Dari mengikuti dialog berdurasi satu jam
oleh Najwa Sihab dan teman-temannya ini, aku memiliki sejumlah catatan.
Ditanyakan pada para nara sumber tentang
respon mereka kalau pasangannya punya gaji lebih besar. Nadiem bilang sih nggak
masalah. Malah bangga. Menurut Tompi hal ini bisa sangat berat jika yang full
kerja adalah isteri dan yang full ngurus anak adalah suami.
Sebab Tompi bisa merasakan betapa sulitnya mengurus anak, bahkan hanya untuk meminta anak kecil makan. Disini terlihat ya, bahwa mengurus anak terutama balita itu naluriah pada perempuan.
Reza juga mengaku ogah kalau diminta di
rumah saja sementara isterinya yang bekerja. Yang menarik, Najwa ditanya balik,
apa dia mau punya pasangan yang kualitasnya di bawah dirinya.
Kenyataannya Najwa punya suami seorang
pengacara yang gajinya lebih tinggi dari dirinya. Intelektualitas suaminya juga
tak lebih rendah dari dirinya. Ia cocok dengan pasangan seperti itu.
Jadi yang sudah fitrahnya, jangan maksa
diotak atik deh. Benar, perempuan juga bisa sukses di dunia kerja. Tapi tetap
saja peran utamanya adalah urusan rumah. Kalau mau dibalik agar tercipta
kesetaraan gender, keduanya bisa sama-sama nggak nyaman.
Fakta saat ini memang sungguh miris.
Banyak lelaki lemah karakternya. Malas bekerja. Labil. Pemarah. Suka lari dari
masalah. Tidak bertanggungjawab. Sehingga sebagian perempuan tampak mengungguli
laki-laki soal pribadi dan keuangan.
Namun tak lantas diubah, malah perempuan
jadi pemimpin rumah tangga. Para lelaki harusnya didorong untuk menjalankan
perannya dengan baik. Menjadi pemimpin yang bertanggungjawab dan mengayomi,
tanpa unsur diktator.
Ketiga, industri kecantikan membahayakan
perkembangan pribadi anak perempuan kita.
Mereka mendiskusikan tentang standar
kecantikan. Awalnya Najwa mempersoalkan standar kecantikan dimata para lelaki.
Kebanyakan lelaki menyukai cewek berkulit putih, langsing dan tinggi. Hal ini
berefek buruk bagi kepribadian para cewek yang tak ditakdirkan tercipta dengan
paras menarik bagi cowok.
Namun pembicaraan mengerucut pada bahaya
industri kecantikan. Dengan kekuatannya, ia mampu membentuk opini tentang satu
standar kecantikan tertentu. Image langsing, putih, tirus dan semacamnya ala
industri kecantikan dipasarkan lewat media. Produk-produk pemutih dan
sejenisnya pun laris manis dipasaraan
Industri hiburan turut mendukung dengan
menampilkan cewek-cewek good looking sebagai pemeran utama dalam film maupun
sinetron. Media sosial turut memberi ruang bagi para cewek berekspresi
menonjolkan sisi menarik dirinya.
Belum lagi munculnya berbagai aplikasi
face edit, yang memperbesar keinginan perempuan terutama remaja, untuk memenuhi
standar kecantikan seperti yang digambarkan.
Nadiem mengatakan bahwa ada research
tentang hubungan depresi dengan instagram. Ternyata hubungannya kuat. Disini
dia khawatir kalau tiga putrinya akan terpengaruh sistemik insecure tentang
body image and face yang diciptakan industri kecantikan.
Dalam hal ini terungkap ya sebenarnya,
kekuatan para kapitalis berperan penting menciptakan masalah pada perempuan.
Ekploitasi daya tarik perempuan dilakukan oleh para kapitalis dunia industri.
Perempuan masuk ke dunia hiburan, ada di
tempat-tempat hiburan, menjadikan daya tarik fisiknya sebagai penghibur lelaki nakal.
Yang semua itu merendahkan kehormatan perempuan.
Tata kelola perekonomian ala kapitalis pun
telah menciptakan kemiskinan sistemik. Darisitu
tercipta kebutuhan terhadap pekerjaan di dunia hiburan, yang mudah dimasuki
oleh perempuan good looking. Karena
perempuan butuh makan ataupun ingin memenuhi gaya hidup.
Hal ini aku pikir jauh lebih mengerikan ketimbang bicara soal mewujudkan kesetaraan. Ini soal para manusia yang menjadikan uang sebagai Tuhan. Hal ini membuatku sadar, betapa buruk kehidupan manusia tanpa diatur oleh hukum-hukum Allah swt.
Baca Juga:
Catatan Atas Dialog Isu Perempuan Oleh Najwa Sihab Dan Kawan-Kawan (Bag-1)
Catatan Atas Dialog Isu Perempuan Oleh Najwa Sihab Dan Kawan-Kawan (Bag-3)
Catatan Atas Dialog Isu Perempuan Oleh Najwa Sihab Dan Kawan-Kawan (Bag-4)
0 Comments
Post a Comment