Friday, August 14, 2015

Anak Jalanan, Berjudi dan Diperlakukan Kasar

picture by www.anneahira.com
Anak jalanan, salah satu potret suram dunia anak. Mereka seharusnya berada di sekolah, sedang sibuk mengerjakan soal matematika atau berdiskusi tentang sejarah dengan guru dan temannya. 

Namun mereka tak seberuntung itu. Rambut gimbal, tubuh yang penuh tato, bertindik di telinga, alis, bibir dan dagunya. Di terik matahari mereka berkeliaran di jalan. Memegang gitar lusuh lalu memainkannya di depan pengendara mobil pribadi, angkot, sepeda motor dan becak motor yang kebetulan terjebak lampu merah. 

Berpindah dari satu kendaraan ke kendaraan lainnya, berharap uang receh dari mereka. Uang yang sudah di tangan, lalu dibelikan rokok. Duduk dipinggir jalan sambil merokok. 

Bersama teman-teman senasib bercengkrama, kadang tertawa sambil mengeluarkan candaan berbau makian. Semua  saya saksikan dengan mata kepala sendiri. Sebab saya menjadi satu diantara orang-orang berkendara yang berhenti menunggu lampu merah kembali hijau.

Di lain kesempatan, saya kerap menyaksikan kekasaran demi kekasaran yang dilakukan orangtua terhadap anak. Hanya karena anak tidak mau makan, anak dibentak, dicaci maki dengan ucapan buruk. 

Saya sampai heran dengan kenalan yang satu itu. Padahal kelahiran anak itu sangat ditunggu-tunggu. Sekitar empat tahun menikah, pasangan tersebut belum juga dikaruniai anak. Mereka memohon pada Allah untuk diberi keturunan, terus berdoa dan selalu berharap. 

Setelah dikabulkan, anak diperlakukan dengan buruk. Apapun alasannya, berbuat kasar pada anak bukanlah solusi. Lagipula, orangtua yang harusnya intropeksi. Jangan-jangan memang makanan yang disajikan tidak sesuai selera anak. Atau mungkin kondisi kesehatan anak sedang menurun hingga tak selera untuk makan.

Ada lagi saya lihat, anak yang habis-habisan dicubit dan dibentak sekeras-sekerasnya dengan menyebut isi kebun binatang. Prilaku anak dianggap suatu kenakalan oleh ibu. 

Tapi pantaskah kenakalan itu dibayar dengan siksaan tersebut? Ibu berteriak-teriak dan anak semakin meraung, kesakitan, ketakutan dan melampiaskan kesal. Akhirnya tetangga yang merasakan ketidaknyamanan mendengar suara bising mereka. 

Hasil dari memberi sanksi gaya preman tersebut, anak jadi melawan pada orangtua. Lalu timbul di hati anak kebencian pada orangtuanya. Kadang, bila hal seperti itu terus berlarut-larut hingga anak besar, kebencian yang memuncak membuat anak tega membunuh orangtua. Begitu yang pernah ada di pemberitaan media. 

Saya suka merasa pedih sendiri menatap wajah ibu yang kejam itu. Mereka anggap perbuatan mereka benar, padahal berdampak fatal bagi anak. Masih banyak lagi peristiwa serupa, terjadi di hadapan saya.

Anak main judi. Ini terjadi pada masa kecil saya. Bahkan saya menjadi salah satu pelakunya. Saat itu saya ya tidak tahu bahwa perbuatan saya salah. Yang saya tahu, dengan uang sekian, kalau saya ikut bermain memasukkan koin di mesin yang waktu itu disebut dingdong, lalu menang, maka uang saya akan bertambah berkali lipat. 

Judi lainnya, taruhan dengan kartu dan guli. Kami anak-anak bermain bersama orang dewasa. Bermain secara profesional dengan taruhan yang seimbang. Saat itu saya kelas enam SD. 

Bersyukur di masa kuliah saya berkenalan dengan organisasi dakwah. Saya jadi paham bahwa saya berbuat salah. Sebelumnya saya tahu judi itu dosa, hanya kurang yakin. Setelah mengkaji Islam, baru benar-benar mengerti dan enggan melakukan. 

