Muslim yang baik akan memahami posisinya di dunia, yaitu untuk mengabdi sepenuhnya pada Allah subhanahu wa ta'ala. Sebab untuk itulah ia diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Firman Allah subhanahu wa ta'ala dalam al Qur’an surat adz-Dzariyat ayat 56 yang artinya, “Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu’.
Maka dari itu wujud ibadah hakikatnya adalah ketaatan pada aturan Allah
subhanahu wa ta'ala secara keseluruhan. Meski zaman senantiasa berubah,
ketaatan tak boleh berubah. Era kini eranya digital. Internet merajai arus
informasi di kalangan masyarakat. Di dalamnya tumbuh subur media sosial, yang
menghubungkan antar manusia dari berbagai belahan dunia. Bagaimana seorang
muslim menyikapinya?
Media sosial (Medsos) sejatinya tetap harus dibingkai dengan ketaatan pada
Allah subhanahu wa ta'ala. Bagaimanapun medsos hanya alat komunikasi dan
informasi. Dia sarana yang bebas nilai. Dia benda mati yang layak dipergunakan
untuk kebaikan. Dalam standar Islam, kebaikan itu hanya terletak pada ajaran
Islam itu sendiri.
Jika medsos merupakan salah satu media efektif menyampaikan pesan pada sesama, maka hal itu sejalan dengan ajaran dakwah dalam Islam. Dakwah merupakan aktivitas mengajak manusia ke jalan Allah subhanahu wa ta'ala. Dakwah dapat disampaikan dengan lisan maupun tulisan. Disinilah efektifitas medsos, ketika ia dapat menjadi sarana tersampaikannya Islam pada masyarakat pengguna medsos secara luas. Baik dengan tulisan maupun dengan lisan seperti dalam bentuk video. Inilah yang senantiasa harus diingat oleh muslim, bahwa medsos adalah sarana dakwah.
Dakwah Pada Penguasa Itu Kewajiban
Rasulullah saw bersabda: “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud)
Al-Mubarokfuri dalam Kitabnya Tuhfatul Ahwadzi ( 6 / 330 ) menjelaskan, bahwa maksud dari hadits di atas adalah; menegakkan amar makruf nahi munkar, memperjuangkan kebenaran dan melawan kebatilan yang dilakukan oleh penguasa zalim. Itulah bentuk Jihad yang paling mulia. Baik hal tersebut dilakukan secara langsung dengan lisan, ataupun dengan tulisan dan berbagai sarana lainnya.
Salah satu point dari penjelasan ulama di atas adalah, bahwa dakwah bisa dilakukan dengan berbagai cara, yaitu lisan, tulisan dan sarana lain. Artinya, menasehati penguasa merupakan kewajiban yang dapat disampaikan secara terbuka melalui media sosial.
Menasehati penguasa secara terbuka sebenarnya sudah dipraktekkan oleh para sahabat Rasulullah saw sejak dulu. Diriwayatkan dari Ikrimah ra. khalifah Ali bin Thalib ra. telah membakar kaum zindiq, berita ini sampai kepada Ibnu Abbas ra. maka berkatalah beliau, “Kalau aku, niscaya tidak akan membakar mereka karena Nabi saw telah bersabda, “Janganlah kamu menyiksa dengan siksaan Allah (api).” dan niscaya aku akan membunuh mereka karena sabda Nabi saw, “Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.” (HR Bukhari no. 6524)
Hadits ini jelas menunjukkan Ibnu Abbas telah mengkritik Khalifah Ali bin
Thalib secara terbuka di muka umum. (Ziyad Ghazzal, Masyu’ Qanun Wasa’il
Al-I’lam Ad-Daulah Al-Islamiyah, hlm.25).
Penguasa Jangan Anti Kritik
Belakangan semakin terang terlihat keengganan penguasa dinasehati oleh
rakyatnya. Salah satu buktinya adalah kelahiran Undang-Undang (UU) Informasi
Transaksi Elektronik (ITE). Sejak lahirnya, UU ITE sudah menjerat para
pengkritik kebijakan penguasa. Mereka dituding berbuat makar ataupun melakukan
penghinaan pada presiden melalui jejaring medsos yang dianggap melanggar UU
ITE.
Koordinator SAFENet Indonesia, Damar Juniarto mengatakan, jika merujuk pada
situs registrasi Mahkamah Agung, ada 508 perkara di pengadilan yang menggunakan
UU ITE sepanjang 2011-2018. Ia mengatakan kasus paling besar terjadi pada 2018
yaitu 292 perkara.
Katanya lagi, kasus terbanyak adalah pidana yang berhubungan dengan
penghinaan dan pencemaran nama baik atau defamasi, Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Di
posisi kedua adalah kasus ujaran kebencian pasal 28 ayat 2 UU ITE. Menurut
Damar, kedua sejoli ini memiliki tafsir yang sangat lentur sehingga banyak
orang bisa dengan mudah terjerat. (https://interaktif.tempo.co/)
Kritik hakikatnya sama dengan koreksi terhadap penguasa alias dakwah.
Artinya kritik yang dilakukan atas dasar Islam sebenarnya bentuk kasih sayang
dan perhatian rakyat pada penguasanya. Kaum muslimin mengajak penguasa untuk
kembali pada ajaran Islam secara kaffah, sebagaimana yang diwajibkan Allah
subhanahu wa ta'ala. Aktivis dakwah mengingatkan penguasa agar menjalankan
tugasnya sesuai Islam. Ketika Islam yang diterapkan, segala kebijakan akan
berbuah pahala. Ia akan dicintai oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Rasulullah saw bersabda, “Sehari menjadi pemimpin yang
adil, lebih baik daripada beribadah selama 60 tahun.” (HR Ahmad).
Namun jika pemimpin lalai terhadap penerapan Islam, maka ia akan menanggung
akibatnya di akhirat kelak. Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang menjadi pemimpin (hanya) bagi 10 orang atau
lebih, Allah akan mendatangkannya dengan tangan terbelenggu pada lehernya pada
Hari Kiamat, ia akan dibebaskan oleh kebaikannya atau dikencangkan dosanya,
awalannya ialah kesalahan, pertengahannya penyesalan, dan akhirannya kehinaan
pada Hari Kiamat.” (HR Ahmad).
Ketika pemerintah bersikap anti kritik, tak lain hal itu semakin
mengingatkan kita bahwa penguasa saat ini bukanlah penguasa yang dihasilkan
oleh sistem Islam. Mereka adalah penguasa yang dilahirkan oleh sistem demokrasi
yang rusak dan merusak. Sistem demokrasi berbasis sekuler meniscayakan eratnya
hubungan penguasa dan pengusaha. Sebab mereka saling membutuhkan untuk dapat
menang dalam pertarungan politik dan ekonomi. Sehingga ketika rakyat yang
terabaikan menyampaikan kritik, yang timbul adalah kemarahan.
Hal ini sekaligus memunculkan kerinduan bagi kita terhadap para pemimpin ala syariah Islam. Mereka seperti Khalifah Umar bin Khaththab dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang takut pada Allah subhanahu wa ta'ala sehingga dengan lapang dada diingatkan rakyatnya. Maka sebagai muslim, yang harus kita lakukan adalah tetap menggunakan medsos sebagai sarana menyuarakan kebenaran Islam. Siapa tahu suatu saat hati para penolak syariah Islam termasuk penguasa, bisa lembut di hadapan Allah subhanahu wa ta'ala. Wallahu a’lam bishawab.
0 Comments
Post a Comment