![]() |
mamak dan nenek |
Bulan april mengingatkan kita kembali
pada sosok Raden Ajeng Kartini. Beliau dikenal sebagai pejuang pendidikan bagi
kaum perempuan. Dulunya, beliau menentang adat jawa yang meminggirkan perempuan
dalam memperoleh pendidikan. Spirit perjuangan ibu Kartini terus
didengung-dengungkan hingga hari ini dengan berbagai tafsiran.
Yang paling
santer adalah memahami sosok ibu Kartini sebagai pejuang emansipasi wanita agar
setara kedudukannya dengan kaum pria dalam hal berkarir. Ketika sejarah sempat
menceritakan upaya ibu Kartini untuk mempelajari ajaran Islam, tentu saya tak
setuju. Karena peran lelaki dan perempuan dalam Islam sudah jelas, punya fungsi
berbeda yang saling melengkapi.
Pendidikan bagi perempuan yang
diperjuangkan ibu Kartini bukanlah agar mereka bisa bekerja keluar rumah
sebagaimana pria. Melainkan agar perempuan memperoleh haknya mendapat ilmu.
Dengan kata lain, agar perempuan bisa menjalani kewajiban dari Allah swt dalam
menuntut ilmu. Hingga dengan ilmu, perempuan bisa mengerti fungsi penciptaannya
oleh Allah swt dan dapat menjalani perannya dengan benar sesuai Islam.
Pejuang
pendidikan, siapa ‘sosok Kartini’ dalam hidup kamu? Sosok paling berharga itu
tentu ibu kita sendiri. Mamak saya sama dengan para ibu normal lainnya, ingin
anaknya tumbuh lebih baik dibanding dirinya. Menyandang gelar sebagai single
parent, memaksa mamak mencari nafkah. Peras keringat banting tulang, mengais
rezeki halal agar saya bisa tetap bertahan hidup dan sekolah.
Meski capek
pulang kerja, tapi di malam hari mamak masih sempat mendampingi saya belajar. Saya
ingat saat duduk di bangku SD, mamak mengajarkan pada saya cara berhitung ke
bawah. Mendampingi pula saat mengerjakan PR. Mamak menghantarkan saya hingga
kini menjadi sarjana. Terima kasih mak.
Nenek
saya juga berperan mendidik saya. Sejak kecil saya suka didongengi sama nenek.
Tentang sangkuriang, malin kundang, sampuraga dan lain sebagainya. Rata-rata
tentang anak durhaka. Senang juga mendengarkan sandiwara radio bersama.
Sehingga, meski kurang membaca, tapi dari kecil lumayan cukup mendapat berbagai
informasi dari nenek. Makasih nek.
Sosok
Kartini lainnya, hadir dalam hidup saya di masa kuliah. Mereka mendidik saya
tentang Islam. Mereka mengeluarkan saya dari kegelapan menuju cahaya Islam.
Dari mereka saya paham tujuan hidup yang hakiki. Dari mereka saya tahu
kesempurnaan Islam. Dari mereka saya mengerti makna kebahagiaan sejati. Dari
mereka saya memiliki standar berbuat yang jelas, yaitu baik buruk yang dinilai
dari kacamata Islam.
Sejauh
ingatan saya, ada beberapa kalimat yang cukup berkesan dari mereka. Kakak
pertama yang memberi kajian pada saya memahamkan saya bagaimana menempatkan
rasa malu dengan benar. Saat saya ragu menutup aurat secara benar, beliau
sampaikan, “Malu? Malu sama siapa? Sama manusia atau Allah?”
Kakak
pembimbing lainnya membuka wawasan saya, bahwa seorang muslim tak seharusnya
enggan berdakwah hanya karena takut menegur orang. Beliau bilang, “Nggak ada
dalam kamus seorang pengemban dakwah itu segan negur orang. Yang benar, dia itu
lama-lama jadi SKSD (Sok Kenal Sok Dekat).”
Benar
yang beliau sampaikan. Saat kita paham kewajiban berdakwah dan bahwa
persaudaraan yang tinggi dihadapan Allah swt adalah atas dasar akidah, kita
bakal jadi orang yang supel, ramah, banyak teman. Ya itu tadi, mudah berkenalan
dengan orang baru. Sok kenal sok dekat. Cukup tatap matanya, senyum dan sapa.
Lalu dakwah bisa lancar berjalan.
Kakak yang lainnya dengan lantang berkata
pada saya, “Islam itu untuk dipelajari, diamalkan lalu disampaikan. Rumusnya PAS,
Pelajari Amalkan Sampaikan.”
Ada lagi seorang kakak pembimbing yang
mengajarkan saya ketegasan dan cara memberi penjelasan yang tepat kepada adik
binaan. Beliau mengajarkan saya cara membaca yang benar, mengambil poin penting
pada satu paragraf bacaan dengan benar. Mengenai ini, di sekolah memang sudah
dipelajari. Tapi entah kenapa, pelajaran bahasa Indonesia di sekolah tak
benar-benar bisa saya pahami.
Saya juga tak bisa melupakan begitu saja
sosok buk Aisyah, guru di kelas 1 SD. Beliau penuh kesabaran menghadapi kenakalan
saya. Tetap tersenyum, mengajar dengan ramah hingga saya merasa nyaman. Guru
SMK saya, almarhumah buk Sulastri yang tegas dan tak pilih kasih, yang setiap
penjelasannya mudah dimengerti. Beliau juga salah satu guru favorit di sekolah
itu. Semoga Allah swt menerima amal kebaikan beliau, amin.
Kartini dalam hidupku, terima kasih atas
bimbingan kalian. Semoga balasan terbaik diberikan Allah swt untuk kalian.
0 Comments
Post a Comment