Mirisnya, hingga sekarang permainan judi yang melibatkan anak masih terus terjadi. Kini permainan judi makin canggih, yaitu dengan internet. Di sebelah rumah yang pernah saya dan suami sewa, ada usaha warung internet. Di situlah terjadi banyak permainan judi berkedok games online.

Bicara soal masalah anak, banyak sekali. Selama ini, bukan tidak ada individu ataupun lembaga yang memberi solusi untuk masalah anak. Ada lembaga seperti komisi perlindungan anak yang membela hak-hak anak. Ada pakar pendidikan dan pemerhati anak yang membangun sekolah seperti Ayah Edi dan Ibu Elly Risman. (lihat: http://www.ayahedy.tk/ dan http://profil.merdeka.com/indonesia/e/elly-risman-musa/). 

Ada sekolah karya sekelompok masyarakat yang menampung anak-anak jalanan untuk diajarkan musik, baca tulis dan kegiatan positif lainnya. Upaya mereka amat patut dihargai. Namun, kita tak mampu berpaling dari fakta. Masalah anak masih begitu-begitu saja, bahkan makin meningkat jenis kasusnya. Seperti pembunuhan, pelecehan seksual dan lain sebagainya.

Orangtua berperan penting untuk mendidik anak-anak mereka dengan baik. Untuk itu harus ada pendidikan yang membentuk masyarakat siap menjadi orangtua sang pendidik. Tentu butuh sekolah bagi calon orangtua. Sebaiknya pemerintah memfasilitasinya. 

Dalam mendidik anak, orangtua butuh bantuan lembaga pendidikan yaitu sekolah. Sejauh ini sistem pendidikan di sekolah belum mampu menciptakan anak-anak didik yang berkarakter baik secara menyeluruh. Buktinya, pelajar banyak yang tawuran, melakukan aksi geng motor, hamil di luar nikah dan terlibat masalah lainnya. 

Maka kurikulum pendidikan butuh perombakan total agar mampu memenuhi tuntutan kebutuhan anak dalam hal mengatasi persoalan mereka.

Masalah lainnya terletak pada biaya pendidikan yang mahal. Memang, masuk sekolah dasar negeri gratis. Tapi tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan perguruan tinggi, berbayar. 

Semakin tinggi kualitas pendidikan yang diinginkan, biaya yang dikeluarkan semakin mahal, (lihat: http://www.lpmpjateng.go.id/web/index.php/arsip/top-berita/488-mendiknas-kaji-biaya-mahal-pendidikan). Jadi, tak semua orang mampu menjangkau pendidikan formal. 

Anak-anak jalanan yang pernah saya lihat bisa jadi bermasalah dalam hal ini. Saya yakin mereka sebenarnya ingin sekolah. Tapi terhambat karena masalah biaya. Hal ini tentu perlu diubah, bagaimana agar semua anak bangsa bisa mengenyam pendidikan dengan mudah.

Media sebagai inspirasi kejahatan, (lihat: http://www.sarapanpagi.org/media-bisa-menginspirasi-kejahatan-vt2423.html). Anak suka berbuat kasar. Anak melakukan pelecehan seksual kepada teman sebayanya. Sebagian besar mereka terpengaruh tayangan televisi. 

Untuk itu siapa lagi yang mampu melarang media agar berhenti memberi tayangan sampah pada masyarakat, selain pihak berwenang yaitu pemerintah. Kepada pemimpin negara ini, jagalah anak-anak Indonesia dari tayangan-tayangan miskin mutu. Larang media menayangkan hal-hal berbau kekerasan dan pornografi. 

Lebih baik kalau media khususnya televisi menayangkan mayoritas acara sejenis dakwah. Ajakan pada kebaikan yang terus menerus akan mempengaruhi masyarakat menjadi baik. Orangtua baik, anak baik dan masyarakat pun baik.

Kalau saya sendiri meyakini bahwa pemerintah kesulitan merubah berbagai aspek yang butuh dirubah untuk kebaikan anak. Seperti aspek ekonomi, pendidikan, media dan lain sebaginya. 

