Pada salah satu cuitan di akun sosial media twitter miliknya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) membuka layanan pengaduan kepada masyarakat terkait tayangan yang kurang pantas di televisi. Sejak tweet itu dibuat November 2018, terdapat sekitar enam ratusan komentar dari netizen.
Rata – rata warga net mengkritik dan mengadukan berbagai tayangan hiburan di televisi berupa sinetron, talk show dan sejenisnya yang menampilkan adegan bermesraan, marah – marah dan sebagainya sebagai tayangan tak mendidik.
Ada salah satu respon netizen yang
menarik bagi penulis, dikirim sebulan setelah cuitan tersebut muncul, yakni
sebuah gambar bocah yang memegang kertas bertuliskan, “Pak Buk KPI, nama
saya Dhanes masih TK 0 kecil. Saya butuh tontonan yang baik, imajinatif,
mendidik. Janganlah hilangkan film kartun kesukaan saya, dan malah digantikan
dengan sinetron cinta, serigala ataupun reality show yang tidak bermutu. Moral
anak seumuran kami bisa hancur karena acara televisi Indonesia seperti sekarang
ini.”
Penulis paham, tulisan yang dipegang
Dhanes bukan dibuatnya sendiri. Bisa diduga kuat bahwa penulisnya adalah
orangtua Dhanes. Namun isinya sesuai dengan suara hati Dhanes dan apa yang
benar – benar dibutuhkan anak seumuran Dhanes untuk membersamai tumbuh kembang
mereka. Melihat perkembangan televisi saat ini, kita sudah bisa menebak,
pengaduan masyarakat bagai angin lalu, tayangan unfaedah jalan terus.
Baru – baru ini KPI kembali disoroti
karena diizinkannya eks terpidana kejahatan seksual anak, Saipul Jamil untuk
tampil di televisi pasca selesai menjalani hukuman. Kolom komentar tweet
layanan pengaduan KPI pun dihujani kritik terkait hal ini. KPI memang mengecam sambutan
meriah oleh sejumlah televisi di hari pembebasan SJ. Namun saat berbicara di
Podcast Deddy Corbuzier, Ketua KPI menyatakan
SJ boleh tampil di televisi asalkan untuk kebutuhan edukasi.
Baca Juga: Anak Durhaka Didikan Sekulerisme
Publik menghujat sikap stasiun televisi dan KPI yang terkesan lunak terhadap mantan pelaku pedofilia itu. Bahkan muncul petisi dari sebagian masyarakat yang berisi penolakan terhadap SJ untuk tampil kembali di televisi. Hingga tulisan ini dibuat, petisi itu setidaknya ditandatangi oleh lima ratus ribuan orang dari target sejuta tandatangan.
Belakangan
melalui wawancara dengan sebuah stasiun televisi, pihak KPI menyampaikan
permohonan maaf terkait pernyataan Ketua KPI tersebut. Disampaikan bahwa
kesalahan terdapat pada pemilihan diksi saja. Pada dasarnya KPI tidak memiliki
sikap tegas apakah mengizinkan atau tidak eks terpidana pedofilia untuk tampil
di televisi. Alasannya, belum ada norma hukum yang menyebutkan bahwa eks
terpidana tidak bisa tampil di media siar.
Namun kasus baru muncul lagi, yang membuat KPI semakin disoroti oleh publik. Ada dugaan pelecehan seksual dan perundungan di tubuh KPI. Seorang karyawan KPI berinisial MS mengaku pada publik telah mengalami hal menyakitkan itu sejak ia mulai bekerja di KPI pada tahun 2011. Ia dilecehkan, dipukul dan dimaki oleh sesama rekan kerjanya.
Pada tahun 2015 ia
kembali mengalami hal semisal hingga ia mengaku trauma dan merasa hancur. Ia
dua kali mengadu pada pihak kepolisian. Namun menurutnya laporan itu tidak
ditindaklanjuti.
Atas desakan publik, kasus ini pun diproses oleh yang berwenang dan ditanggapi serius oleh KPI. Tapi justru baru – baru ini kabarnya korban diminta mencabut laporannya terhadap KPI. Terduga pelaku pun berencana melaporkan balik korban atas tindakan cyber bullying karena kasus itu viral dan jadi perbincangan nasional.
Miris menyaksikannya. Pihak
terkait berusaha membela diri, terkesan tak memiliki kesadaran terhadap
buruknya prilaku pelecehan seksual dan perundungan.
Baca Juga: Cinta Dan Prinsip
Memperbaiki Cara Pandang
Sulit memang mengharapkan media hari ini secara maksimal menghadirkan tontonan yang sehat. Sebab kepentingan pribadi menjadi unsur utama yang dipertimbangkan saat berbuat. Diantara berbagai fungsi media, dibolehkan memang menjadikannya sarana berbisnis.
