Sintia tak bisa hindari perasaan
rindu, menyatu dengan belahan hati.
Bukan tak sabar. Bukan tak yakini janji Allah. Bukan sebatas desakan keluarga.
Bukan hanya karena dorongan usia. Tapi dia
mendamba segera bertemu pemimpin yang mengimami
sholatnya. Mengharap teman sejati yang
hadir, saat dia sedang
kepayahaan memahami ilmu Islam, lalu dengan lembut menjelaskan.
Kapan dia merasakan diri menjadi perempuan utuh,
melahirkan para Qurrata A’yun, yang melalui doa-doa mereka dia bisa
menginjak syurga.
“Siapa gerangan jodoh yang
disediakan Allah swt untukku? Dimana dia? Kapan bisa
bersama.”
Di usianya yang ke tigapuluh
tiga, Sintia dikelilingi para sahabat bersama
suami dan anak-anak mereka. Pemandangan yang mengesankan, membuat Sintia mengiba pada Allah swt Sang
pemilik ketetapan. Kiranya Dia berkenan bersegera
mempertemukan Sintia dengan pasangan hidupnya.
Apalah daya, Allah swt masih beri
ujian pada hati Sintia. Mengajarkan untuk lebih bersabar. Menahan rasa, karena
Dia lebih tahu yang terbaik bagi hambaNya.
Namun kali ini, kegundahan
hati Sintia menanti penyempurna separuh agamanya dikalahkan
dengan kesedihan kehilangan salah satu
sahabat tercinta. Ibu kepala sekolah tahfizh qur’an
tempatnya mengajar berpulang.
Sengatan listrik tegangan tinggi telah merenggut
nyawanya. Kesedihan teramat sangat di
hati Sintia, mengingat jasa-jasa beliau kepadanya.
Sintia terkenang, saat dulu dia kebingungan mencari pekerjaan, Ustadzah Neneng memberi penawar rasa
bingungnya. Dia diterima sebagai
guru di Sekolah Tahfizh al Qur’an Ihsanul
Insan milik perempuan berusia tiga
puluh lima tahun itu.
Betapa
senangnya hati Sintia. Meski honor mengajar terbilang kurang memuaskan.
Pekerjaan itu memberi harapan kebaikan. Kalimat-kalimat Ustadzah Neneng saat
pertama kali Sintia mengajar masih terngiang di telinganya.
“Dek, jadi guru tahfizh di sekolah saya gajinya nggak banyak. Sebab sekolah itu cuma sekolah kecil. Tapi insya
allah berkah. Karena Sintia bersama guru lainnya sedang menanam benih kebaikan
dalam diri murid murid kalian. Saat mereka kelak jadi penghafal al qur’an yang salih dan saliha,
doa mereka bukan cuma buat
orangtua mereka. Tetapi juga untuk guru-gurunya. Semoga gaji dari Allah karena
menghantarkan anak-anak itu menjadi para penghafal al Qur’an jauh lebih besar. Semoga kalian mendapat syurga.”
Tak cuma janji syurga. Sintia benar-benar merasakan
berkahnya. Pada dasarnya Sintia bukan penghafal al Qur’an.
Berkat mendidik murid-muridnya, Sintia pun memiliki hafalan sebanyak yang
diperoleh murid-muridnya. Bahkan
lebih. Sebab tak hanya pembinaan dalam jamaah saja, tetapi suasana Qur’ani di
sekolah, menambah cintanya pada Islam.
Ditambah, sebulan sekali
semua guru di sekolah itu mendapatkan training pendidikan. Ilmu pendidikan Sintia terus
bertambah. Mengajar sembari menabung bekal sebagai pendidik anak-anaknya kelak.
“Aku cuma tamat SMA. Tapi ku pikir, aku nggak kalah
dari para sarjana pendidikan hari ini. Karena ilmu pendidikan yang kudapati itu
pendidikan Islami, gratis dan langsung ku praktekkan setiap harinya.
Alhamdulillah” Begitu dia sering berkata.
Hebatnya lagi, selalu ada
saja rezeki dari arah yang tidak disangka sangka. Wa yar zuqhu min haitsu laa
yahtasib. Dengan gaji empat ratus ribu rupiah, Sintia sanggup berinfak limapuluh
ribu rupiah setiap bulannya.
Yang tak kalah
menyenangkan, rasa keibuannya dapat tersalurkan. Allah swt memang belum
berkenan rahim Sintia disemai benih-benih makhluk, tapi dia sepuas diri bisa
menyayangi anak-anak dan mendidik mereka.
Wajar kalau murid-murid Sekolah
Tahfizh Ihsanul Insan begitu dekat dengannya. Anak-anak itu memeluknya setiap
kali berjumpa di luar sekolah. “Cintamu ya Allah, tiada
terkira. Sungguh, bersyukur menambah berkah hidupku”. Bisik Sintia dalam
hatinya.
***
Sudah seminggu Ustazdah
Neneng tiada. Kesedihan dua orang putri cantiknya masih terasa. Anak-anak
berusia lima dan enam tahun itu terkadang terlihat menangis di sekolah.
Teringat bunda tercinta, yang tak pernah marah, selalu senyum, yang sering
menceritakan kisah-kisah teladan pada mereka.
Untung para guru peka. Alya dan
Maira tak perah dibiarkan berlama-lama dalam kesedihan. Diajak kumpul dengan
teman-teman lagi. Bermain lagi. Mengulang-ulang hafalan lagi. Bernyanyi.
Bergembira.
