Aku punya teman baru. Dia mengaku dirinya
santai menjalani hidup. Dia anggap semua masalah itu sepele, bisa dihadapi
dengan senyuman. Orangnya memang kelihatan bahagia. Sering tersenyum.
Melihatnya jadi adem. Kelihatan tanpa beban.
Beberapa waktu mengenal dirinya, dia
perlahan terbuka. Ada satu masalah yang saat itu sedang mengusik dirinya.
Seseorang mencuranginya. Dia tak terima. Meski dia tetap berusaha senyum dan
mengabaikan hal itu, namun ingatannya terhadap masalah itu justru terpendam
dalam dada.
Ternyata hal-hal semacam itu membuatnya sejak lama sulit tidur. Nafsu makannya tak terkendali. Sampai-sampai haidnya jadi terganggu. Dokter menduga dirinya banyak pikiran, sehingga merusak jam tidurnya. Apakah dia yang disebut eccedentisiast?
Dari suara.com, berdasarkan urban
ductionary, didapatkan bahwa eccedentisiast merupakan istilah psikologi
untuk menyebut seseorang yang menyembunyikan kesedihan dengan senyuman.
Menurut laporan WHO pada Januari 2020,
ada 265 juta orang di seluruh dunia mengalami depresi. Di dalamnya termasuk
jenis eccedentisiast ini.
Beberapa artikel menjelaskan tentang
penyebab munculnya eccedentisiast. Ada yang bilang, kondisi itu muncul dari
keengganan seseorang untuk merepotkan orang lain. Atau dia tak suka aja kalau
orang lain mengetahui masalahnya.
Atau dia merasa tak ada yang bisa menjadi
tempatnya berkeluh kesah. Bisa jadi dia takut dihakimi, malu, pernah
dikecewakan dan lain sebagainya. Jadi dia memilih bahagia dalam duka.
Kalau tentang temanku ini, dia sudah
mencoba menjadikan suaminya teman curhat. Tapi justru respon suaminya tak
sesuai harapannya. Tampilan temanku ini juga bijak. Suka memberi masukan pada
masalah orang lain.
Bisa jadi dia tipe perfeksionis juga ya.
Sehingga tak sembarangan memperlihatkan kelemahan diri dihadapan orang lain,
kecuali yang benar-benar dekat dengannya.
Eccedentisiast terbilang jenis depresi
ringan. Tidak termasuk gangguan mental. Tapi bukan berarti tanpa efek. Terbukti,
kondisi tersebut telah mempengaruhi kehidupan pengidapnya.
Bikin nggak bisa tidur, mengganggu nafsu
makan, hingga bisa berpikir untuk bunuh diri, jika kondisi tersebut
berlarut-larut. Aku berharap temanku baik-baik saja. Tak sampai mengalami
hal-hal buruk dengan kondisinya.
Ketika dia mulai terbuka dengan kami
teman-teman pengajiannya, mudah-mudahan ini langkah awal yang baik. Dia punya
kami sebagai teman cerita. Dia juga mengisi pikirannya dengan ilmu-ilmu
keislaman, yang bisa menjadi bekalnya menghadapi masalah.
***
Menurut pengalamanku dan pelajaran yang
selama ini didapatkan, aku menyimpulkan bahwa masalah muncul dari naluri
(perasaan) dan kebutuhan jasmani yang sudah ada pada diri manusia, sepaket
dengan penciptaannya oleh Allah swt.
Kebutuhan jasmani merupakan kebutuhan
yang muncul dari kerja organ tubuh, berupa lapar, haus, ngantuk dan lain
sebagainya. Manusia harus memperhatikan kebutuhan tubuhnya.
Tubuhnya butuh nutrisi, istirahat,
olahraga dan sebagainya, untuk menjadikannya tetap sehat. Jika nutrisi tubuh
tak seimbang misalnya, maka akan mempengaruhi kesehatan fisik maupun mental.
Aku pernah merasakan sangat suntuk, mau
marah-marah nggak jelas. Ternyata karena aku belum keramas selama empat hari.
Kepalaku terasa berat. Setelah mandi dan keramas, rasanya plong, hati pun senang.
Hehe.
Naluri pun demikian, butuh pemenuhan.
Meski sifatnya tak mendesak seperti memenuhi kebutuhan tubuh kita. Contohnya
jatuh cinta. Dalam pelajaranku, itu bagian dari naluri meneruskan keturunan.
Ketika jatuh cinta, ada dorongan untuk
mewujudkannya. Ingin ketemu si dia, ingin menyatakan perasaan padanya, ingin
menjadi pendamping hidupnya, bla bla bla. Ini masalah orang yang jatuh cinta,
butuh solusi untuk mengatasinya
Demikian pula dengan rasa marah, hal itu
naluriah. Hal itu masalah, yang butuh solusi. Dalam Islam, marah itu boleh,
asal untuk hal yang benar dan cara marahnya benar.
Hak kita dilanggar orang, kita memang
harus marah. Karena melanggar hak orang lain termasuk zhalim, haram hukumnya. Jadi
wajar temanku marah. Seharusnya yang dia lakukan adalah menyampaikan pada orang
tersebut, kalau orang itu salah dan harus minta maaf serta mengembalikan hak
temanku.
Namun karena yang berselisih dengannya
berstatus sosial di atasnya, temanku menduga kuat orang tersebut nggak bakal
sadar atas kesalahannya. Disitulah masalah jadi hanya terpendam dalam hati.
Mau diperkarakan lewat jalur hukum,
urusannya tergolong sederhana. Ongkos bayar pengacara dan proses ke pengadilan
bisa jauh lebih ribet dari masalah yang ada. Jadi penyaluran rasa kesal itu
hanya bisa dengan cerita ke orang dekat, lalu menjauhi orang yang bikin masalah
dengan kita.
Sebenarnya aku juga sama. Aku orang yang
lebih memilih tampak baik-baik saja saat ada masalah. Tapi bukan berarti aku
memendam masalah terus menerus untuk diriku saja.
Aku memahami diriku. Sakit di hatiku
takkan selesai kalau masalah belum terurai. Masalah akan terurai, jika orang yang
menyakitiku mengetahui kalau aku tersinggung padanya. Aku akan meminta hakku
padanya.
Bila kadang hal itu tak memungkinkan, jauhi
dia. Lalu aku akan curhat pada teman terdekatku, yakni suamiku. Alhamdulillah
suamiku bisa jadi teman curhat. Yang paling penting, ada Allah swt tempat
mengadu. Minta ganti terbaik atas sakit hati itu pada Allah swt.
Nangis saat berdoa kepada Allah swt
benar-benar dahsyat efeknya untuk kesembuhan hati. Benarlah ayat Allah swt,
bahwa hanya dengan mengingat Allah swt, hati menjadi tenang.
Referensi:
https://www.halodoc.com/artikel/seperti-tersenyum-ini-bahaya-smiling-depression-di-balik-sosok-joker
bisa jadi demikian ya,makasih sharingnya
ReplyDelete