Hal itu boleh
dilakukan dengan tetap memperhatikan aspek edukasi pada tontonan. Unsur edukasi
merupakan hak dan kebutuhan penonton agar media menjadi pendukung dalam
pembentukan masyarakat yang sehat.
Namun saat kepentingan publik berbenturan dengan kepentingan pribadi, maka yang muncul adalah keegoisan. Media memanfaatkan kondisi sebagian masyarakat yang tak paham tentang hak dan kebutuhannya mendapatkan tayangan edukatif.
Masyarakat yang lemah daya pikir menyukai segala
hal berbau hiburan meski hal itu jauh dari unsur pendidikan seperti tayangan berbau
seksual, gosip dan kekerasan. Alhasil media terutama televisi berubah menjadi
industri yang kebanyakan memproduksi tayangan ‘sampah’ demi rating.
Baca Juga: Caraku Tetap Sehat Di Masa Pandemi
Pihak KPI sebagai pengawas penyiaran pun tak bisa berbuat banyak terhadap pelanggaran yang dilakukan stasiun televisi. Sebab mereka berhadapan dengan kepentingan pebisnis yang memiliki daya tawar paling kuat. Mereka sendiri memiliki kepentingan pribadi disamping juga harus turut memperhatikan kepentingan publik.
Seperti yang kita lihat, pihak yang kuat
biasanya selalu menang. Bagaimana dengan negara? Sepertinya sama, ‘di atas
sana’ merupakan kumpulan orang – orang yang memiliki kepentingan pribadi dan
sering mengutamakan kepentingan pribadi dibanding rakyat. Hal ini melemahkan
fungsi negara sebagai pengurus rakyat yang selayaknya mampu menciptakan
kehidupan yang baik bagi rakyatnya. Dengan adanya ruang dan peluang,
kepentingan pemilik kekuatan uang selalu menang di atas segalanya.
Maka dalam mengatasi hal ini tidak bisa dilakukan dengan sekedar merevisi undang – undang. Hal yang lebih mendasar adalah merubah cara pandang seluruh lapisan masyarakat terhadap standar perbuatannya. Bukan kepentingan pribadi yang seharusnya menjadi ukuran berbuat yang utama, melainkan standar berbuat yang datang dari Sang Pencipta.
Sampai disini penulis selalu prihatin karena berbagai pihak yang berbicara tentang masalah kemasyarakatan seperti kejahatan seksual dan perundungan, sangat jarang mengkaitkannya dengan agama. Apalagi ketika dibutuhkan peraturan negara untuk mengatasi masalah tersebut, agama selalu dikesampingkan.
Seolah berkumpulnya
anggota dewan untuk membuat undang – undang berdasarkan kehendak mayoritas
mereka telah mewakili kebutuhan masyarakat dan lebih hebat dari solusi Sang
Pencipta Allah swt.
Baca Juga: Melindungi Anak Dari Kekerasan, Butuh Aksi Nyata
Sikap mementingkan diri sendiri lahir dari asas berpikir sekulerisme, yakni ide memisahkan agama dari kehidupan. Saat agama ditempatkan di ruang sempit sebatas ibadah, maka kehidupan manusia akan berjalan sesuai hawa nafsunya. Wajar jika ada yang setuju eks terpidana pedofillia diberi ruang tampil di publik.
Wajar pula jika korban pelecehan
seksual dan perundungan terutama yang berhadapan dengan pemilik kekuatan sulit
mendapat keadilan. Wajar jika hari ini media begitu begitu saja, terus
berisikan tayangan tak mendidik. Wajar jika angka kejahatan seksual semakin
meningkat. Sebab semua terjadi karena manusia dibiarkan mengatur hidupnya semau
mereka.
Sebagai muslim, penulis optimis terhadap potensi Islam dalam menyelesaikan masalah kehidupan manusia. Dasar berpikir yang diajarkan Islam adalah keimanan pada Allah swt, RasulNya, KitabNya dan aspek lain yang diperintahkan Allah swt untuk diimani.
Keimanan yang lahir dari perenungan akan hakikat hidup melahirkan kesadaran untuk terikat pada aturan hidup dari Allah swt. Hal ini yang mewujudkan standar berbuat pada muslim, yakni berdasarkan halal dan haram. Jika semua lapisan masyarakat muslim memahami hal ini, dari level individu, masyarakat hingga negara, maka akan lebih mudah mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Sebab sistem politik, ekonomi, pendidikan, pergaulan, media dan sistem sanksi dalam Islam memiliki solusi tuntas bagi masalah yang ada seperti kekerasan seksual. Tinggal kita-nya saja yang menentukan, mau membuka diri terhadap syariah Islam, atau tetap terbelenggu oleh sistem kapitalis sekuler ala barat seperti sekarang ini. Wallahu a’lam bishawab.
Baca Juga: Antara Kecerdasan Dan Pilkada
0 Comments
Post a Comment