foto suami waktu menemani saya belanja |
Produktif, kata yang digunakan untuk
menyebut seseorang yang mampu menghasilkan sesuatu. Dalam pandangan ekonomi,
produktif berarti mampu menghasilkan karya-karya yang berdampak pada keuntungan
materi.
Di kalangan kaum terpelajar, produktif
berarti mampu menghasilkan berbagai karya berupa ide-ide ataupun pandangan yang
berguna bagi pemecah persoalan masyarakat. Untuk mencapai gelar professor,
sebagai gelar akademik tertinggi saat ini, seorang calon guru besar/ profesor
harus produktif, yaitu menghasilkan karya berupa penelitian dan karya lainnya.
Dalam sudut pandang Islam, produktif
berarti mampu berkarya untuk Allah swt. Dalam bentuk apa? Tentunya, karya apa
saja yang bernilai dihadapan Allah swt. Karya yang berguna bagi kemajuan Islam
dan umatnya. Karya yang mampu membawa seorang muslim ke surga. Karya yang
membuat seorang muslim mulia di dunia dan akhirat.
Produktivitas pada umumnya lahir dari
keinginan kuat untuk mencapai satu titik tertentu dalam hidup. Keinginan kuat
tersebut lahir dari satu pandangan bahwa pencapaian tersebut menghasilkan suatu
kebahagiaan.
Bukankah kebahagiaan merupakan tujuan
yang paling dicari semua orang? Bagi seorang muslim, produktivitas lahir dari
hasrat mengejar predikat takwa. “Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu”(QS.
Al Hujurat: 13).
Sebab, predikat takwa adalah predikat
tertinggi yang bisa dicapai oleh kaum muslim. Alasannya, kedudukan tersebut
menghasilkan satu kebahagiaan khas Islam, yaitu ridha Allah swt. “Sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.
Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga ‘adn yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap
mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi
orang yang takut kepada Rabbnya.”(QS. Al Bayyinah: 6-8).
Maka, semua bermula dari iman yang
mantap. Iman yang berarti pembenaran secara pasti akan keberadaan Allah swt
sebagai Sang Pencipta, keberadaan malaikat sebagai makhluk Allah swt,
keberadaan rasul-rasulNya, kitab-kitabNya, adanya hari berbangkit dan qadha
qadar. Iman yang sempurna inilah kemudian menjadikan seorang muslim menjadi
produktif.
Produktivitas Muslim Zaman Dahulu
Muslim produktif ditandai dengan
keberanian. Ketika berita diutusnya Nabi telah sampai kepada Abu Dzar al
Ghifari, maka ia mencari Nabi Saw, hingga bertemu dengan beliau. Ia mendengar
dari perkataan Nabi saw. dan masuk Islam di tempat itu. Lalu Rasulullah saw.
bekata kepadanya, “Wahai Abu Dzar, kembalilah kepada kaummu, kabarkanlah kepada
mereka (tentangku) hingga datang perintahku kepadamu”.
Abu Dza berkata, “Demi Allah yang
menggenggam jiwaku, aku akan meneriakkan syahadatain di tengah-tengah
mereka.” Maka keluarlah Abu Dzar hingga datang ke masjid dan berteriak dengan
suaranya yang paling keras, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Kemudian orang-orang berdiri dan
memukulinya, hingga membuatnya tergeletak. Walau ia mendapatkan respon berupa
tindakan kekerasan, namun ia tak gentar. Karena di hari berikutnya ia kembali
mengulang aksi tersebut.
Keberanian serupa ditunjukkan pula oleh
sahabat Abdullah bin Mas’ud. Hadist riwayat Ahmad bin Hambal dalam Fadhail
Sahabat dari Urwah, ia berkata, “Orang yang pertama kali membacakan al Qur’an d
Mekkah setelah Rasulullah saw. Adalah Abdullah bin Mas’ud”. Padahal saat itu
Abdullah bin Mas’ud tergolong orang lemah.
Para sahabat yang lain melarangnya
berbuat demikian karena ia tak memiliki kerabat berpengaruh yang akan
melindunginya. Mereka khawatir orang-orang Quraisy akan menyakiti Abdullah
bin Mas’ud. Tapi dengan lantang ia berkata, “Biarkanlah aku. Sesungguhnya Allah
swt pasti akan melindungiku.”
Benar saja ketika waktu dhuha Abdullah
bin Mas’ud berdiri di dekat Maqam Ibrahim dan membacakan firman Allah
swt dalam surat ar Rahman ayat 1 dan 2 dengan suara keras, tak lama kaum Quraisy
yang mendengar suara tersebut memukuli wajahnya hingga babak belur.
Kepada
para sahabat yang menyalahkan perbuatannya ia berkata, “Demi Allah, tidak ada
musuh Allah yang lebih ringan bagiku daripada mereka saat ini. Jika kalian
menghendaki, besok aku akan berangkat lagi pagi-pagi sekali menuju mereka. Aku
akan melakukan seperti yang telah kulakukan barusan.”
