Friday, January 15, 2021

Anak Durhaka Didikan Sekulerisme

 

https://newsmaker.tribunnews.com/

Hubungan terkuat dan terdekat dalam keluarga adalah hubungan antara ibu dan anak. Bagaimana tidak, sejak hadirnya janin bayi hingga berproses untuk tumbuh dan berkembang, anak menyatu dengan ibunya. 

Selama 9 bulan anak dibawa ibu kemana pun pergi. Ibu merasa sakit dan tidak nyaman karena ada bayi diperutnya. Namun ia terus bertahan hingga bayi itu lahir ke dunia. Saat itu anak masih terus dekat dengan ibunya. Hingga masa dimana anak semakin tumbuh besar, mengenal dan belajar banyak hal serta mampu mandiri. 

Makanya dalam Islam anak diperintahkan untuk menghormati ibu tiga kali lebih banyak dibanding ayah.

Namun keluarga kekinian memang aneh. Hubungan ibu dan anak yang seharusnya dekat justru bagai asing satu sama lain. Penghormatan tertinggi anak yang seharusnya untuk ibu, justru tega merendahkan ibunya. Ada anak di kabupaten Demak, Jawa Tengah melaporkan ibu kandungnya ke polisi. Dia menuduh ibunya melakukan penganiayaan terhadap dirinya. Ini disebabkan sebuah cekcok yang terjadi antar mereka. 

Entah bagaimana persisnya, kuku ibu berusia 36 tahun itu mengenai satu bagian tubuh anak remajanya. Sang ibu pun dijerat dengan Pasal 44 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT subsider Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan.

Kasus terbaru tersebut mengingatkan kita pada juni 2020 silam. Saat itu viral kasus seorang anak yang melaporkan ibu kandungnya ke polisi. Pria asal Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) berusia 40 tahun hendak memenjarakan ibunya karena masalah harta. 

Saat itu polisi enggan memproses kasus tersebut karena sikap durhaka sang anak pada ibunya. Kasus anak melaporkan ibu ke polisi juga terjadi di kalangan artis. Membuat kita miris. Kenapa hubungan ibu dan anak tak lagi harmonis.

Sekulerisme Ciptakan Anak Durhaka

Berawal dari asas berkehidupan yang merajai masyarakat kita hari ini. Ia bernama sekulerisme, artinya pandangan yang memisahkan agama dengan kehidupan. Beginilah cara kebanyakan orang memandang kehidupan sejak barat berhasil menjajah negeri – negeri Islam. Agama hanya soal tata cara menyembah Sang Pencipta. Agama ruang privat, urusan individu dengan Sang Pencipta. Sementara dalam mengatur kehidupan, aturan agama tak diikutsertakan. 

Alhasil banyak manusia hari ini mengagungkan materi. Standar berbuat diukur dengan manfaat. Kebahagiaan diletakkan pada banyaknya harta yang dimiliki. Interaksi manusia juga dibangun dengan pandangan ini. Termasuk hubungan dalam keluarga, yang dipikirkan adalah tentang untung rugi.

Makanya di zaman ini biasa kita dengar ungkapan, “Anak disekolahkan oleh orang tua tinggi – tinggi kelak harus bekerja dan bisa membalas jasa orang tua”.

“Anak setelah lulus kuliah jangan buru-buru nikah. Bahagiakan orang tua dulu baru nikah.”

Saat tiba peringatan hari ibu, ada beberapa meme yang sering berseliweran di media sosial menyindir para anak. “Selamat hari ibu kau bilang. Tapi disuruh pun kau payah.”

“Duit aja kerjamu. Giliran disuruh ke kede tak mau kau.”

Dari sisi anak juga sama, nuansa untung rugi tampak juga padanya. Pernah penulis mendengar seorang anak berkata, “Kekmana mak, bapak sakit. Nggak bisa la dia ngasih duit aku.”

Jadi kalau ada anak durhaka yang tega memenjarakan ibunya, itu karena pemahaman sekuler yang ada pada dirinya. Kenapa anak sampai berpaham sekuler, tentu berasal dari nuansa pendidikan sekuler oleh orang tua, sekolah dan negara. Tak heran pada masyarakat sekuler hari ini, urusan harta menjadi sangat sensitif. 

