Tuesday, March 29, 2022

Eccedentesiast, Si Pura-Pura Bahagia

 

 


Aku punya teman baru. Dia mengaku dirinya santai menjalani hidup. Dia anggap semua masalah itu sepele, bisa dihadapi dengan senyuman. Orangnya memang kelihatan bahagia. Sering tersenyum. Melihatnya jadi adem. Kelihatan tanpa beban.

Beberapa waktu mengenal dirinya, dia perlahan terbuka. Ada satu masalah yang saat itu sedang mengusik dirinya. Seseorang mencuranginya. Dia tak terima. Meski dia tetap berusaha senyum dan mengabaikan hal itu, namun ingatannya terhadap masalah itu justru terpendam dalam dada.

Ternyata hal-hal semacam itu membuatnya sejak lama sulit tidur. Nafsu makannya tak terkendali. Sampai-sampai haidnya jadi terganggu. Dokter menduga dirinya banyak pikiran, sehingga merusak jam tidurnya. Apakah dia yang disebut eccedentisiast?

Dari suara.com, berdasarkan urban ductionary, didapatkan bahwa eccedentisiast merupakan istilah psikologi untuk menyebut seseorang yang menyembunyikan kesedihan dengan senyuman.

Menurut laporan WHO pada Januari 2020, ada 265 juta orang di seluruh dunia mengalami depresi. Di dalamnya termasuk jenis eccedentisiast ini.

Beberapa artikel menjelaskan tentang penyebab munculnya eccedentisiast. Ada yang bilang, kondisi itu muncul dari keengganan seseorang untuk merepotkan orang lain. Atau dia tak suka aja kalau orang lain mengetahui masalahnya.

Atau dia merasa tak ada yang bisa menjadi tempatnya berkeluh kesah. Bisa jadi dia takut dihakimi, malu, pernah dikecewakan dan lain sebagainya. Jadi dia memilih bahagia dalam duka.

Kalau tentang temanku ini, dia sudah mencoba menjadikan suaminya teman curhat. Tapi justru respon suaminya tak sesuai harapannya. Tampilan temanku ini juga bijak. Suka memberi masukan pada masalah orang lain.

Bisa jadi dia tipe perfeksionis juga ya. Sehingga tak sembarangan memperlihatkan kelemahan diri dihadapan orang lain, kecuali yang benar-benar dekat dengannya.

Eccedentisiast terbilang jenis depresi ringan. Tidak termasuk gangguan mental. Tapi bukan berarti tanpa efek. Terbukti, kondisi tersebut telah mempengaruhi kehidupan pengidapnya.

Bikin nggak bisa tidur, mengganggu nafsu makan, hingga bisa berpikir untuk bunuh diri, jika kondisi tersebut berlarut-larut. Aku berharap temanku baik-baik saja. Tak sampai mengalami hal-hal buruk dengan kondisinya.

Ketika dia mulai terbuka dengan kami teman-teman pengajiannya, mudah-mudahan ini langkah awal yang baik. Dia punya kami sebagai teman cerita. Dia juga mengisi pikirannya dengan ilmu-ilmu keislaman, yang bisa menjadi bekalnya menghadapi masalah.

***

Menurut pengalamanku dan pelajaran yang selama ini didapatkan, aku menyimpulkan bahwa masalah muncul dari naluri (perasaan) dan kebutuhan jasmani yang sudah ada pada diri manusia, sepaket dengan penciptaannya oleh Allah swt.

Kebutuhan jasmani merupakan kebutuhan yang muncul dari kerja organ tubuh, berupa lapar, haus, ngantuk dan lain sebagainya. Manusia harus memperhatikan kebutuhan tubuhnya.

Tubuhnya butuh nutrisi, istirahat, olahraga dan sebagainya, untuk menjadikannya tetap sehat. Jika nutrisi tubuh tak seimbang misalnya, maka akan mempengaruhi kesehatan fisik maupun mental.

Aku pernah merasakan sangat suntuk, mau marah-marah nggak jelas. Ternyata karena aku belum keramas selama empat hari. Kepalaku terasa berat. Setelah mandi dan keramas, rasanya plong, hati pun senang. Hehe.

Naluri pun demikian, butuh pemenuhan. Meski sifatnya tak mendesak seperti memenuhi kebutuhan tubuh kita. Contohnya jatuh cinta. Dalam pelajaranku, itu bagian dari naluri meneruskan keturunan.

Ketika jatuh cinta, ada dorongan untuk mewujudkannya. Ingin ketemu si dia, ingin menyatakan perasaan padanya, ingin menjadi pendamping hidupnya, bla bla bla. Ini masalah orang yang jatuh cinta, butuh solusi untuk mengatasinya

Demikian pula dengan rasa marah, hal itu naluriah. Hal itu masalah, yang butuh solusi. Dalam Islam, marah itu boleh, asal untuk hal yang benar dan cara marahnya benar.

Hak kita dilanggar orang, kita memang harus marah. Karena melanggar hak orang lain termasuk zhalim, haram hukumnya. Jadi wajar temanku marah. Seharusnya yang dia lakukan adalah menyampaikan pada orang tersebut, kalau orang itu salah dan harus minta maaf serta mengembalikan hak temanku.

Namun karena yang berselisih dengannya berstatus sosial di atasnya, temanku menduga kuat orang tersebut nggak bakal sadar atas kesalahannya. Disitulah masalah jadi hanya terpendam dalam hati.

Mau diperkarakan lewat jalur hukum, urusannya tergolong sederhana. Ongkos bayar pengacara dan proses ke pengadilan bisa jauh lebih ribet dari masalah yang ada. Jadi penyaluran rasa kesal itu hanya bisa dengan cerita ke orang dekat, lalu menjauhi orang yang bikin masalah dengan kita.

Sebenarnya aku juga sama. Aku orang yang lebih memilih tampak baik-baik saja saat ada masalah. Tapi bukan berarti aku memendam masalah terus menerus untuk diriku saja.

Aku memahami diriku. Sakit di hatiku takkan selesai kalau masalah belum terurai. Masalah akan terurai, jika orang yang menyakitiku mengetahui kalau aku tersinggung padanya. Aku akan meminta hakku padanya.

Bila kadang hal itu tak memungkinkan, jauhi dia. Lalu aku akan curhat pada teman terdekatku, yakni suamiku. Alhamdulillah suamiku bisa jadi teman curhat. Yang paling penting, ada Allah swt tempat mengadu. Minta ganti terbaik atas sakit hati itu pada Allah swt.

Nangis saat berdoa kepada Allah swt benar-benar dahsyat efeknya untuk kesembuhan hati. Benarlah ayat Allah swt, bahwa hanya dengan mengingat Allah swt, hati menjadi tenang.

Referensi:

https://sumsel.voi.id/aktual/99782/5-ciri-ciri-dan-bahaya-eccedentesiast-suka-menyembunyikan-kesedihan-di-balik-senyuman

https://www.halodoc.com/artikel/seperti-tersenyum-ini-bahaya-smiling-depression-di-balik-sosok-joker

1 Comments: