“Apakah kamu sudah pindah agama?”
“Apakah kamu menikah dengan sesama jenis?”
“Apakah kamu menikah dengan yang berbeda agama?
Seringkali, ketika ditanyakan hal-hal tersebut pada seseorang,
jawaban yang terucap, “Itu urusanku dengan Tuhan.”
“Ini hidupku. Aku yang tahu. Aku yang menjalani. Tak perlu ikut
campur urusan orang lain.”
Hal-hal seperti itu mencerminkan gambaran paham individualis.
Dibentuk oleh cara pandang sekulerisme yang menjangkiti masyarakat. Menular
dari paham di barat, bahwa agama itu pantasnya berada di ruang-ruang pribadi
manusia.
Berdasarkan sekulerisme, manusia dianggap makhluk yang bebas menentukan arah hidupnya. Seperti apa cara manusia menjalani hidup, serahkan pada diri masing-masing. Karena hanya manusia itu sendiri yang paham tentang dirinya.
Mereka menyangka, manusia itu sendiri yang mengerti letak
kebahagiaan mereka dan mereka tahu apa yang harus dilakukan untuk meraih
bahagia. Salah ataupun benar, manusia itu yang akan merasakan dan
bertanggungjawab atas dirinya.
Maka keluarlah pernyataan yang cukup berani, “Apapun yang
kulakukan, itu urusanku dengan Tuhan.”
Dia pikir urusan dengan Tuhan itu mudah, sehingga dia bisa
seenaknya memilih suatu perbuatan, lalu merasa sanggup menghadapi hari
perhitungan kelak. Bersyukur aku dibukakan jalan oleh Allah swt untuk mengenal
Islam, sehingga pemikiran sekulerisme beserta turunannya bisa tergeser dari
benakku.
Seorang muslim selayaknya memandang kehidupan sesuai tuntunan
hidupnya yakni al Quran dan As sunnah. Dalam hal ini ada beberapa hal yang
harus diluruskan.
1. Islam memandang masyarakat muslim itu sebagai satu kesatuan. Ibarat tubuh manusia. Ada bagian-bagiannya, yakni kepala, tangan, kaki dan organ tubuh lainnya.
Aktivitas masing-masing bagian memang berbeda. Fungsi mereka berbeda-beda. Namun ada jaringan-jaringan syaraf yang menghubungkan masing-masing anggota tubuh tersebut.
Jika satu
bagian tubuh sakit, maka yang lain akan ikut merasakannya. Begitulah gambaran
kaum muslimin. Kaum muslimin yang jumlahnya di dunia sekitar hampir 2 milyar
ini, terdiri dari berbagai suku yang berbeda.
Warna kulit mereka juga berbeda-beda. Bahasanya berbeda-beda. Seleranya berbeda-beda. Serta banyak lagi perbedaan mereka yang lainnya. Tapi ada satu unsur dalam Islam yang menghubungkan umat Islam. Yaitu, keimanan.
Keimanan itu bagaikan syaraf dalam tubuh manusia, yang bisa membuat masing-masing individu muslim mampu merasakan sakit, jika ada dari mereka yang sakit. Baik sakit pada fisik maupun sakit pada hati dan pikiran.
Ikut merasakan sakit saat yang lain sedang sakit, terwujud dalam ajaran Islam tentang tolong-menolong, termasuk nasihat menasihati bila sakitnya terdapat pada hati.
Ya, jika seseorang berbuat maksiat, semisal murtad, membuka aurat, menikah dengan sesama jenis, menikah beda agama, hal itu cerminan hati yang sedang sakit. Artinya, imannya sedang bermasalah. Ada yang perlu diluruskan pada pemikirannya.
Makanya di dalam al Quran surat al asr, dikatakan bahwa manusia itu rugi kecuali orang beriman, beramal salih dan nasihat menasihati dalam kebenaran, serta nasihat menasihati dalam kesabaran.
Dalam salah satu hadist yang termuat pada kumpulan hadist karya Imam Nawawi yang dikenal dengan Kitab Hadist Arba’in, dikatakan bahwa agama adalah nasihat.
Banyak ayat-ayat al Quran dan hadist yang menjelaskan tentang kewajiban dan pentingnya dakwah atau menyeru pada Islam. Bahkan umat Islam dijuluki sebagai umat terbaik dalam al Quran surat ali Imran ayat 110, karena iman dan amar ma’ruf nahi munkar yang mereka lakukan.
Allah swt tidak hanya akan memberi sanksi
bagi pelaku maksiat, tapi juga akan menghukum orang baik, ketika orang baik itu
diam pada kemaksiatan.
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan
yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja
di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS Al
Anfal 25).
Jadi, tidak bisa dikatakan bahwa kalau
seseorang salah dimata ajaran Islam, lantas dia sendiri yang akan menanggungnya.
Yang benar, muslim lainnya juga akan terkena akibat dari kemaksiatan itu.
Bedakan antara nyinyir dengan nasihat
dong ya. Kalau nyinyir itu tidak memberi solusi, cenderung berkata kasar dan
bisa jadi ada rasa benci. Kalau nasihat yang diajarkan Islam, asasnya iman dan
rasa kasih sayang.
Kita tidak mau ada saudara seiman kita
yang terjerumus dalam kesalahan lalu berpeluang menderita kelak di akhirat.
Kita ingin dia selamat di dunia dan akhirat. Nasihat juga diberikan dengan
pilihan kata yang sebaik mungkin, disertai solusi.
Meskipun terkadang sudah disampaikan
dengan baik pun masih dianggap menyinggung. Karena yang dinasihati sedang sakit
hatinya. Namun diterima atau ditolak, nasihat tetap harus dijalankan, sebagai
pelaksanaan kewajiban dari Allah swt dan bentuk kasih sayang pada sesama
muslim.
2. Selain soal nasihat, kita juga mesti menyadari kalau muslim itu terikat dengan aturan Allah swt. Kita diciptakan Allah swt untuk mengabdi kepadaNya (QS. Adz dzariyat: 56).
Tapi jangan dikira aturan Allah swt itu menyulitkan. Justru dengan tuntunan hidup Islam, Allah swt bermaksud memudahkan urusan seorang muslim. (QS. Ath Taha ayat 2)
Allah swt juga menjanjikan kepada orang-orang yang patuh padaNya, bahwa mereka akan diberi jalan keluar, rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka, kemudahan dalam urusan dunia dan akhirat, serta penghapusan kesalahan dan berlipat ganda pahala.
Dengan taat pada Allah, keberuntungan di dunia maupun di akhirat akan diperoleh. Hal itu sering dikatakan Allah swt dalam ayat-ayat Al Quran, “Bertakwalah agar kamu beruntung”.
0 Comments
Post a Comment