“Ayo-ayo bidadari
syurgaaaa, masuk kelas. Sudah waktunya belajar. Ayooo.” Sintia memanggil
murid-muridnya dengan panggilan sayang khas dirinya.
“Ayo kita baca
sama-sama doa belajanya. Radhitu billahi rabba. Wabil islaamadina. Wabi
Muhammadinnabiyya warasula. Rabbi jiddi ‘ilman. Warzuqna fahman. Wa ‘amalan
shalihan. Amin”
“Kak Hana, silahkan
diulangi hafalannya nak. Surat apa kemaren?”
“al Muthaffifin”
***
“Bagaimana bu dengan persembahan anak-anak di Majelis
Ta’lim nanti. Jadi kita latih buat nyanyi Kaulah Ibuku?”
“Ibu
tau sendiri kan gimana Alya dan Maira, mereka masih bersedih. Saya pikir
menyanyikan lagu itu bisa membuat mereka menangis merindukan ibunya. Kasihan
bu.”
“Tapi
kita sudah merencanakannya. Kira-kira kita ganti lagu apa ya? Anak-anak juga
sudah sempat latihan satu kali sepuluh hari yang lalu kan bu?”
“Coba
nanti kita bicarakan lagi sama ibu-ibu yang lain. Saya pikir lagu tentang
Rasulullah juga bagus bu.”
Sekolah
Tahfizh al Qur’an Ihsanul Insan memang mengajarkan murid-murid untuk
berinteraksi dengan para tetangga sekitar. Sehingga mereka dilibatkan dalam
majelis ta’lim yang diadakan disana.
Rencana bulan ini terpaksa sedikit berubah
sesuai pembicaraan yang dilakukan Sintia dan Desti serta guru-guru lainnya.
***
Sintia terbangun tepat saat alarm ponselnya berbunyi. Tangan
kanannya meraih benda mungil itu. Menatap lalu mematikannya.
Tepat pukul 03.00
pagi. Sintia bangkit, lalu berjalan ke kamar mandi untuk berwudhu. Dalam salatnya,
Sintia berusaha khusuk semampu yang dia bisa.
Usai menunaikan salat malam, dia
menadahkan tangannya. Menagih janji Rabb yang Kuasa, bahwa doa-doa penuh harap
dari seorang hamba yang berserah, akan dikabulkanNya.
“Ya
Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Hilangkanlah kesedihan di hati Alya
dan Maira. Sudah sebulan ibu mereka pergi, tapi mereka masih sering teringat
ibunya. Ya Allah yang Maha membolak balik hati. Engkau menguasai hati-hati
kami. Sembuhkanlah luka di hati mereka. Kabulkanlah Ya Allah.”
***
Lima bulan kemudian….
“Umi Mia, Umi Sintia kok nggak nampak. Nggak datang ya?”
“Iya Maira. Umi Sintia lagi sakit.”
“Kalau gitu Maira mau jenguk Umi Sintia.”
“Iyaaa. Nanti ya sepulang sekolah jenguknya.”
***
“Assalamu’alaikum.”
“Mau lihat Umi Sintia”
“Oh iya silahkan masuk. Mari-mari. Mari pak silahkan masuk”
Ibu Ria, ibunya Sintia mempersilahkan Maira, Alya dan
ayahnya masuk.
“Umi Sintia sakit kepala naaak. Giginya juga sakit. Jadi
pusing nggak bisa ngajar. Kecarian Umi Sintia ya.” Ibu Ria menggoda kedua gadis
kecil itu sembari tersenyum.
“Ayo Maira dan Alya ikut nenek ke kamar Umi Sintia. Ayoo”
Wanita setengah baya itu meninggalkan Alya dan Maira di
kamar Sintia. Membiarkan mereka melepas rindu karena tidak belajar bersama hari
ini. Sejenak Ibu Ria ke dapur mengambil minuman lalu kembali ke ruang tamu.
“Bu, boleh saya bicara dengan ibu dan bapak?”
“Ada apa ya nak. Ada yang penting?”
“Saya akan sampaikan sama bapak dan ibu”
Ibu Ria keluar rumah, mendatangi lelaki yang sedang
mengotak atik sebuah sepeda motor di bengkel berjarak duapuluh lima meter dari
rumah itu, menunggunya sejenak lalu mengajaknya masuk ke dalam rumah.
“Begini bu, pak. Lima bulan saya merasakan kehilangan sosok
istri dan ibu bagi anak-anak saya. Anak-anak butuh kasih sayang seorang ibu.
Mereka masih sering sedih teringat ibunya. Saya perhatikan mereka dekat dengan
ibu Sintia.” Rafi diam sejenak.
Ibu dan bapak Sintia berpandang-pandangan.
“Bolehkah saya meminta Sintia mengisi kekosongan hati
anak-anak saya. Bolehkah saya melamar ibu Sintia menjadi istri saya pak, buk?”
Suasana hening. Ibu Ria meneteskan air mata. Selama ini
belum ada lelaki yang datang menyatakan diri seserius ini. Momen ini yang
ditunggu-tunggu. Ibu Ria tak berani menjawab. Dia menanti suara suaminya.
“Kalau saya terserah Sintia saja. Kalau dia bersedia, saya
merestui”.
(Latihan Nulis Cerpen, kalau teman-teman sudi kasih masukan, terimakasih banyak..)
Ceritanya bagus. Saya suka. Walau udah ketebak endingnya kemana tp sy tetap suka. Udah lama bgtvga nulis cerpen. Kpn2 pgn nulis jg aah
ReplyDeletemakasih mbak..
Delete