Judul : Geopolitik Ibu, Menanamkan
Cita-Cita Jihad Pada Generasi
Penulis : Fika Komara & Tim Institut Muslimah Negarawan
Penerbit : ImuNe Press
Tahunterbit : 2020
Ketebalan : 244 hal
ISBN : 978-602-74287-7-5
Sekitar minggu pertama bulan Ramadhan saya sudah menyelesaikan buku ini. Namun menulis reviewnya masih terabaikan karena urusan lainnya. Hingga akhirnya aksi terorisme zionis yahudi penjajah terhadap pemuda Palestina di Mesjid al Aqsa terjadi.
Teringat kembali
pada buku ini. Pesan di dalamnya berhubungan erat dengan persoalan penjajahan
yang dialami kaum muslimin hari ini. Sehingga memahami, meyakini serta mengamalkan
isinya menjadi penting.
Mengamati derita
kaum muslimin karena penjajahan di berbagai wilayah seperti di Palestina, kita
menyadari bahwa keberadaan Khilafah dengan pasukan jihadnya adalah solusi fundamental
untuk mengakhiri penjajahan di muka bumi.
Jihad melawan
penjajah tentu membutuhkan sumber daya manusia yang memiliki bekal cukup.
Utamanya bekal keimanan dan mental pejuang, dimana hal itu harus dibentuk sejak
dini. Kaum ibu-lah yang berperan penting menghasilkan generasi penakluk itu.
Maka kesadaran kaum ibu terhadap perannya mesti dimunculkan sejak dini.
Oleh penulisnya buku
ini diharapkan bisa menjadi salah satu inspirasi para ibu ataupun calon ibu
untuk menyadari pentingnya peran dirinya. Jika menginginkan keberadaan Islam
sebagai rahmat yang dapat menghentikan penjajahan dan menciptakan perdamaian
hakiki di dunia, para ibu wajib menanamkan cita-cita jihad pada generasi
mereka.
***
Darimana para ibu
memulai?
Menurut penulis
pertama sekali kaum ibu mesti memiliki kesadaran politik Islam serta memahami
mengenai makna geopolitik Islam.
Politik Islam
bermakna ri’ayah syu’unil ummah, atau memikirkan, dan mengelola semua
urusan dan nasib umat (rakyat). (hal. 6)
Sementara geopolitik
Islam bermakna pengaturan ruang hidup umat Muhammad dengan aturan-aturan Islam
baik di dalam maupun luar negeri, sehingga umat akan terus tumbuh menjadi umat
terbaik berdasarkan kontrol Syariah Islam terhadap zona geografis yang
dimilikinya. (hal. 9)
Visi tersebut
diwujudkan dengan jalan kekuasaan yakni Khilafah. Sesuai dengan hadist
Rasulullah saw bahwa fungsi Khilafah adalah sebagai pengurus (ra’in) dan
pelindung (junnah) bagi rakyat di bawah kekuasaannya.
Ketulusan kekuasaan
Islam dalam menjalankan amanahnya bisa ditemukan pada sejarah Khilafah. Diceritakan
bahwa saat melihat pedang Sultan Sulaiman, Perdana Menteri Moldova berkata, “Meskipun
Sultan Sulaiman menaklukkan tanah kami, tetapi ia tidak mengubah agama kami,
merampok kami atau menghina wanita kami, atau mengintimidasi anak-anak kami dan
orang tua kami atau menganiaya kami. Untuk alasan ini saya akan mencium
pedangnya dengan segala hormat.”
Dia pun berkata
lagi, “Khilafah Utsmani adalah jejak-jejak indah yang tersisa di dunia karena
keadilan, kehormatan, untuk semua agama, untuk Islam, dan bahkan untuk
non-Muslim”. (hal. 13)
***
Gambaran kemuliaan
Islam yang demikian mesti dipahami benar oleh kaum muslimah. Sayangnya malang
bagi kaum muslimin saat ini. Penjajahan pemikiran merupakan bentuk penjajahan
terparah yang menimpa kaum muslimin.
Ide-ide barat yakni
sekulerisme, kapitalisme, demokrasi dan ide-ide barat lainnya bercokol merata
di seluruh negeri-negeri muslim. Karenanya kaum muslim lemah. Mereka termakan
hasutan barat yang memonsterisasi ajaran Islam tentang jihad dan khilafah.
Hingga muslimah banyak yang terpengaruh olehnya. Membenci hal-hal yang berbau
jihad dan Khilafah.
Padahal Rasulullah
saw menyebut jihad sebagai ibadah puncak umat Islam atau dzirwatu sanam. Dari
Mu’adz bin Jabal Rasulullah saw bersabda: “Maukah bila aku beritahukan pokok
amal, tiang-tiangnya dan puncak-puncaknya?”
