“Saat ini,
semboyan tambah anak tambah rezeki bukan zamannya lagi. Karena situasi ekonomi
sudah berbeda” (http://harian.analisadaily.com/kota/news/ Jumat, 29 April 2016)
Aduh,
gimana ya, saya kok nyesek membaca potongan kalimat itu. Kok masih ada yang
berprasangka kayak gini dan menyebarluaskan prasangkanya pada orang lain.
Bahwa
setiap manusia ada rizkinya masing-masing, itu Allah Swt yang menyampaikan. “Dan tidak ada suatu binatang melata
pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya. Dan Dia meengetahui
tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”
(QS. Hud: 6). Subhanallah,
binatang melata saja dijamin rezekinya oleh Allah Swt, apalagi manusia yang
diserahi akal oleh Allah untuk berfikir dan berusaha menjemput rezeki dari Allah
Swt.
So, kalau tiap manusia
sudah ditetapkan oleh Allah Swt rezekinya, otomatis nambah anak nambah rezeki
dong. Artinya slogan itu nggak salah dan nggak akan pernah salah. Sebab hukum
Allah Swt berlaku hingga kiamat.
Bagai kehilangan akal,
para penyeru yang mengatakan bahwa “semboyan
tambah anak tambah rezeki bukan zamannya lagi”, termasuk
di dalamnya pihak pemerintah telah membahayakan akidah umat Islam. Nggak boleh
kan ya mengingkari satupun ayat-ayat Allah Swt. Nah kalau kita disuruh membuang
semboyan tersebut, apa namanya? Jadi sepakat ya wahai orang-orang beriman,
jangan ingkari ayat Allah Swt termasuk soal rezeki.
Kalau mau
menjarangkan kelahiran anak atau terkena penyakit berbahaya semisal kanker yang
mengharuskan untuk menghentikan potensi kehamilan pada diri kita ya boleh saja.
Tapi kalau hendak membatasi kelahiran dengan keyakinan bahwa ayat Allah nggak
cocok lagi untuk dijalankan zaman sekarang, waduh hati-hati deh sama akidahnya.
Ya Allah jauhkanlah kami dari prasangka buruk terhadapMu. Engkaulah yang Maha
Kuasa, Maha Tahu segalanya.
Lalu muncul
pertanyaan, kenyataannya ekonomi memang susah, untuk mencukupi kebutuhan
pribadi saja masih banyak yang kesulitan, apalagi punya anak dan banyak. Apa-apa
serba mahal, trus darimana biaya sekolahnya? Nah biasanya itu yang dipikirin
orangtua. Ingat ya, harga-harga kebutuhan pokok melangit dan biaya pendidikan
mahal, belum lagi biaya kesehatan yang tak terjangkau kalau mau dapat pelayanan
yang bagus.
Hemm,
kalau solusi pribadi, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, sedari
awal kita harus bisa membedakan mana kebutuhan mana keinginan.
Kebutuhan adalah
sesuatu yang harus dipenuhi oleh manusia, jika tidak dipenuhi maka akan
mengakibatkan kematian. Kebutuhan utama pribadi kita adalah sandang, pangan,
papan sebatas mampu membuat kita bertahan hidup. Sedangkan keinginan adalah
segala yang dimau hasrat/perasaan/nafsu kita.
Punya baju
yang bersih, rapi dan syar’i yang cukup dipakai berganti-ganti saat baju yang
lain sedang di cuci, sudah oke. Nggak perlu kayak artis yang pakaiannya satu,
dua atau tiga kali pakai trus nggak dipakai lagi, hingga harus punya banyak
sekali pakaian. Intinya, jauhi gaya hidup mewah. Memenuhi kebutuhan hidup tu secukupnya,
nggak berlebihan, nggak mubazir. Ini yang harus diperhatikan oleh para
orangtua.
Kalau
masalah pendidikan dan kesehatan, ini juga kebutuhan masyarakat pada umumnya.
Nah, ketika sebagai pencari nafkah, ayah bekerja maksimal dengan halal disertai
doa dan ketaatan pada Sang Pemberi rezeki, yakinlah bahwa Allah Swt akan
memberi rezekinya dari arah yang tiada disangka-sangka. Itu juga janji Allah
Swt dalam al Qur’an loh.