Contohnya saja media. Sistem demokrasi yang diterapkan saat ini menjamin kebebasan berpendapat dan berprilaku, termasuk berbisnis. Selama tidak ada pengaduan masyarakat terhadap suatu tayangan televisi ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), maka sebuah siaran dianggap baik-baik saja. 

Kalaupun ada aduan, terkadang KPI lamban dalam memprosesnya. Sementara, sangat banyak tayangan yang tak layak bagi anak. Tak ada pengaduan, bukan berarti sebuah tayangan dianggap baik-baik saja oleh masyarakat. 

Bisa jadi karena banyaknya tayangan buruk tersebut dan masyarakat sudah capek mengadu, akhirnya tayangan itu dibiarkan saja. Bila orangtua diharapkan mendampingi anak ketika menonton televisi, maka kesibukan orangtua di dunia kerja sering membuat anak luput dari perhatian mereka. 

Bila orangtua disuruh mengurangi kesibukan kerjanya, maka alasan kebutuhan ekonomi yang serba mahal akan mementahkan nasehat bagi mereka itu.  Jadi, demokrasi sendiri yang jadi biang bebasnya media menayangkan konten buruk untuk anak.

Dengan permasalahan anak yang perlu perbaikan kompleks, saya sepakat dengan pendapat bahwa memang ini masalah sistemik. Masalah sistemik berarti yang bermasalah adalah sistem yang diterapkan di Indonesia. Sistem demokrasi kapitalis berbasis sekuler menjadi akar permasalahan anak dan masalah lainnya. 

Saya memilih untuk mendakwahkan penerapan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan kita, sebagai solusi bagi permasalahan anak dan lainnya. Tiap ada kesempatan untuk menyampaikan Islam, saya sampaikan bahwa sistem Islam adalah satu-satunya solusi untuk masalah bangsa kita.

Namun, bukan berarti saya melupakan solusi jangka pendeknya. Kepada orangtua yang berbuat kasar terhadap anak mereka, saya sampaikan cara mendidik anak yang baik menurut Islam. 

Saya sampaikan pada kenalan dampak buruk tayangan televisi, berharap mereka mengarahkan anak menonton acara TV yang berbobot. Kepada lembaga nirlaba yang membantu anak-anak jalanan, saya semampunya menyumbangkan yang saya punya. 

Kalau kepada anak-anak jalanan itu sendiri, terus terang saya takut mendekati mereka, karena penampilan urakannya itu. Lagipula mereka laki-laki dan saya perempuan. Tentu interaksi antara saya dan mereka terbatas menurut Islam.

Belajar dari realita yang ada, saya berusaha terus mengasah diri dengan ilmu mendidik anak. Kelak bila saya melahirkan anak, saya akan berusaha mengasuh dan mendidiknya sesuai Islam dan membentuknya menjadi pejuang Islam yang peduli pada permasalahan umat, sekaligus mencarikannya institusi pendidikan yang baik. 

Saya juga berdoa agar kehidupan Islam segera terwujud hingga anak-anak kita terbebas dari masalah.

6 Comments:

  1. suka sedih kalo lihat anak-anak yang dibentak orangtua... seharusnya orangtua bisa mengayomi, bukan membentak ya :)

    oya mak, sekalian mau info, blogku lagi syukuran, ikut yaa giveaway-nya http://heydeerahma.com/index.php/2015/07/13/kontes-blog-giveaway-lebaran-bersama-heydeerahma

    ReplyDelete
  2. Baru mampir kemari. Blognya bagus. Isinya juga berbobot ya mbak Eva. Semoga terus semangat! :-)
    Silakan mampir ke blog saya www.tintaperak.com :-)

    ReplyDelete
  3. Ah saya sering nyesek sendiri mak kalo anak anak diperlakukan dengn tidak sewajarnya.... semoga saja ada solusi yg tepat y mak utk semua permaslahan anak2 dinegara kita ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. ia mak, saya juga berharap masalah anak bisa teratasi dengan formula terbaik. kalau saya yakin solusi yang paling jitu datangnya dari Islam mbak

      Delete