Wednesday, December 15, 2021

Prof. Fahmi Amhar: “Hadapi Bencana Dengan Dua Kaki” (Part 2)

 


Setidaknya, tiga hal yang harus diperhatikan dalam menghadapi bencana terkait dimensi teknologis, yakni mitigasi, prediksi dan peringatan dini.

Mitigasi atau upaya mengurangi resiko bencana, misalnya membangun bangunan tahan gempa guna menghadapi resiko bencana berbentuk gempa. Kalau pada bencana gunung meletus, mitigasi yang tepat adalah menjauhkan pendudukan dari daerah gunung yang aktif.

Artinya daeran rawan bencana gunung meletus tidak dijadikan sebagai tempat tinggal. Disini menjadi tugas negara untuk merelokasi penduduk dari daerah tersebut. Memang hal ini membutuhkan biaya yang besar. Namun kata Profesor Fahmi, biaya demokrasi jauh lebih besar daripada menyelesaikan masalah ini.

Dalam hal prediksi dan peringatan dini, sebenarnya untuk bencana gunung meletus lebih mudah dilakukan. Prediksi bisa dilakukan dengan baik dan peringatan dini bisa dibuat cukup panjang. Maka harus dikembangkan teknologi yang tepat dalam hal ini.

***

Selain itu, pada dimensi sosiologis, masyarakat harus memperkuat ketangguhan terhadap bencana dan memasyarakatkan budaya sadar bencana. Hal itu dapat lebih optimal jika ekonomi dan politik diarahkan untuk menjadikan penanggulangan bencana sebagai salah satu parameternya. Negara yang peduli akan menjamin ketersediaan anggaran cadangan untuk bencana.

Sayangnya perhatian negara inilah yang kurang. Pembuatan anggaran dibatasi tahun anggaran, sementara anggaran cadangan untuk bencana kurang. Pada tahun 2004 misalnya, gempa dan tsunami aceh tanggal 26 Desember.

Kondisinya sudah tutup buku, belum bisa buat anggaran baru. Sementara bencana butuh biaya penanggulangan. Untung saat itu ada orang-orang yang berpikir cepat dan langsung bisa memberi solusi. Jadi ada yang bisa dilakukan meski tak optimal.

***

Profesor Fahmi mengajak peserta Ngaji Subuh berkaca pada masa peradaban Islam dulunya. Penguasa Islam saat itu punya perhatian besar pada rakyatnya. Para penguasa itu menyediakan berbagai fasilitas umum untuk melindungi rakyatnya dari bencana.

Mereka membayar bayar para insinyur untuk membuat alat dan metode peringatan dini, mendirikan bangunan tahan bencana, membangun bunker cadangan logistik hingga melatih masyarakat untuk tanggap darurat.

Diantara cara melatih masyarakat tanggap darurat adalah dengan aktivitas jihad.  Jihad adalah cara yang efektif agar masyarakat selalu siap menghadapi situasi buruk.

Pemimpin saat itu sama dengan rakyatnya, terlatih dalam tanggap darurat. Mereka orang-orang yang tahu apa yang harus dikerjakan dalam situasi normal maupun genting, bukan orang orang yang hanya pandai seremonial .

Prof Fahmi membandingkan dengan kondisi hari ini. Suatu kali ada seorang bupati yang diberi tahu bahwa di daerahnya terjadi banjir. Bukannya segera bertindak menolong warganya, bupati yang saat itu sedang ada di stadion, malah memilih menyelesaikan nonton bolanya terlebih dahulu baru memberi perhatian pada rakyatnya.

Hubungan rakyat dan penguasa masa peradaban Islam pun harmonis. Mereka saling mengingatkan bahwa kematian itu sangat dekat, baik karena bencana atau karena hal lainnya.

Alhasil mereka tergerak menyiapkan akhirat, karena dunia sementara. Jadi secara mental mereka siap jika bencana benar benar terjadi, dan jejaring sosial mereka telah kuat untuk tolong menolong

Salah satu contoh warisan ketangguhan pemerintahan Islam adalah bangunan masjid klasik yang ada di wilayah bekas Kekhilafahan seperti di Turki Utsmani. Dulu ada seorang arsitek muslim yang sangat terkenal bernama Sinan.

Dia yang membangun berbagai bangunan tahan gempa termasuk masjid. Dia membangun masjid dengan konstruksi beton bertulang yang sangat kokoh, yang dapat membagi dan menyalurkan beban secar merata

Dikemudian hari, masjid peninggalan peradaban Islam tidak hancur diterpa gempa bumi berkekuatan di atas 8 skala richter yang terjadi di Turki. Sementara bangunan modernnya justru hancur.

Pemerintah Turki sempat khawatir jika masjid-masjid tua itu nantinya akan roboh. Lalu diundanglah konsultan konstruksi dari Jepang untuk mempelajari dan mengatasi masalah itu. Tapi justru orang Jepang itu takjub dengan bangunan masjid yang kokoh dihadapannya.

Konsultan Jepang itu mengatakan bahwa dia yang malah belajar pada Turki. Karena Turki ternyata sudah memiliki teknologi konstruksi yang bagus sejak beratus ratus tahun lalu.

Terakhir, pesan yang saya pikir cukup penting yang bisa saya simpulkan dari ucapan Profesor Fahmi. Maksiat mengundang murka Allah swt dan maksiat terbesar adalah meninggalkan hukum-hukum Allah swt.

Karena hukum-hukum Allah swt ditinggalkan, maka umat Islam tak mampu mendudukkan ilmu langit dan ilmu dunia secara tepat. Mereka pun akhirnya tak mampu menghadapi bencana dengan maksimal pada dua kaki tersebut.



Maka kaum muslimin harus terus melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Terus berdakwah menyuarakan kebangkitan Islam. Jangan sampai Allah swt tak lagi mempedulikan doa orang-orang salih yang memohon agar terhindar dari bencana.

Ya, kata Rasul saw doa orang-orang salih tak lagi dipedulikan Allah swt ketika mereka membiarkan kemaksiatan merajalela tanpa mencegah dan mengajak manusia kembali ke jalan kebenaran.

Baca Juga: Prof. Fahmi Amhar: “Hadapi Bencana Dengan Dua Kaki” (Part 1)

0 Comments

Post a Comment