Sengketa soal warisan yang akhirnya menciptakan perpecahan keluarga banyak kita temui. Termasuk munculnya panti jompo, yang lebih merupakan tempat penitipan para orang tua renta terlantar, karena anaknya enggan mengurusi mereka. Inilah potret kerusakan keluarga yang diakibatkan penerapan sistem hidup buatan manusia

Anak Berakhlakul Karimah Dalam Khilafah

Ingatkah kita kisah generasi Islam awal Mushab bin Umair. Sang pembuka dakwah di Madinah ini memiliki akhlak luar biasa terhadap ibunya. Ibu Mushab yang seorang kafir tak setuju atas masuk Islamnya Mushab. Sang ibu lalu memboikot Mushab. Segala fasilitas berupa kemewahan yang awalnya dirasakan Mushab tidak lagi diberikan ibunya. 

Tak sampai disitu. Ibu Mushab lalu mogok makan. Semua dilakukan demi memaksa Mushab kembali ke agama nenek moyang. Namun Mushab tetap tenang. Imannya tak melemah kehilangan kemewahan. Dengan sikap sabar dan lemah lembut pada sang ibu, Mushab menunjukkan keteguhan imannya. 

Ingatkah pula kisah Uwais al Qarni yang sangat berbakti pada ibunya hingga karena itu ia masuk surga?

Lalu tahukah kita kisah para ibu ulama yang pesan-pesan mereka pada anak-anaknya sama, harus meletakkan ketaatan pada Allah swt di atas segalanya. Para ibu ulama memahami anak adalah titipan Allah swt yang harus dididik menjadi hamba Allah swt yang taat. 

Semangat menempa anak dengan ilmu yang menonjol pada kisah – kisah mereka seperti yang diceritakan dalam Buku Ibunda Para Ulama karya Sufyan bin Fuad Baswedan MA. Inilah gambaran kaum muslimin di masa kejayaan Islam.

Ketika Khilafah Islamiyah tegak sebagai institusi pelaksana syariah, maka asas pandangan hidup manusia adalah akidah Islam. Asas keimanan pada Allah swt mewujudkan masyarakat yang berbuat dengan standar halal haram. 

Keluarga pun dibangun sesuai ajaran Islam, sebagai institusi pembentuk dasar – dasar kepribadian Islam pada anak-anak. Ibu memahami kewajiban merawat dan mendidik anak sesuai Islam. Semua akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah swt.

Maka lahirlah anak-anak berakhlakul karimah sekaligus ulama. Mereka takkan berani berkata kasar pada ibunya. Sebab berkata ‘ah’ saja dilarang oleh Allah swt dalam al quran surat al Isra’ ayat 23. Proses pendidikan dalam keluarga mudah karena disokong oleh negara yang menghadirkan nuansa takwa di masyarakat.

Bukan berarti hari ini tidak ada anak-anak yang berbakti pada orang tuanya. Bukan berarti pula hari ini tak ada ibu yang tulus mencintai anak-anaknya serta mendidik mereka untuk bertakwa pada Allah swt. Namun jumlahlah lebih sedikit dibanding mereka yang berpandangan dengan orientasi untung rugi. Keluarga-keluarga salih itu bisa dibilang ‘produk gagal’ dari sistem rusak sekuler kapitalis. Sebaliknya gambaran keluarga harmonis menonjol dalam kekhilafahan.

Kalaupun ada yang bandel, hidup tak sesuai Islam, mereka berjumlah sedikit. Itupun dapat diredam dengan keberadaan sistem sanksi Islam. Untuk penghormatan kepada ibu, pada masa khilafah rasa-rasanya memang tak pernah terdengar kasus anak durhaka separah hari ini, dimana anak bagai orang asing yang tega menyakiti ibu kandungnya sendiri. Maka patutlah kita menyadari bahwa hanya Khilafah yang mampu menjaga keharmonisan keluarga.

0 Comments

Post a Comment