Saturday, August 15, 2020

Cara Ulama Mencintai, Tetap Rasional

 

https://www.hipwee.com/narasi/jatuh-cinta-dalam-diam/

Ulama juga manusia. Mereka sama dengan kita. Memiliki pikir dan rasa. Mereka bisa mencintai sama seperti kita. Hanya saja dengan kualitas ilmu yang mendalam serta ketaatan pada Allah swt, mereka bisa menempatkan rasa cinta sesuai tempatnya.

Salah satu kisah menarik datang dari seorang ulama. Petikan kisah hidupnya beberapa hari belakangan berseliweran di media sosial. Rupa-rupanya kisah singkatnya juga saya temukan di Buku Manajemen Waktu Para Ulama karya Syaikh Abdul Fattah. Dia adalah Syekh Abu Yusuf Al-Qadhi Al-Almu’i, murid dari Imam Abu Hanifah.

Syekh Abu Yusuf merupakan seorang yang cerdas dan mulia. Ia rajin duduk di majelis Imam Abu Hanifah. Secara rutin hal itu dilakukannya selama 17 tahun. Dalam catatan lain dikatakan ia melakukannya selama 29 tahun. Ia tak pernah salat zuhur kecuali bersama gurunya. Bahkan ia tak pernah luput membersamai gurunya untuk salat Idul Fitri dan Idul Adha, kecuali jika sakit.

Suatu saat putra Syekh Abu Yusuf meninggal dunia bersamaan dirinya sedang berada di majelis ilmu. Ayo tebak kira-kira apa yang dilakukannya?

Bagi yang sudah ketemu tulisan tentangnya pasti tahu. Yup, Syekh Abu Yusuf mewakilkan pengurusan jenazah sang anak kepada para tetangga dan kerabatnya. Dengan alasan, ia khawatir ada pelajaran dari gurunya yang terlewat jika ia pulang. Apa pendapat kamu terhadap sikap Syekh Abu Yusuf?

Mungkin ada yang bilang, ia bukan ayah yang baik karena terkesan cuek pada anaknya. Atau ada yang menganggap Syekh Abu Yusuf tidak sayang pada anaknya, tega, karena tak ingin mengurus dan melihat wajah anaknya untuk yang terakhir kalinya.

Tapi kalau kita berpikir lebih rasional, sebenarnya sikapnya bukan tanda tak sayang pada anak. Melainkan berbuat didahului berpikir secara rasional. Begini. Secara hukum Islam, mengurus jenazah hukumnya fardhu kifayah. Sementara menuntut ilmu hukumnya fardhu ‘ain. Artinya secara hukum Islam tindakan Syekh Abu Yusuf benar.

Kalau dikatakan ia cuek dan tak sayang dengan anaknya, itu salah. Justru ia sangat  menyayangi anaknya. Syekh Yusuh tidak berpisah selamanya dengan anaknya. Melainkan hanya sementara. Berpisah di dunia. Ada harapan mereka akan bersama di surga.

Artinya Syekh Abu Yusuf berpikir tentang masa depan. Tentang kehidupan yang kekal. Saya percaya ia telah mendidik anaknya dengan baik. Dengan upaya mewujudkan ketaatan pada dirinya dan keluarganya, Syekh Abu Yusuf berharap bisa merasakan nikmat yang abadi bersama keluarganya.

Mencintai secara rasional juga ditunjukkan oleh para sahabat Rasulullah saw. Salah satunya kisah sahabat Handzalah. Saat itu ia sedang menjadi pengantin baru. Di malam pengantinnya datang panggilan jihad. Handzalah adalah manusia biasa. Ia sama saja dengan lelaki lainnya, di masa pengantin baru pasti inginnya lengket terus dengan isteri.

Tetapi beliau cerdas, berpikir jauh ke depan. Mengambil keputusan yang tepat. Kalau ia tak pergi berjihad, mungkin saja ia masih sempat membersamai isterinya. Tetapi ia kehilangan kesempatan untuk syahid di medan perang. Sementara mati di medan jihad berarti masuk surga tanpa hisab. Kenikmatan surga jauh melebihi dunia. Bidadari-bidadari surga menjadi pasangannya. Bisa jadi isterinya pun ikut serta ke surga.

Di zaman ini langka model cinta ala ulama. Tapi meski sedikit mereka yang takwa tetap ada. Pernah terdengar kisah seorang pejuang Islam yang mengagumkan. Di hari pernikahannya, pasca akad nikah ia segera melepas jasnya dan pergi bersama rekan seperjuangan untuk menghadiri rapat dakwah.

Mereka yang lemah pemahaman pasti mengira orang ini tak memiliki adab. Tak menghargai keluarga, kerabat dan kawan yang sedang hadir di pesta pernikahannya.

Padahal yang wajib telah ia lakukan, yaitu akad nikah. Setelahnya hanyalah sunnah. Sementara kehadirannya dalam rapat dakwah adalah untuk kepentingan umat Islam. Untuk kebaikan keluarga, kerabat dan kawannya juga. Kalau syariah Islam tegak, bukankah semua akan merasakan keberkahan?

Masya allah, tidakkah cara mencintai semacam itu jauh lebih indah?   

0 Comments

Post a Comment