https://www.cnbcindonesia.com/ |
Salah satu syarat bolehnya berutang dalam
Islam adalah memiliki kemampuan untuk membayar. Dari Abdullah bin ‘Amr bin al
Aash, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Akan diampuni orang yang mati syahid
setiap dosanya, kecuali utang.” (HR. Muslim)
Hadist itu mencela seseorang yang mati syahid sementara dia masih memiliki utang. Ada beberapa hadist lainnya yang memiliki makna serupa, yakni celaan terhadap orang yang mati sebelum ia membayar utangnya. Hal ini yang disebut ulama sebagai indikasi bahwa menurut Islam, seseorang tak boleh begitu mudah berutang.
Hendaknya utang dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan mendesak. Lalu sebelum memutuskan untuk berutang, harus pula diperkirakan kemampuan membayarnya. Misalnya, gaji yang akan diterimanya kelak dari pekerjaannya, setelah dikurangi biaya kebutuhan sehari-hari, masih ada sisa untuk membayar utang, baik membayar secara kontan atau mencicil.
Sehingga
dia tak perlu gali lubang tutup lubang, terus menerus terlilit utang. Sebab
dalam pandangan Islam utang selayaknya bersifat
temporer.
Dalam konteks utang negara, tampaknya syarat
di atas tak terpenuhi. Sejak awal kemerdekaan, Indonesia sudah berutang. Hingga
kini, utang negara masih ada bahkan semakin bertambah setiap tahunnya. Utang lama belum lunas terbayar, ditambah lagi dengan
utang baru. Begitu seterusnya. Hingga utang negara makin menumpuk.
Bank Indonesia memiliki catatan utang luar negeri
Indonesia hingga akhir kuartal ketiga tahun 2021, yakni sebesar US$ 423,1
miliar atau setara dengan Rp 6.008 triliun.
Jumlah tersebut bertambah 3,7% dibandingkan
periode yang sama tahun lalu. Hal itu terjadi diantaranya disebabkan oleh
bertambahnya utang luar negeri peemerintah yang berasal dari penerbitan global
bonds. (https://katadata.co.id/15/11/2021)
Disamping itu yang paling penting adalah utang negara tidak syar’i, karena mengandung bunga atau riba. Haramnya riba sudah jelas bagi umat Islam. Lalu keharaman utang luar negeri tak hanya karena ribanya, selain itu ia juga terlarang karena membahayakan kedaulatan negara.
Sudah jamak diketahui bahwa utang luar negeri itu bersyarat, dimana
syarat tersebut untuk keuntungan negara pemberi utang dan merugikan negara
pengutang. Buktinya, berpuluh tahun Indonesia berutang, namun kondisi negara
bukan semakin baik, rakyat miskin justru semakin bertambah.
Seperti biasa, meski diperingatkan akan bahaya utang, namun pemerintah kerap memberi alasan. Seolah ingin membius kesadaran publik akan gentingnya urusan utang negara ini. Masih dari sumber katadata.com, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono meyakinkan publik bahwa ULN pemerintah dikelola secara hati-hati, kredibel, dan akuntabel.
Utang pun diperuntukkan utamanya demi belanja
prioritas pemerintah, termasuk untuk kelanjutan upaya percepatan program
Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Sebenarnya ucapan tersebut justru menunjukkan
semakin lemahnya kedaulatan negeri kita. Sebab penyelamatan ekonomi negara
digantungkan pada utang.
Islam Mampu Selesaikan
Utang
Sebagaimana disinggung di
awal, Islam mengajarkan bahwa dalam berutang harus berpikir panjang, tak
sembarangan, hanya bersifat temporer untuk pemenuhan kebutuhan mendesak.
Utamanya, konsep utang dalam Islam adalah tolong menolong, sehingga meniadakan
unsur riba.
Dengan potensi kekayaan alam Indonesia, seharusnya negara tak perlu berutang, cukup mengelola kekayaan alam secara mandiri semaksimal daya upaya anak negeri. Maka hasilnya lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat negeri ini.
Hal itu sesuai
ajaran Islam, sehingga jika pengelolaan negeri ini pakai Islam seutuhnya, maka
negeri ini tak perlu jatuh ke dalam jeratan utang.
Namun bila utang sudah terlanjur menggunung seperti saat ini, mau tak mau harus diselesaikan.
***
Dalam
buku berjudul Perdaban Emas Khilafah Islamiyah karya KH. Hafidz Abdurrahman,
MA, dijelaskan tata cara syariah Islam menyelesaikan utang negara.
Dengan berpegang pada perintah dan larangan dalam syariah, diantara caranya yakni negara harus berani melobi negara – negara pendonor untuk menata ulang perjanjian utang piutang antara mereka.
Pembayaran hanya akan dilakukan terhadap utang pokok saja.
Negara bisa mengumpulkan dana pembayaran utang dengan bertindak tegas pada
maling – maling uang negara. Semua harta para koruptor dari hasil korupsi
termasuk yang disimpan di bank - bank di luar negeri harus disita seluruhnya.
Jika kurang mencukupi, bisa
ditambahi dari uang yang berasal dari badan usaha milik negara. Dalam pandangan
Islam, badan usaha milik negara berarti perusahan yang sepenuhnya milik negara,
sehingga pendapatan di dalamnya pun bisa digunakan untuk membayar utang negara.
Kemudian, harus dilakukan pemisahan antara utang pemerintah dengan utang swasta. Siapa yang berutang, dialah yang harus membayarnya. Utang swasta bisa dibayar dengan harta perusahaan ataupun pemilik perusahan tersebut.
Kita sering mendengar
besarnya jumlah harta kekayaan konglomerat pelaku bisnis raksasa, terdaftar di
majalah bisnis seperti Forbes. Harta itu seharusnya digunakan untuk membayar
utang – utang mereka.
***
Kalau cara Islam tersebut hendak dipakai pada kondisi sekarang, tentu tak bisa. Sebab ia bertentangan dengan penerapan sistem kapitalis sekuler saat ini. Penerapan syariah Islam sepaket dengan model negaranya, yakni Khilafah Islamiyah.
Cara pandang yang diajarkan kapitalis sekuler, utang ribawi bukan masalah, sehingga rezim hari ini tetap merasa aman. Bahkan menularkan kebiasaan berutang pada rakyatnya.
Sementara menurut Islam utang riba itu masalah. Terus - menerus berutang tanda tak pandai mengelola keuangan. Bagi Islam ini juga masalah yang tak boleh terus dibiarkan. Maka akan disistemi oleh Islam untuk segera diselesaikan secara tuntas.
Jadi, kalau menurutku Islam sistem terbaik dari Allah swt yang paling layak diterapkan dala kehidupan kita.
Baca Juga: Ekonomi Islam Itu Luar Biasa
0 Comments
Post a Comment