Rasulullah saw
bersabda: “Pokok amal adalah Islam, tiang-tiangnya adalah ssalat, dan
(dzirwatu sanam) puncaknya adalah jihad.” (HR. Tirmidzi no. 2616).
Pemikiran barat
utamanya mudah menyusupi para muslimah di belahan bumi yang tidak mengalami
penjajahan fisik seperti Indonesia. Disini para ibu terlena dengan dunia. Lebih
takut kehilangan dunia daripada akhirat. Lebih khawatir anaknya lapar daripada
tak paham al Quran. Memilih menghabiskan waktu untuk mencapai dunia demi
membahagiakan keluarga.
Alhasil mereka lelah
dan tak lagi punya waktu untuk mengenali Islam lebih dalam. Mereka pun menjadi
mudah terpengaruh paham barat dan percaya terhadap opini – opini media
pendukung barat yang membusukkan Islam. Penulis mengungkapkan kesedihan dan
sangat prihatin dengan kondisi para muslimah tersebut.
***
Maka dalam buku ini penulis
memotivasi kaum muslimah. Penulis menghadirkan sosok-sosok muslimah inspiratif
dari zaman ke zaman. Seperti Sit Khatun, ibu yang melahirkan sang pembebas tanah
Baitul Maqdis, Salahuddin al ayubbi. Ada kisah dari Tanah Rencong, Aceh yang
menyinggung pejuang muslimah Aceh seperti Cut Nyak Dien dan Laksamana Keumala
Hayati.
Begitu pula kisah
para ibu masa kini yang tinggal di daerah jajahan seperti Palestina dan Suriah.
Penduduk Palestina dan Suriah terbiasa dengan suasana perang. Mereka akrab
dengan kesempitan dan kekurangan hidup. Justru hal itu bukannya melemahkan
mereka melainkan menempa mental pejuang pada diri mereka.
Para ibu yang
beriman dan bertakwa disana mengajarkan keberanian melawan penjajah pada
anak-anak mereka. Sehingga ada anak yang berani berkata bahwa mereka tak sudi
berharap pada bantuan PBB dan Amerika. Membandingkan para ibu di Palestina dan
Suriah dengan para ibu di Nusantara, penulis lebih mengasihani para ibu disini.
Karena kehilangan jati diri sebagai hamba Allah swt jauh lebih menyakitkan
ketimbang tubuh disiksa dan nyawa terhenti.
***
Selain menghadirkan
sosok muslimah pejuang sebagai teladan, penulis juga memandu pembaca, apa saja
yang harus mereka pahami. Dijelaskan tentang peran muslimah secara umum ada
dua. Pertama, peran individual yakni menjadi ibu dan pengurus rumah tangga.
Kedua, peran komunal yakni menjadi pembina generasi di ruang publik sebagai ibu
generasi (ummu ajyal). (hal. 40)
Kedua peran tersebut
dirinci kembali ke dalam beberapa poin penting yang butuh diperjelas. Lalu
penulis juga menjelaskan upaya yang bisa dilakukan untuk membangun lingkungan
politik bagi anak ke dalam tiga poin.
Pertama, orang tua
harus berjalan bersama dalam visi politik pendidikan anak. Kedua, membina anak
dalam kehidupan jamaah yang tsiqah dalam perjuangan kepemimpinan umat Muhammad
saw (partai politik). Ketiga, memilih guru bagi anak-anak, khususnya saat
mereka memasuki fase usia sekolah.
Dilengkapi pula
dengan penjelasan umum mengenai strategi pendidikan yang mematangkan kesadaran
politik anak. Intinya mendidik anak secara islami seperti yang dituturkan oleh
sahabat Ali tentang tiga pola pendidikan: “Tujuh tahun pertama (0-7) perlakukan
mereka seperti raja, tujuh tahun kedua (7-14) perlakukan mereka sebagai tawanan
perang, dan tujuh tahun ketiga (di atas 14 tahun) perlakukan mereka seperti
sahabat.”
***
Dengan jumlah
halaman dua ratusan, tentu saja buku ini tidak bisa menjadi satu-satunya
referensi bagi muslimah untuk memahami perannya. Namun sebagai buku motivasi,
inspirasi dan gambaran umum bagi muslimah tentang perannya, buku ini sangat
saya rekomendasikan.
Desain kertasnya
yang cantik dengan banyak warna dan gambar membuat kita yang membaca merasa
rileks, meski bahasannya cukup berat. So, kesimpulan saya buku ini menarik,
segera dibaca ya.
0 Comments
Post a Comment