Banjiha adalah nama sebuah apartemen
semi-bawah tanah yang ada di Seoul, Korea Selatan. Ukurannya kecil, tanpa
fentilasi dan lembab. Disana tinggal orang – orang korea berpenghasilan kecil.
Jumlahnya ribuan.
Mereka tak mampu membeli ataupun menyewa
rumah di atas tanah yang lebih sehat. Sebab harga rumah – rumah itu mahal. Selama
beberapa tahun belakangan, orang – orang Korea yang berusia di bawah 35 tahun
memiliki pendapatan yakni setengah dari biaya sewa rumah di Seoul.
Jadi tinggal di banjiha bukan pilihan favorit
melainkan keterpaksaan bagi orang muda yang miskin Korea. Sewa bulanannya sekitar 540.000 won (sekitar Rp 6 juta
dalam kurs 12 Agustus 2022), dengan rata-rata gaji bulanan orang yang berusia
20-an tahun sekitar 2 juta won (sekitar Rp 22,5 juta)
Kondisi itu mengingatkan kita kembali,
semaju apapun sebuah negara, sekeren apapun sebuah negara di mata dunia, ketika
negara itu menggunakan sistem kapitalisme, kesenjangan ekonomi yang
memprihatinkan tetap terjadi.
Kapitalisme memang khas dengan
kesenjangan ekonomi. Sebaliknya, ia anti pemerataan. Kebebasan berekonomi yang
dijamin dalam sistem kapitalisme telah memaksa yang lemah untuk bersaing dengan
yang kuat. Bak dalam ring tinju, kelas berat diadu dengan kelas ringan, jelas
yang kuat makin menang dan yang lemah makin kalah.
Sejak awal, orang miskin dihadapkan
dengan kondisi mahalnya biaya pendidikan bergengsi dan tingginya biaya
kebutuhan hidup. Ketika mereka mau bangkit dari kemiskinan, mereka harus memiliki
tenaga ekstra hebat. Tidak ada peran maksimal negara yang memudahkan si lemah
mencapai kesejahteraannya.
Alhasil, jumlah si miskin yang bisa
menaklukkan kerasnya hidup di sistem kapitalisme hanya beberapa saja.
Selebihnya, mereka harus rela hidup melarat untuk tetap bertahan hidup atau
tetap berharap mimpi mereka tercapai.
Jurnalis BBC Korea, Julie Yoon mendatangi
beberapa orang yang bertempat tinggal di banjiha pada 2020. Ia hendak melihat
kondisi kehidupan orang disana. Seorang warga banjiha bernama Oh kee-cheol
mencoba menanam tanaman yang dapat menyimpan air lebih banyak disana. Namun
tanaman itu tak mampu bertahan lama. Sebab, matahari tak dapat masuk kesana.
Kondisi pengap di banjiha, masih ditambah
kebiasaan buruk orang – orangnya. Ada yang sanggup merokok ataupun membuang
ludah disana. Keadaan cukup parah dialami warga banjiha pada musim panas. Cuaca
terasa sangat menyiksa. Jamur pun tumbuh dengan cepat disana.
Kondisi kamar mandi warga banjiha juga
memprihatinkan. Kamar mandinya kecil dan tidak memiliki bak air. Letaknya pun
berapa setengah meter dari atas lantai. Jika ingin mandi, orang harus membuka
kakinya lebar – lebar agar kepalanya tak terbentur plafon.
Pada 2018, PBB mencatat,
meskipun termasuk ke dalam daftar 11 negara dengan ekonomi terbesar di dunia,
Korea Selatan memiliki permasalahan kurangnya perumahan dengan harga
terjangkau. Perumahan yang tumbuh pesat berbiaya mahal.
Jelas saja seperti itu,
karena pemerintah memang tak berperan menyediakan rumah layak huni yang
terjangkau bagi rakyatnya. Pemerintahan demokrasi kapitalis dibentuk oleh
sistem tersebut untuk menjabat demi kepentingan pribadi.
Sebagai bukti, pemerintah Seoul telah mengumumkan akan menghapuskan banjiha, setelah
dua perempuan dan seorang remaja tewas dalam banjir yang terjadi kemarin.
Namun sebenarnya pernyataan
itu hanya pengulangan saja. Beberapa kali pemerintah pernah berjanji akan
menghapus banjiha dan menggantikan dengan membangun rumah layak huni di atas
tanah bagi warga miskin. Tapi janji itu tak kunjung diwujudkan.
Referensi: https://www.youtube.com/watch?v=pwaJ7kZQDO4
0 Comments
Post a Comment