Saturday, August 15, 2020

Kapitalisme Sumber Penyebab Kemiskinan

 

https://www.tobasatu.com/

Kemiskinan menjadi masalah klasik yang seolah ‘abadi’ di dunia termasuk di negeri kita. Tentu Kota Medan tak luput dari masalah tersebut. Catatan tahun 2019, pendudukan Kota Medan yang tergolong miskin sebesar 8,08% atau setara dengan 183,79 ribu jiwa. Jumlah tersebut dihitung berdasarkan standar garis kemiskinan yaitu Rp 532.000 per orang per bulan. (https://medanbisnisdaily.com)

Besar kemungkinan jumlah penduduk miskin Kota Medan tahun ini bertambah. Mengingat negeri kita sedang dilanda pandemi covid-19 yang memicu meningkatnya pengangguran.

Wakil Ketua DPRD Medan, Ihwan Ritonga, menilai Pemerintah Kota Medan belum optimal dalam menjalankan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 tahun 2015 tentang Penanggulangan Kemiskinan. Padahal di dalam Perda tersebut jelas disebutkan, 10 persen dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Medan diperuntukkan untuk menanggulangi kemiskinan.


Kapitalisme Biang Keladi Kemiskinan

Fakta yang diungkapkan oleh anggota dewan, Ihwan Ritonga mengingatkan kita pada buruknya kinerja pemerintah. Anggaran yang sudah ditetapkan saja diduga kuat belum mencukupi untuk mengentaskan kemiskinan, namun penggunaannya justru masih belum maksimal. 

Sebagai warga Kota Medan, di lapangan penulis dapat merasakan, bagaimana buruknya pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan oleh pemda. Dalam hal penyaluran sosial misalnya, dilakukan secara tidak merata dan tak tepat sasaran. Untuk program bedah rumah juga tidak terlaksana dengan baik.

Kenalan penulis menceritakan bagaimana petugas bedah rumah datang mensurvei rumahnya. Dikatakan oleh petugas tersebut rumahnya layak menerima bantuan bedah rumah. Pengukuran rumah sudah dilakukan, namun program tersebut tak jelas kelanjutannya. Petugas tersebut tak pernah datang lagi untuk benar-benar menyelesaikan bedah rumah. 

Anehnya peristiwa serupa terjadi dua kali pada orang yang sama. Kenalan lain bercerita bahwa ia dimintai sejumlah uang sebagai kompensasi pelaksanaan program bedah rumah oleh pemerintah. Nah lo, bukannya program tersebut gratis, kok penerima bantuan malah disuruh bayar?

Selain itu bantuan pemerintah seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) tak memuaskan. Pelayanan bagi penerima bantuan tersebut kurang berkualitas. Rakyat miskin tak benar-benar mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan terbaik sebagaimana yang diperoleh oleh masyarakat yang mampu membayar mahal pelayanan tersebut.  

Wajar jika ditemukan banyak orang dewasa yang tak cukup keahlian dan keterampilan untuk bekerja. Mereka terpaksa menjadi pengangguran karena sejak awal tidak mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan berkualitas.

Ya, begitulah adanya. Masyarakat harus merasakan pahitnya diurusi oleh pejabat yang buruk. Baik pejabat tingkat pusat ataupun daerah, pejabat tinggi ataupun pegawai negeri golongan rendah kinerjanya secara umum sama, tidak amanah. ‘Kekompakan’ mereka adalah gambaran kegagalan sistem kapitalisme dalam melahirkan pejabat amanah. 

Kapitalisme telah melahirkan orang-orang sekuler yang menjalani hidup tanpa aturan agama, termasuk dalam menjalankan roda pemerintahan. Apalagi dengan mekanisme pemilu ala demorkasi, pejabat terpilih utamanya mengandalkan uang. Tak heran pejabat bekerja demi kepentingan dirinya dan mengabaikan kepentingan rakyat.

Disamping itu, abadinya kemiskinan di negeri ini tak hanya soal buruknya pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. Lebih dari itu, penerapan sistem kapitalisme itu sendiri menghasilkan penguasaan perekonomian di tangan segelintir pemilik modal. Begini ceritanya. Bukan hanya anggaran penanggulangan kemiskinan yang berjumlah sedikit. Namun secara umum pendapatan negara kita memang berjumlah sedikit.

