirinya sebenarnya tak suka berpakaian demikian. Dia lakukan itu semata – mata untuk
kebutuhan kerja. (https://wolipop.detik.com/24/09/2021)
Aku jadi teringat serial “American Wife”. Dalan serial itu juga ditampilkan sosok ayah di barat yang protektif kepada anak gadisnya. Secara usia menurut kebiasaan di amerika, anak gadisnya sudah boleh bepacaran dan pergi berduaan dengan pacarnya.
Namun pria itu selalu kelihatan tak rela
anak gadisnya jalan bareng pacar. Sempat pria itu memarahi anak gadis serta
pacarnya yang ingin belajar berdua di kamar si gadis. Si gadis membela diri, karena
merasa dia sudah cukup usia untuk pacaran dan tetap mengajak pacarnya ke kamar.
Ayahnya pun tak bisa menahan diri hingga
masuk ke kamar sang putri tanpa izin untuk memastikan di kamar tidak terjadi
apa – apa. Ada beberapa film lainnya yang pernah menceritakan hal semisal.
Baca Juga: Melindungi Anak Dari Kekerasan, Butuh Aksi Nyata
Sampai disini aku memahami kalau dimanapun seorang ayah sama saja, memiliki naluri melindungi anaknya. Meski budaya pergaulan di barat bebas, namun hati kecil orang tua disana tak sepenuhnya bisa menerima budaya kebebasan itu. Mereka merasa kebebasan itu mengancam keselamatan anaknya. Meski hanya sebatas berpakaian terbuka. Namun seorang ayah paham hal itu dapat mengundang kejahatan pada anak gadisnya.
Kekhawatiran ayah terhadap anak pun terbaca oleh sang anak. Seperti kisah model Inggris itu. Dia tahu prilakunya buruk dihadapan ayahnya. Dia tahu perbuatannya melukai ayahnya. Dia tahu ayahnya menyayangi dan ingin melindunginya sehingga dilarang berpakaian terbuka yang membahayakan diri anak perempuan.
Maha Suci Allah swt yang telah menanamkan
naluri kasih sayang dan rasa mempertahankan diri pada manusia. Dengan naluri
itu seorang ayah bisa merasakan kasih sayang pada keluarganya.
Terkhusus bagi anak gadisnya, ayah akan
merasa lebih protektif. Karena dia merasa dirinyalah yang paling baik dalam
merawat dan menjaga anak gadisnya. Sejak kecil ayah bersama ibu berjuang
membesarkan anak – anak. Wajar jika ayah tak rela putri yang disayanginya di sakiti
orang lain.
Kalau hari ini kita banyak mendapatkan
informasi ataupun menemukan fakta di sekitar kita tentang ayah yang tak ideal,
itu bukanlah jati diri mereka yang sebenarnya. Bisa dipastikan pikirannya telah
dirusak oleh paham – paham keliru. Sehingga naluri tanggung jawab sebagai ayah
diabaikannya. Rasa yang hadir justru egoisme. Hingga keluarga yang seharusnya
dijaga ayah, malah tersakiti oleh tingkah lakunya.
Baca Juga: Anak Durhaka Didikan Sekulerisme
Untuk bisa menajamkan perasaan yang baik
pada manusia, memang tak bisa dibiarkan terbentuk dengan sendirinya. Sebab
antara rasa mementingkan orang – orang yang disayangi dengan rasa mementingkan
diri sendiri serta rasa segan dengan Yang Maha Pencipta, semua tarik menarik
dalam diri seseorang.
Kebanyakan akhirnya lebih memilih
mengutamakan dirinya sendir. Bersika[ egois. Karena tak mampu kendalikan diri.
Tak ada pemahaman yang menyadarkan dirinya.
Disinilah akhirnya kita melihat ada ayah
yang tak menafkahi keluarga. Ada ayah yang bermalas malasan bekerja. Bahkan ada
ayah yang menjual anak gadisnya pada lelaki hidung belang atau malah dia yang
merusak kehormatan anak gadisnya. Kita tentu prihatin menyaksikan hal ini.
Kita menyadari kalau lingkungan paling
berpengaruh terhadap pembentukan pribadi seseorang. Bagaimana dengan lingkungan
kehidupan bernegara kita hari ini? Sudahkah sistem pendidikan, politik, ekonomi
dan sanksi memudahkan terbentuknya para lelaki yang bertanggung jawab terhadap
keluarga?
Baca Juga: Antara Pisang Ambon Dan Aturan Hidup
Jawabnya mudah. Setiap mesin yang
menghasilkan produk rusak berjumlah banyak, itu artinya mesin itulah masalahnya.
Sebaliknya jika produk hasil kerja suatu mesin kebanyakan bagus, hanya beberapa
yang kurang baik, maka bahan baku produk itu yang kemungkinan besar bermasalah.
Begitulah, kalau jumlah ayah ideal lebih
banyak daripada ayah yang buruk, maka memang para lelaki itulah yang tak bisa
dibentuk menjadi baik. Mereka memang nakal. Tapi ketika jumlah ayah yang buruk
ternyata jauh lebih banyak daripada yang baik, bisa dipastikan sistem kehidupan
bermasyarakat dan bernegara kitalah yang bermasalah.
Rasa – rasanya itu yang terjadi hari ini.
Lingkungan kehidupan bernegara kita menjauhi peran agama dalam mengatur
kehidupan. Kehidupan manusia cenderung dibebaskan sehingga muncullah orang –
orang egois yang menjengkelkan.
Mudah mudahan kita bisa intropeksi diri dan kembali mempertimbangkan peran agama dalam mengatur kehidupan pribadi, masyarakat serta negara kita. Apalagi bicara Islam, yang memang merupakan aturan hidup. Bukankah agama merupakan sumber kebaikan? Lalu mengapa Islam tak boleh menjadi sistem nilai dalam kehidupan kita?
Baca Juga: Kapitalisme Hancurkan Asa Anak Negeri
0 Comments
Post a Comment