https://ekonomi.bisnis.com/ |
Kenaikan harga BBM tempo
hari menjadi sinyal semakin buruknya perekonomian masyarakat. Harga – harga
kebutuhan pokok yang ikut naik menyulitkan masyarakat, termasuk para buruh.
Dimana para buruh tak mendapatkan kenaikan upah untuk menyesuaikan diri dengan keadaan
buruk itu.
Kini buruh pun semakin
terjepit. Ancaman PHK di depan mata mereka. Sejumlah pabrik tekstil tutup.
Sementara pabrik yang lainnya berada dalam kondisi kritis. Sebagaimana di Jawa
Barat, dari data Perkumpulan Pengusaha Produk Tekstil Provinsi Jawa Barat
(PPTPJB), 18 pabrik tekstil tutup disana.
Pabrik yang masih buka,
hanya mempekerjakan karyawan kurang dari 50 persen dari jumlah sebelumnya. Hal
itu disebabkan permintaan pasar terhadap pakaian menurun. Baik lokal maupun
penurunan order ekspor bagi industri garmen yang berorientasi ekspor.
Produksi barang menurun,
maka jumlah karyawan pabrik pun dikurangi. Dikabarkan pula bahwa pengurangan
karyawan pabrik seperti di Bogor dan Purwakarta, ikut disebabkan karena upah
minimum kabupatennya sudah terlalu tinggi.
Pihak
organisasi buruh bersuara. Mereka menolak keras kebijakan PHK besar – besaran
di tengah kondisi ekonomi dunia yang makin menurun. Nasib buruh di Eropa
misalnya, tak jauh beda dengan buruh di Indonesia. Mereka pun sedang melakukan
demonstrasi memprotes harga – harga kebutuhan yang melambung tinggi dan PHK
besar – besaran.
Undang
– Undang Cipta Kerja yang pernah dijanjikan dapat menciptakan lapangan kerja
dan memperbaiki ekonomi nyatanya gagal. Jauh panggang
dari api. Buruh pun menuntut pemerintah untuk mengatasi masalah yang mereka
alami.
Dalam
unjuk rasa buruh yang beberapa waktu lalu, ada 6 tuntutan yang disampaikan.
Yakni menolak PHK, menolak kenaikan harga BBM, menolak omnibuslaw UU Cipta
Kerja, naikkan UMK/UMSK tahun 2023 sebesar 13%, wujudkan reforma agraria, dan
sahkan RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT).
Di
tengah kondisi ekonomi rakyat yang makin melemah, elit politik justru sibuk
mikirin kekuasaan untuk 2024. Sudah ada yang melakukan pencitraan ataupun
menghitung hitung peluang kemenangan mereka dua tahun mendatang.
Begitulah
ciri khas politik demokrasi. Politik yang hanya urusan berebut kekuasaan.
Rakyat dijadikan sebagai batu loncatan ke kursi kekuasaan. Setelah menjabat,
rakyat pun dilupakan. Kondisi seperti itu yang selalu berulang.
‘Lugunya’ rakyat negeri ini, berulang kali pula mau untuk dibohongi sama calon pejabat. Diberi harapan masih percaya. Jadi bagaimana mau berubah? Kapan bisa benar – benar sejahtera?
0 Comments
Post a Comment