![]() |
Wanitakelantan.com |
Salah satu pemicu konflik rumah tangga adalah
relasi antara menantu perempuan dan ibu mertua. Apalagi kalau keduanya tinggal
satu rumah. Gesekan lebih rentan terjadi. Semisal soal dapur. Bisa serba salah.
Kalau yang ngurusi dapur menantu, mertua yang
merasa lebih berpengalaman bisa menganggap menantunya banyak kekurangan. Kurang
enak masakannya. Kurang ahli menggunakan bumbu – bumbuan. Kurang dalam memberi
cita rasa pada makanan. Kondisi seperti ini meimbulkan ketidakenakan di hati
menantu.
Kalau urusan dapur yang pegang adalah mertua, menantu
terkesan manja. Kok menantu enak – enakan, mertua yang malah masakin buat anak
dan menantunya. Kalau dapur terpisah dalam satu rumah, lebih sensitif lagi.
Menantu masak pas – pasan salah. Masak lebih terus dikasih ke mertua, juga
kesannya boros, salah lagi.
Potensi konflik menantu versus ibu mertua
terjadi bukan hanya terjadi di masa kini. Orang – orang yang hidup di masa lalu
juga memahami hal ini. Termasuk sahabat Rasulullah saw yakni Ali bin Abi
Thalib. Ali adalah anak soleh yang berbakti kepada orangtuanya.
Ibunya Ali, Fatimah binti Asad terkenal
sebagai muslimah soliha. Ia turut mengasuh Muhammad saw kecil dulunya. Ia masuk
Islam tak lama setelah suaminya meninggal dunia. Perempuan yang dinikahi oleh
Ali juga tak kalah soliha. Fatimah binti Muhammad saw, adalah muslimah hasil
didikan langsung, sehari – harinya nabi tercinta Muhammad saw.
Meski dirinya adalah orang baik dan di
kelilingi oleh orang – orang baik, tidak lantas bebas dari potensi
perselisihan. Ini dipahami oleh Ali bin Abi Thalib. Sehingga ketika ia menikah
dengan Fatimah dan mereka tinggal serumah dengan sang ibu, Ali melakukan satu
strategi untuk membuat keadaan rumah sama – sama enak bagi ibu dan isteri
tercintanya.
Bagaimana cara Ali mendamaikan ibu dan
isterinya dalam urusan dapur?
Dalam Buku Biografi 39 Tokoh Wanita Pengukir
Sejarah Islam karya Dr. Bassam Muhammad Hamami, diceritakan bahwa dengan
kebijakan dan kemampuannya untuk berbuat adil, Ali membagi tugas perdapuran
kepada ibu dan isterinya. Ali berkata kepada ibunya, “Cukuplah untuk Fatimah
binti Rasulullah saw dalam urusan air dan pergi untuk mencari kebutuhan. Adapun
ibu cukup dalam urusan penggilingan dan adonan”.
Masya allah, jiwa kepemimpinan Ali dalam hal
ini terwujud. Agar kedua wanita yang ia cintai merasa berkontribusi terhadap
anak maupun suami yang mereka sayangi, keduanya sama – sama memiliki tugas. Tak
ada persaingan oleh keduanya, melainkan kerjasama.
Meski kehidupan rumah tangga yang paling ideal
adalah terpisah dari orangtua, namun jika kondisi sedang tak memungkinkan, maka
bersikap bijak seperti Ali sangat dibutuhkan. Dengan begitu kehidupan rumah
tangga akan tetap harmonis, meski tinggal bersama orangtua.
0 Comments
Post a Comment