https://www.hipwee.com/narasi/jatuh-cinta-dalam-diam/ |
Ulama juga manusia. Mereka sama dengan
kita. Memiliki pikir dan rasa. Mereka bisa mencintai sama seperti kita. Hanya
saja dengan kualitas ilmu yang mendalam serta ketaatan pada Allah swt, mereka
bisa menempatkan rasa cinta sesuai tempatnya.
Salah satu kisah menarik datang dari
seorang ulama. Petikan kisah hidupnya beberapa hari belakangan berseliweran di
media sosial. Rupa-rupanya kisah singkatnya juga saya temukan di Buku Manajemen
Waktu Para Ulama karya Syaikh Abdul Fattah. Dia adalah Syekh Abu Yusuf Al-Qadhi
Al-Almu’i, murid dari Imam Abu Hanifah.
Syekh Abu Yusuf merupakan seorang yang
cerdas dan mulia. Ia rajin duduk di majelis Imam Abu Hanifah. Secara rutin hal
itu dilakukannya selama 17 tahun. Dalam catatan lain dikatakan ia melakukannya
selama 29 tahun. Ia tak pernah salat zuhur kecuali bersama gurunya. Bahkan ia
tak pernah luput membersamai gurunya untuk salat Idul Fitri dan Idul Adha,
kecuali jika sakit.
Suatu saat putra Syekh Abu Yusuf meninggal dunia bersamaan dirinya sedang berada di majelis ilmu. Ayo tebak kira-kira apa yang dilakukannya?
Bagi yang sudah ketemu tulisan tentangnya
pasti tahu. Yup, Syekh Abu Yusuf mewakilkan pengurusan jenazah sang anak kepada
para tetangga dan kerabatnya. Dengan alasan, ia khawatir ada pelajaran dari
gurunya yang terlewat jika ia pulang. Apa pendapat kamu terhadap sikap Syekh
Abu Yusuf?
Mungkin ada yang bilang, ia bukan ayah
yang baik karena terkesan cuek pada anaknya. Atau ada yang menganggap Syekh Abu
Yusuf tidak sayang pada anaknya, tega, karena tak ingin mengurus dan melihat
wajah anaknya untuk yang terakhir kalinya.
Tapi kalau kita berpikir lebih rasional,
sebenarnya sikapnya bukan tanda tak sayang pada anak. Melainkan berbuat
didahului berpikir secara rasional. Begini. Secara hukum Islam, mengurus
jenazah hukumnya fardhu kifayah. Sementara menuntut ilmu hukumnya fardhu ‘ain.
Artinya secara hukum Islam tindakan Syekh Abu Yusuf benar.
Kalau dikatakan ia cuek dan tak sayang
dengan anaknya, itu salah. Justru ia sangat
menyayangi anaknya. Syekh Yusuh tidak berpisah selamanya dengan anaknya.
Melainkan hanya sementara. Berpisah di dunia. Ada harapan mereka akan bersama
di surga.
Artinya Syekh Abu Yusuf berpikir tentang
masa depan. Tentang kehidupan yang kekal. Saya percaya ia telah mendidik
anaknya dengan baik. Dengan upaya mewujudkan ketaatan pada dirinya dan
keluarganya, Syekh Abu Yusuf berharap bisa merasakan nikmat yang abadi bersama
keluarganya.
Mencintai secara rasional juga ditunjukkan
oleh para sahabat Rasulullah saw. Salah satunya kisah sahabat Handzalah. Saat
itu ia sedang menjadi pengantin baru. Di malam pengantinnya datang panggilan
jihad. Handzalah adalah manusia biasa. Ia sama saja dengan lelaki lainnya, di
masa pengantin baru pasti inginnya lengket terus dengan isteri.
Tetapi beliau cerdas, berpikir jauh ke
depan. Mengambil keputusan yang tepat. Kalau ia tak pergi berjihad, mungkin saja
ia masih sempat membersamai isterinya. Tetapi ia kehilangan kesempatan untuk
syahid di medan perang. Sementara mati di medan jihad berarti masuk surga tanpa
hisab. Kenikmatan surga jauh melebihi dunia. Bidadari-bidadari surga menjadi
pasangannya. Bisa jadi isterinya pun ikut serta ke surga.
Di zaman ini langka model cinta ala
ulama. Tapi meski sedikit mereka yang takwa tetap ada. Pernah terdengar kisah
seorang pejuang Islam yang mengagumkan. Di hari pernikahannya, pasca akad nikah
ia segera melepas jasnya dan pergi bersama rekan seperjuangan untuk menghadiri
rapat dakwah.
Mereka yang lemah pemahaman pasti mengira
orang ini tak memiliki adab. Tak menghargai keluarga, kerabat dan kawan yang
sedang hadir di pesta pernikahannya.
Padahal yang wajib telah ia lakukan,
yaitu akad nikah. Setelahnya hanyalah sunnah. Sementara kehadirannya dalam
rapat dakwah adalah untuk kepentingan umat Islam. Untuk kebaikan keluarga,
kerabat dan kawannya juga. Kalau syariah Islam tegak, bukankah semua akan
merasakan keberkahan?
Masya allah, tidakkah cara mencintai semacam itu jauh lebih indah?
0 Comments
Post a Comment