Kisah lainnya datang dari sahabat Mush’ab
bin Umair. Pernah, tanpa ragu ia menerima tantangan yang diberikan Rasulullah
saw untuk menyebarkan dakwah di Madinah seorang diri. Hanya ada dua belas orang
Madinah saat itu yang sudah muslim. Berbagai tantangan dakwah ia hadapi di
sana.
Dengan keberaniannya, hanya dalam waktu
satu tahun Madinah rata dengan Islam. Mayoritas pendudukan Madinah memeluk
Islam dan opini Islam menyebar luar hingga ke tiap sudut rumah penduduk
Madinah. Itulah karya mereka.
Keimanan sempurna dalam diri mereka menggerakkan
hingga berani mendakwahkan Islam ke tengah-tengah kaum kafir. Dan keberanian untuk
berjuang di jalan Islam pada dasarnya memang karakter yang dimiliki oleh
rata-rata muslim di masa kejayaan Islam dulunya.
Muslim produktif juga memiliki sifat
dermawan. Sejarah mengenal nama-nama sahabat besar seperti Utsman bin Affan,
Abdurahman bin Auf, Abu Bakar dan nama-nama lainnya sebagai konglomerat yang
berlomba-lomba menginfakkan hartanya di jalan Allah swt.
Mereka sadar bahwa Allah swt telah
membeli dari kaum muslim harta dan jiwa mereka dan dibayar dengan surga.
Sehingga kekayaan yang sejatinya titipan dari Allah swt itu tidak membutakan
mata namun jusru semakin mendekatkan mereka kepada Allah swt.
Utsman bin Affan pernah menginfakkan
barang dagangannya berupa seratus ekor unta yang penuh dengan
muatan anggur, minyak dan lainnya kepada para fakir miskin Madinah saat terjadi
musim paceklik yang berkepanjangan di sana.
Sahabat Abdurahman bin Auf yang dikenal paling kaya sering
mengeluarkan hartanya untuk jihad di jalan Allah. Saat perang tabuk ia
menyerahkan dua ratus uqiyah emas setara 5950 gram emas sebagai infaknya. Kisah serupa niscaya kita temukan
bertaburan dalam banyak referensi sejarah Islam dulunya.
Muslim produktif itu cinta ilmu. Dunia
mengenal nama-nama besar seperti Imam Syafi’i, al Khawarizmi, al Farabi, Jabir
Ibnu Hayyan dan sederet nama lainnya sebagai para pecinta ilmu dan para ahli
dibidangnya, baik mengenai ilmu-ilmu keislaman maupun sains dan teknologi.
Karya-karya
mereka amat bermanfaat bagi umat Islam. Fikih Imam Syafi’I dipraktekkan oleh
kebanyakan muslim di Indonesia. Sementara karya ilmuan seperti al Khawarizmi
dan ilmuan lainnya menjadi pelopor pengembangan sains dan teknologi di barat.
Produktivitas Muslim Masa Kini
Di era kapitalistik hari ini,
produktivitas banyak orang cenderung kepada materi. Tak terkecuali bagi muslim,
sering kebangkitan kaum muslim dimaknai sebagai mengungguli produktivitas kaum
lainnya dalam hal ekonomi. Sehingga dikatakan kalau muslim mau bangkit, maka
harus kaya.
Kita akui menjadi kaya tentu posisi
terhormat yang meninggikan derajat muslim dibanding kaum lainnya. Namun yang
paling utama harus menjadi perhatian adalah bagaimana merealisasikan tujuan
hidup kita sebagai hamba Allah swt dengan tepat yaitu terlaksananya semua
aturan Allah swt yang termaktub dalam al Qur’an dan as Sunnah.
Artinya, kaum muslim harus mengerahkan
produktivitas mereka untuk membebaskan diri dari neoimperialisme dan
neoliberalisme yang menjauhkan umat Islam pada penerapan syariah Islam secara
utuh.
Praktek seperti pengelolaan sumber daya alam oleh swasta, penerapan hukum
warisan Belanda, meluasnya gaya hidup barat di masyarakat adalah contoh-contoh
yang hakikatnya merupakan bentuk pelanggaran hukum-hukum Allah swt.
Maka sudah sepantasnya kaum muslim kini
melengkapi diri dengan karakteristik muslim sejati yaitu belajar Islam dengan
sungguh-sungguh dan mempersembahkan harta terbaiknya juga jwa dan raganya
sebagaimana kaum muslim dulunya untuk mengembalikan kejayaan Islam. Allahu
akbar. Wallahu a’lam bishawab.
Tulisan inspiratif neh. Jadi banyak belajar neh. Terima kasih sharingnya mba.
ReplyDeletesama sama mbak
DeleteProduktifnya orang Islam tetap harus sesuai dengan hukum Islam, ya Mbak
ReplyDeleteiya mbak setuju yang demikian :)
Delete