Thursday, June 11, 2020

Melestarikan Tradisi Muhasabah Melalui Medsos


Muslim yang baik akan memahami posisinya di dunia, yaitu untuk mengabdi sepenuhnya pada Allah subhanahu wa ta'ala. Sebab untuk itulah ia diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Firman Allah subhanahu wa ta'ala dalam al Qur’an surat adz-Dzariyat ayat 56 yang artinya, “Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu’.

Maka dari itu wujud ibadah hakikatnya adalah ketaatan pada aturan Allah subhanahu wa ta'ala secara keseluruhan. Meski zaman senantiasa berubah, ketaatan tak boleh berubah. Era kini eranya digital. Internet merajai arus informasi di kalangan masyarakat. Di dalamnya tumbuh subur media sosial, yang menghubungkan antar manusia dari berbagai belahan dunia. Bagaimana seorang muslim menyikapinya?

Media sosial (Medsos) sejatinya tetap harus dibingkai dengan ketaatan pada Allah subhanahu wa ta'ala. Bagaimanapun medsos hanya alat komunikasi dan informasi. Dia sarana yang bebas nilai. Dia benda mati yang layak dipergunakan untuk kebaikan. Dalam standar Islam, kebaikan itu hanya terletak pada ajaran Islam itu sendiri.

Jika medsos merupakan salah satu media efektif menyampaikan pesan pada sesama, maka hal itu sejalan dengan ajaran dakwah dalam Islam. Dakwah merupakan aktivitas mengajak manusia ke jalan Allah subhanahu wa ta'ala. Dakwah dapat disampaikan dengan lisan maupun tulisan. Disinilah efektifitas medsos, ketika ia dapat menjadi sarana tersampaikannya Islam pada masyarakat pengguna medsos secara luas. Baik dengan tulisan maupun dengan lisan seperti dalam bentuk video. Inilah yang senantiasa harus diingat oleh muslim, bahwa medsos adalah sarana dakwah.


Dakwah Pada Penguasa Itu Kewajiban

Rasulullah saw bersabda: “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud)

Al-Mubarokfuri dalam Kitabnya Tuhfatul Ahwadzi ( 6 / 330 ) menjelaskan, bahwa maksud dari hadits di atas adalah; menegakkan amar makruf nahi munkar, memperjuangkan kebenaran dan melawan kebatilan yang dilakukan oleh penguasa zalim. Itulah bentuk Jihad yang paling mulia. Baik hal tersebut dilakukan secara langsung dengan lisan, ataupun dengan tulisan dan berbagai sarana lainnya.

Salah satu point dari penjelasan ulama di atas adalah, bahwa dakwah bisa dilakukan dengan berbagai cara, yaitu lisan, tulisan dan sarana lain. Artinya, menasehati penguasa merupakan kewajiban yang dapat disampaikan secara terbuka melalui media sosial.

Menasehati penguasa secara terbuka sebenarnya sudah dipraktekkan oleh para sahabat Rasulullah saw sejak dulu. Diriwayatkan dari Ikrimah ra. khalifah Ali bin Thalib ra. telah membakar kaum zindiq, berita ini sampai kepada Ibnu Abbas ra. maka berkatalah beliau, “Kalau aku, niscaya tidak akan membakar mereka karena Nabi saw telah bersabda, “Janganlah kamu menyiksa dengan siksaan Allah (api).” dan niscaya aku akan membunuh mereka karena sabda Nabi saw, “Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.” (HR Bukhari no. 6524)

Hadits ini jelas menunjukkan Ibnu Abbas telah mengkritik Khalifah Ali bin Thalib secara terbuka di muka umum. (Ziyad Ghazzal, Masyu’ Qanun Wasa’il Al-I’lam Ad-Daulah Al-Islamiyah, hlm.25).

 

Penguasa Jangan Anti Kritik

Belakangan semakin terang terlihat keengganan penguasa dinasehati oleh rakyatnya. Salah satu buktinya adalah kelahiran Undang-Undang (UU) Informasi Transaksi Elektronik (ITE). Sejak lahirnya, UU ITE sudah menjerat para pengkritik kebijakan penguasa. Mereka dituding berbuat makar ataupun melakukan penghinaan pada presiden melalui jejaring medsos yang dianggap melanggar UU ITE.

Koordinator SAFENet Indonesia, Damar Juniarto mengatakan, jika merujuk pada situs registrasi Mahkamah Agung, ada 508 perkara di pengadilan yang menggunakan UU ITE sepanjang 2011-2018. Ia mengatakan kasus paling besar terjadi pada 2018 yaitu 292 perkara.

Katanya lagi, kasus terbanyak adalah pidana yang berhubungan dengan penghinaan dan pencemaran nama baik atau defamasi, Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Di posisi kedua adalah kasus ujaran kebencian pasal 28 ayat 2 UU ITE. Menurut Damar, kedua sejoli ini memiliki tafsir yang sangat lentur sehingga banyak orang bisa dengan mudah terjerat. (https://interaktif.tempo.co/)

Kritik hakikatnya sama dengan koreksi terhadap penguasa alias dakwah. Artinya kritik yang dilakukan atas dasar Islam sebenarnya bentuk kasih sayang dan perhatian rakyat pada penguasanya. Kaum muslimin mengajak penguasa untuk kembali pada ajaran Islam secara kaffah, sebagaimana yang diwajibkan Allah subhanahu wa ta'ala. Aktivis dakwah mengingatkan penguasa agar menjalankan tugasnya sesuai Islam. Ketika Islam yang diterapkan, segala kebijakan akan berbuah pahala. Ia akan dicintai oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Rasulullah saw bersabda, “Sehari menjadi pemimpin yang adil, lebih baik daripada beribadah selama 60 tahun.” (HR Ahmad).

Namun jika pemimpin lalai terhadap penerapan Islam, maka ia akan menanggung akibatnya di akhirat kelak. Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang menjadi pemimpin (hanya) bagi 10 orang atau lebih, Allah akan mendatangkannya dengan tangan terbelenggu pada lehernya pada Hari Kiamat, ia akan dibebaskan oleh kebaikannya atau dikencangkan dosanya, awalannya ialah kesalahan, pertengahannya penyesalan, dan akhirannya kehinaan pada Hari Kiamat.” (HR Ahmad).

Ketika pemerintah bersikap anti kritik, tak lain hal itu semakin mengingatkan kita bahwa penguasa saat ini bukanlah penguasa yang dihasilkan oleh sistem Islam. Mereka adalah penguasa yang dilahirkan oleh sistem demokrasi yang rusak dan merusak. Sistem demokrasi berbasis sekuler meniscayakan eratnya hubungan penguasa dan pengusaha. Sebab mereka saling membutuhkan untuk dapat menang dalam pertarungan politik dan ekonomi. Sehingga ketika rakyat yang terabaikan menyampaikan kritik, yang timbul adalah kemarahan.

Hal ini sekaligus memunculkan kerinduan bagi kita terhadap para pemimpin ala syariah Islam. Mereka seperti Khalifah Umar bin Khaththab dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang takut pada Allah subhanahu wa ta'ala sehingga dengan lapang dada diingatkan rakyatnya. Maka sebagai muslim, yang harus kita lakukan adalah tetap menggunakan medsos sebagai sarana menyuarakan kebenaran Islam. Siapa tahu suatu saat hati para penolak syariah Islam termasuk penguasa, bisa lembut di hadapan Allah subhanahu wa ta'ala. Wallahu a’lam bishawab.

0 Comments

Post a Comment