Majalah Forbes pernah mengeluarkan daftar orang terkaya 2019 di Indonesia. Hasilnya mencengangkan, total kekayaan dari 50 orang terkaya di Indonesia mencapai USD 134,6 miliar atau setara Rp1.898 triliun pada 2019. Angka tersebut sebanding dengan penerimaan pajak Indonesia 2018 sebesar Rp1.894 triliun. (https://www.merdeka.com/)

Para milyarder tersebut kaya salah satunya karena menjadi bagian dari pemilik saham pertambangan di negeri kita. Presiden Jokowi sendiri yang menyebutkan hal itu. (https://republika.co.id/berita/q1daxn5717000/orang-kaya-ri-banyak-dari-pertambangan-siapa-saja-mereka)

Artinya, hasil kekayaan alam negeri kita yang seharusnya masuk ke kas negara berpindah ke kantong-kantong para pemilik modal. Sementara negara harus terus memutar otak memunculkan berbagai jenis pungutan yang mencekik rakyat untuk mengisi kas negara. Sampai-sampai utang negara pun makin bertambah. Karena pajak tak mencukupi untuk membiayai pengeluaran negara. 

Mengapa pengelolaan kekayaan alam berada di tangan swasta? Jawabnya, karena hal itu sesuai dengan aturan dalam sistem kapitalisme. Kebebasan berekonomi ala kapitalisme memudahkan para kapitalis menguasai kekayaan negeri kita. Dalam bahasa lain, kapitalisme-lah biang keladi terciptanya kemiskinan sistemik rakyat Indonesia.


Islam Mampu Mengentaskan Kemiskinan

Sejak awal Islam lebih unggul dalam mengentaskan kemiskinan daripada sistem kapitalisme. Sebab Islam bersumber dari Allah swt. Sementara kapitalisme berasal dari hawa nafsu manusia. Negara yang berasaskan akidah Islam akan melaksanakan aturan Islam secara kaffah. 

Hal tersebut menjamin lahirnya manusia-manusia berkepribadian Islam. Hati mereka senantiasa takut kepada Allah swt. Amal mereka pun dikontrol oleh aturan-aturan Islam. Mudah sekali mendapatkan pemimpin amanah yang berpikir dan berbuat untuk rakyat dalam pemerintahan Islam.

Sementara politik ekonomi Islam memang bertujuan untuk meratakan kesejahteraan di kalangan masyarakat. Hal ini seperti disebutkan oleh Syekh Taqiyuddin An nabhani dalam kitabnya Nizhamul Iqtishadi (Sistem Ekonomi). Tidak ada kebebasan berekonomi dalam Islam. Melainkan pembagian kepemilikan diatur secara jelas oleh Islam. 

Ada kepemilikan individu yang boleh diperoleh dari bekerja, hadiah, warisan dan lain sebagainya. Ada kepemilikan umum meliputi tambang, air, hutan, jalan raya dan lain sebagainya. Ada pula kepemilikan negara seperti harta fa’i, kharaj dan lain sebagainya. 

Mengenai harta kepemilikan umum Rasulullah saw bersabda: Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Maka harta kepemilikan umum seperti tambang tidak boleh dimiliki perusahaan swasta sebagaimana yang terjadi hari ini. Kekayaan alam akan dikelola negara. Hasilnya digunakan untuk membiayai pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan secara gratis dan berkualitas. 

Bisa dikatakan kualitas sekolah negeri sama baiknya dengan sekolah swasta. Bahkan jumlah sekolah negeri bisa lebih banyak. Sekolah berbiaya gratis dengan fasilitas yang lengkap tentu akan lebih digemari. Jaminan pendidikan bagi seluruh rakyat meniscayakan terwujudnya generasi unggul yang mandiri secara ekonomi serta taat pada Allah swt.


Cukuplah kisah dua pemimpin kekhilafahan yang legendaris yaitu Khalifah Umar bin Khattab dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz menggambarkan betapa baiknya Islam mengurus hajat hidup manusia. 

Kisah mereka bertaburan, mudah untuk kita dapatkan bila mencarinya di mesin pencarian internet, Google. Alhasil, mengakhiri kemiskinan mestilah mengakhiri penerapan sistem kapitalisme dan membangun kembali peradaban Islam. Wallahu a’lam bishawab.


Tulisan ini juga dimuat di https://zonalabour.com/2020/08/eva-arlini-se-kapitalisme-sumber-penyebab-kemiskinan/

0 Comments

Post a Comment