Umar bin Khattab dan Abu Lahab memiliki
persamaan. Mereka sama-sama pernah mencintai dan membenci Muhammad Rasulullah
saw. Perbedaannya juga ada, yakni beda waktunya.
Umar bin Khattab awalnya benci pada Muhammad saw. Saat itu Umar masih kafir. Kebenciannya pada Muhammad saw teramat sangat. Sampai-sampai ia pernah berniat membunuh sang nabi. Namun setelah masuk Islam Umar berubah drastis. Ia amat sangat mencintai Rasulullah saw lebih dari dirinya sendiri. Umar patuh pada Allah swt dan RasulNya. Rela mati demi membela Rasulullah saw.
Sementara Abu Lahab mencintai
keponakannya Muhammad saw sejak Muhammad kecil. Abu Lahab adalah salah satu
orang yang sangat gembira dengan kelahiran Muhammad saw. Sangking gembiranya,
dia memerdekakan budak bernama Tsuwaibah di hari kelahiran Rasulullah saw.
Namun ketika Muhammad saw diangkat
menjadi Rasul dan berdakwah mengajak mentauhidkan Allah dalam hati, ucapan dan
seluruh perbuatan, disitulah Abu Lahab berubah. Dia merasa Muhammad saw
menyalahi pemahamannya dan mengancam kepentingannya. Sejak itu Abu Lahab
benar-benar berubah. Kasih sayang itu hilang, berganti benci, hingga muncul
keinginan membunuh sang keponakan.
***
Kedua orang ini mengajarkan pada kita bahwa perasaan berdiri di atas pemikiran. Ya, pemikiranlah yang mempengaruhi perasaan. Hal ini sesuai fakta yang ada. Manusia belajar melalui informasi yang dia dapatkan dari berbagai sumber. Informasi-informasi yang mampu mempengaruhinya itulah yang dia pegang.
Baca Juga: Cara Ulama Mencintai, Tetap Rasional
Selanjutnya ketika ada orang-orang yang
sepaham dengannya, merasa cocok saat berkomunikasi, punya kesamaan hobi,
ditambah enak dipandang mata, disitu lahirlah rasa suka. Terjadi sebaliknya.
Orang yang menyebalkan, tak sepaham, akan memunculkan rasa benci.
Maka rasa cinta dan benci itu sebenarnya
bisa disetel sesuai dengan pemahaman yang kita pegang. Rasa bisa dikendalikan. Selayaknya
rasa dikendalikan oleh prinsip hidup kita. Prinsip yang kita pegang dengan
pertimbangan yang sangat matang, lalu darisitu secara alami akan timbul rasa
suka dan tidak suka.
Hari ini semakin banyak fenomena ganjil. Kita
bisa meliha di kalangan artis misalnya. Banyak muslimah menjalin hubungan
dengan pria non muslim dengan alasan cinta. Mereka akhirnya menikah, bahkan ada
artis muslimah yang akhirnya berpindah ke agama suaminya. Alasannya lagi –lagi cinta.
Mereka merasa cinta sangat indah. Cinta bebas nilai. Tak ada benar salah dalam
cinta. Kalau sudah cinta, semua yang salah menjadi benar, demikian sebaliknya.
Padahal jelas Islam melarang muslimah menikah dengan pria non muslim.
Barangkali mereka yang menggampangkan
aturan agama berpegang pada sebuah prinsip dalam menjalani hidup. Tapi prinsip
mereka tidak berdiri di atas pondasi akidah yang benar. Mereka menentukan
prinsip berdasarkan perasaan yang dipengaruhi pengalaman. Akhirnya apapun kata
perasaan, itulah kebenaran.
****
Seorang muslim diingatkan oleh Allah swt
untuk mengamati berbagai fenomena alam. Banyak ayat al Quran dan hadist yang
mengajak memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang
dan malam, bagaimana tumbuh-tumbuhan bisa hidup, lebah yang mengeluarkan cairan
dari perutnya yang penuh manfaat, dan lain sebagainya.
Semua itu agar muslim tak hanya berislam
sebatas taklid atau ikut-ikutan. Manusia yang berpikir jernih tentang
kehidupan, baik dipandu al Quran ataupun secara langsung mengarahkan pandangan
pada alam semesta, pasti meyakini kalau semua yang di alam adalah ciptaan Sang
Pencipta Yang Esa.
Baca Juga: Menjadi Keluarga Ibrahim Zaman Now
Tauhid yang diperoleh dengan jalan
berpikir akan membentuk keimanan yang kuat. Muslim yang serius berislam dengan
ilmu akan berpegang pada prinsip Islam dalam menjalani hidup. Rasa cinta dan
bencinya pun kemudian akan dikendalikan oleh prinsip hidup Islam.
Dia pasti membenci segala bentuk kemaksiatan.
Dia juga akan menyenangi segala bentuk ketaatan. Dia akan cenderung dan sayang
pada orang-orang yang taat. Dia pun akan bersedih dan berusaha meluruskan
orang-orang yang bermaksiat.
Begitu juga soal menentukan pasangan. Ia
paham kalau Allah swt hanya ridha ketika ia memilih pasangan sesuai tuntunan
nabi. Dia pun memiliki kerinduan untuk bersama keluarga di dunia juga di
akhirat. Dia sadar bahwa menikah bukan hanya penyatuan dua insan yang saling mencinta
di dunia, tetapi akan dikumpulkan kembali oleh Allah swt di surga bila sama
sama taat.
Bila kualitas pribadi
seorang muslim baik, tak mungkin ia meremehkan Islam. Tak mungkin ia memilih
pasangan sembarangan. Meski nalurinya tertarik pada sesosok insan. Tapi ketika
mereka tidak satu pandangan, hatinya akan kuat untuk mengusir rasa itu.
Ya, hari ini muslim yang berbuat sesuai standar Islam masih lebih sedikit dibanding orang-orang berpaham sekuler liberal. Semoga kitalah bagian dari yang sedikit itu. Aamiin.
Baca Juga: 5 Hal Menyebalkan Dari Pasangan Yang Masih Bisa Dimaklumi
0 Comments
Post a Comment