https://feminisminindia.com |
Membentuk cita – cita pada kisah pilot Indian Air Force/ Angkatan Udara India (IAF) di film berjudul Gunjan Saxena: The Kargil Girl, tampak begitu sederhana. Dikisahkan, Gunjan kecil senang sekali setiap mendengar dan melihat pesawat mengudara di atas rumahnya. Dia mengejar langkah pesawat hingga pandangannya tak lagi menjangkau mesin terbang itu. Dia pun gemar melihat gambar pesawat dan membaca info yang berkaitan dengan pesawat di majalah orangtua-nya.
Gunjan gadis yang cerdas. Dia lulus SMA dengan nilai memuaskan. Nilainya unggul di bidang eksakta. Ibu dan abangnya berharap ia lanjut kuliah dengan jurusan sesuai nilai tertingginya. Setelah lulus kuliah lalu menikah. Namun Gunjan ngotot ingin masuk sekolah penerbangan. Peluang justru terbuka di Angkatan Udara India. Saat itu dibuka penerimaan pilot perempuan untuk IAF. Dengan kecerdasannya ia pun lulus.
Hal tersulit
baginya adalah membangun mental yang kuat, di tengah – tengah kaum lelaki yang
meremehkan kemampuannya sebagai pilot perang. Di akhir cerita ia mampu
membuktikan kalau perempuan juga bisa eksis di bidang yang banyak digeluti
lelaki. Pembuktian diri itu diperolehnya dengan pengorbanan. Proses panjang
karirnya membuat ia enggan menikah meski usia sudah layak.
Pembuktian peran perempuan di publik juga
terdapat dalam film Miss India. Sama dengan kisah Gunjan, awalnya cita – cita Samyuktha
juga muncul dengan sederhana. Saat berdialog dengan kakeknya di masa kecil, ia
mendapat ide untuk menjadi pebisnis di masa depan. Ia ingin memperkenalkan teh
khas india buatan kakeknya yang sangat enak ke seluruh dunia. Kecerdasan Gunjan
juga dimiliki Samyukhtha. Peremehan oleh sekitar pun dirasakan Samyuktha
sebagaimana Gunjan. Di akhir film, kesuksesan pun digapai, melampaui kesuksesan
pebisnis lelaki saingan Samyuktha.
Ya, Gunjan dan Samyukhta dalam film
tersebut memiliki kesamaan. Cerdas dan ambisius. Dua modal yang sangat penting
untuk memenangkan persaingan di zaman ini. Para perempuan di dunia nyata hari
ini yang akhirnya sukses dalam karirnya pun disebabkan dua hal itu. Tapi
sebenarnya tidak cuma di zaman ini dua kekuatan itu diperlukan untuk sukses.
Zaman dahulu juga begitu. Termasuk di masa peradaban Islam dulunya.
Para muslimah cerdas dan ambisius itu ada
yang menjadi ilmuwan seperti Mariam, penemu astrolabe di Aleppo. Kontributor
pendidikan seperti Fatimah al-Fehri, pendiri Universitas Qarawiyin di Maroko.
Jauh lebih banyak lagi dari para muslimah cerdas dan ambisius itu yang menjadi
inspirator kesuksesan para lelaki. Dibalik tersohornya nama ulama Imam Syafi’i,
ada perjuangan ibunya Fatimah binti Ubeidillah. Terkenalnya sosok Shalahuddin
al Ayyubi juga berkat peran penting ibu di masa pertumbuhan sang anak.
Dari persamaan yang ada yakni dua
kekuatan itu, saya juga melihat perbedaan diantara para perempuan didikan
sistem kapitalis sekuler hari ini dengan para perempuan didikan peradaban
Islam. Mereka berbeda juga dari dua hal, yakni dari segi alasan dan tujuan.
Para perempuan seperti Gunjan dan Samyukhta memiliki alasan menggapai cita
karena bentukan alami sewaktu kecil. Apa yang kebetulan memberi kesan padanya
dimasa pertumbuhannya, itulah yang menginspirasi cita – citanya. Dia anggap
itulah sumber kebahagiaannya kelak.
Seiring berjalannya waktu cita – cita itu
diragukan oleh sekitar, terutama kaum lelaki. Budaya mereka membentuk pemahaman
bahwa perempuan lebih lemah dibanding lelaki. Perempuan pantasnya hanya
berperan di ranah domestik. Perundungan yang terus menerus diterima para
perempuan ambisius dan cerdas itu membentuk sebuah tujuan, yakni pembuktian. Tujuan
itu membentuk energi yang lebih besar untuk menggapai cita. Hingga akhirnya
sebagian besar mereka berhasil membuktikan diri, sukses berkarir dan mendulang
harta.
Sayangnya meski banyak hari ini perempuan
yang sukses dengan karirnya, namun penghargaan dan penghormatan terhadap
perempuan belumlah merata. Kaum perempuan belum sepenuhnya terbebas dari mata –
mata yang meremehkan. Tak sebatas meremehkan, bahkan pelecehan seksual dan
kekerasan masih sering dialami oleh perempuan.
Sedangkan para muslimah didikan peradaban
Islam, sejak awal memiliki alasan bercita – cita yakni kecintaan pada Allah swt
dan Rasulullah saw. Tujuannya untuk meneguhkan Islam di muka bumi. Sebab misi
diutusnya Rasulullah saw dengan Islam, memang ingin membawa rahmat bagi seluruh
alam.
Dalam proses pendidikannya para muslimah
diajarkan mengenal hakikat kehidupan, bahwa manusia adalah makhluk ciptaan
Allah swt (QS. al ‘Alaq: 02). Manusia diciptakan semata untuk mengabdi pada
Allah swt (QS. Adz dzariyat: 56). Pembeda antara lelaki dan perempuan adalah
takwanya (QS. al Hujurat: 13). Kebaikan masing – masing lelaki dan perempuan
akan sama – sama mendapat balasan Allah swt (QS. An Nahl: 97). Lelaki dan
perempuan pun saling berlomba untuk menjadi yang terbaik dihadapan Allah swt (QS.
Al Baqarah: 148).
Dengan ini perempuan di masa peradaban Islam dulunya terbebas dari perundungan para lelaki. Tak ada yang meremehkan cita – cita mereka. Para perempuan bebas bercita – cita apa saja. Para muslimah itu lalu membangun cita – cita diatas kecintaannya pada Allah swt dan Rasulullah saw. Mereka berambisi menjadi ilmuwan demi memudahkan ibadah dan dakwah.
Mereka pun berambisi menjalankan peran utamanya sebagai ibu dan
pengatur rumah tangga sebaik – baiknya untuk mencetak generasi penakluk. Ibunya
Shalahuddin al Ayyubi misalnya, sejak awal menikah ingin memiliki anak yang
bisa membebaskan Palestina dari penjajahan. Makanya ia memilih pasangan dengan
visi dan misi yang sama.
Sebagai bagian dari makhluk ciptakan Allah swt, fitrah para perempuan di setiap zaman pasti sama. Ingin eksistensi, dimengerti, dihargai dan dihormati. Maka peradaban Islamlah yang bisa memberi hal itu sepenuhnya pada semua perempuan. Tentunya dalam ruang lingkup ketaatan pada Allah swt. Agar hidup tak hanya sebatas sukses di dunia, tapi juga bahagia hingga ke surga.
0 Comments
Post a Comment