Setidaknya, tiga hal yang harus
diperhatikan dalam menghadapi bencana terkait dimensi teknologis, yakni
mitigasi, prediksi dan peringatan dini.
Mitigasi atau upaya mengurangi resiko
bencana, misalnya membangun bangunan tahan gempa guna menghadapi resiko bencana
berbentuk gempa. Kalau pada bencana gunung meletus, mitigasi yang tepat adalah
menjauhkan pendudukan dari daerah gunung yang aktif.
Artinya daeran rawan bencana gunung meletus tidak dijadikan sebagai tempat tinggal. Disini menjadi tugas negara untuk merelokasi penduduk dari daerah tersebut. Memang hal ini membutuhkan biaya yang besar. Namun kata Profesor Fahmi, biaya demokrasi jauh lebih besar daripada menyelesaikan masalah ini.
Dalam hal prediksi dan peringatan dini,
sebenarnya untuk bencana gunung meletus lebih mudah dilakukan. Prediksi bisa
dilakukan dengan baik dan peringatan dini bisa dibuat cukup panjang. Maka harus
dikembangkan teknologi yang tepat dalam hal ini.
***
Selain itu, pada dimensi sosiologis,
masyarakat harus memperkuat ketangguhan terhadap bencana dan memasyarakatkan
budaya sadar bencana. Hal itu dapat lebih optimal jika ekonomi dan politik
diarahkan untuk menjadikan penanggulangan bencana sebagai salah satu
parameternya. Negara yang peduli akan menjamin ketersediaan anggaran cadangan
untuk bencana.
Sayangnya perhatian negara inilah yang
kurang. Pembuatan anggaran dibatasi tahun anggaran, sementara anggaran cadangan
untuk bencana kurang. Pada tahun 2004 misalnya, gempa dan tsunami aceh tanggal
26 Desember.
Kondisinya sudah tutup buku, belum bisa
buat anggaran baru. Sementara bencana butuh biaya penanggulangan. Untung saat
itu ada orang-orang yang berpikir cepat dan langsung bisa memberi solusi. Jadi ada
yang bisa dilakukan meski tak optimal.
***
Profesor Fahmi mengajak peserta Ngaji
Subuh berkaca pada masa peradaban Islam dulunya. Penguasa Islam saat itu punya
perhatian besar pada rakyatnya. Para penguasa itu menyediakan berbagai
fasilitas umum untuk melindungi rakyatnya dari bencana.
Mereka membayar bayar para insinyur untuk
membuat alat dan metode peringatan dini, mendirikan bangunan tahan bencana,
membangun bunker cadangan logistik hingga melatih masyarakat untuk tanggap
darurat.
Diantara cara melatih masyarakat tanggap
darurat adalah dengan aktivitas jihad.
Jihad adalah cara yang efektif agar masyarakat selalu siap menghadapi
situasi buruk.
Pemimpin saat itu sama dengan rakyatnya,
terlatih dalam tanggap darurat. Mereka orang-orang yang tahu apa yang harus
dikerjakan dalam situasi normal maupun genting, bukan orang orang yang hanya
pandai seremonial .
Prof Fahmi membandingkan dengan kondisi
hari ini. Suatu kali ada seorang bupati yang diberi tahu bahwa di daerahnya
terjadi banjir. Bukannya segera bertindak menolong warganya, bupati yang saat
itu sedang ada di stadion, malah memilih menyelesaikan nonton bolanya terlebih
dahulu baru memberi perhatian pada rakyatnya.
Hubungan rakyat dan penguasa masa
peradaban Islam pun harmonis. Mereka saling mengingatkan bahwa kematian itu
sangat dekat, baik karena bencana atau karena hal lainnya.
Alhasil mereka tergerak menyiapkan
akhirat, karena dunia sementara. Jadi secara mental mereka siap jika bencana
benar benar terjadi, dan jejaring sosial mereka telah kuat untuk tolong
menolong
Salah satu contoh warisan ketangguhan
pemerintahan Islam adalah bangunan masjid klasik yang ada di wilayah bekas
Kekhilafahan seperti di Turki Utsmani. Dulu ada seorang arsitek muslim yang
sangat terkenal bernama Sinan.
Dia yang membangun berbagai bangunan
tahan gempa termasuk masjid. Dia membangun masjid dengan konstruksi beton
bertulang yang sangat kokoh, yang dapat membagi dan menyalurkan beban secar
merata
Dikemudian hari, masjid peninggalan
peradaban Islam tidak hancur diterpa gempa bumi berkekuatan di atas 8 skala
richter yang terjadi di Turki. Sementara bangunan modernnya justru hancur.
Pemerintah Turki sempat khawatir jika
masjid-masjid tua itu nantinya akan roboh. Lalu diundanglah konsultan
konstruksi dari Jepang untuk mempelajari dan mengatasi masalah itu. Tapi justru
orang Jepang itu takjub dengan bangunan masjid yang kokoh dihadapannya.
Konsultan Jepang itu mengatakan bahwa dia
yang malah belajar pada Turki. Karena Turki ternyata sudah memiliki teknologi
konstruksi yang bagus sejak beratus ratus tahun lalu.
Terakhir, pesan yang saya pikir cukup
penting yang bisa saya simpulkan dari ucapan Profesor Fahmi. Maksiat mengundang
murka Allah swt dan maksiat terbesar adalah meninggalkan hukum-hukum Allah swt.
Karena hukum-hukum Allah swt
ditinggalkan, maka umat Islam tak mampu mendudukkan ilmu langit dan ilmu dunia
secara tepat. Mereka pun akhirnya tak mampu menghadapi bencana dengan maksimal
pada dua kaki tersebut.
Maka kaum muslimin harus terus melakukan
amar ma’ruf nahi munkar. Terus berdakwah menyuarakan kebangkitan Islam. Jangan
sampai Allah swt tak lagi mempedulikan doa orang-orang salih yang memohon agar
terhindar dari bencana.
Ya, kata Rasul saw doa orang-orang salih
tak lagi dipedulikan Allah swt ketika mereka membiarkan kemaksiatan merajalela
tanpa mencegah dan mengajak manusia kembali ke jalan kebenaran.
Baca Juga: Prof. Fahmi Amhar: “Hadapi Bencana Dengan Dua Kaki” (Part 1)
0 Comments
Post a Comment