Para
lelaki utamanya saat ini, memang tetap harus berusaha bertahan hidup, memenuhi
kebutuhan hidup dan menjemput rezeki Allah semaksimal mungkin, tapi tak boleh lupa
dengan tata kelola negara kita yang menyalahi syariat Allah Swt.
Hal-hal
yang perlu kita sadari. Tiga hal yang saya sebutkan diatas, “harga-harga
kebutuhan pokok melangit dan biaya pendidikan mahal, belum lagi biaya kesehatan
yang tak terjangkau kalau mau dapat pelayanan yang bagus”
Ini bukan
kondisi ideal yang dikehendaki Allah Swt. Rasullah Saw bersabda, “Pemimpin
adalah pengurus, ia bertanggungjawab atas rakyat yang diurusnya” (HR. Ahmad).
Allah Swt
mewajibkan pemimpin untuk bertanggungjawab penuh mengurus rakyatnya. Artinya
pemimpin harus menjamin bahwa harga-harga kebutuhan pokok terjangkau. Pemimpin
harus pula menjamin bahwa setiap individu rakyatnya mengenyam pendidikan dan
kesehatan yang layak. Rasulullah Saw pernah mencontohkan sikap pemimpin yang
baik, ketika meminta dokter yang dihadiahkan pembesar sebuah negara pada beliau
untuk mengobati orang-orang yang sakit dari rakyatnya. Rasul juga menjadikan
tebusan bagi tawanan perang yaitu satu orang tawanan perang mengajari baca
tulis pada kaum muslim. Semua telah diatur Allah Swt, lewat syariah Islam.
Wajar saat
ini ekonomi terlihat susah karena negara menerapkan sistem ekonomi kapitalis,
sistem ekonominya orang-orang rakus. Lalu demokrasi menetapkan negara tak boleh
sepenuhnya mengurus rakyat. Hingga masalah kesehatan diserahkan pada BPJS,
pendidikan diliberalisasi dan para pedagang besar bebas mempermainkan harga
kebutuhan. Demokrasi pula yang mensahkan sumber daya alam negeri kita dirampok
asing. Lengkaplah sudah. Ekonomi kapitalis, liberalisme, dan politik demokrasi
berbasis sekuler rupa-rupanya biang keladinya.
Entah karena berpikir dangkal atau sengaja menyembunyikan, orang-orang itu memaksa kita menerima keadaan bahkan menyalahkan ayat Allah sebagai ayat yang sudah usang. Bukankah seharusnya sistem busuk kapitalis, demokrasi, sekuler yang harus diubah dengan syariah Allah? Makanya semakin-hari saya semakin yakin dengan seruan penegakan syariah dan Khilafah. Sebab semakin nyata di depan mata bagaimana tidak idealnya cara pandang dan cara hidup kebanyakan orang saat ini.
kasihan yang bertahun2 belum dikaruniai anak. belum apa2 udah sedih duluan baca statement "bukan jamannya lagi"
ReplyDeleteia mbak..masih banyak yang ngebayangin rumahnya rame dengan anak-anak, tapi satupun belum di kasih sama Allah. Eh, jadi patah semangat dengan statement gituan.
ReplyDeleteselain menjanjikan rezeki, banyak anak juga memperbesar peluang masuk syurga kan ya..ketika diantara anak kita syukur syukur semuanya sholeh trus doain ortunya kan selamat tuh..kalau ngejalani hidup normal kayak yang Allah Swt suruh, nggak ada masalah deh dgn yang namanya jumlah anak :)
Setuju, mbak Eva,, Alhamdulillah, Saya sedang hamil anak ke-Empat. Statement2 --Saat ini, semboyan tambah anak tambah rezeki bukan zamannya lagi. Karena situasi ekonomi sudah berbeda-- atau yg semacam itu tidak mempan di diri Saya mbak :-D
ReplyDeleteSemoga mbak Eva cepet menular yaa, cepat diberi momongan, AMIN.. Salam kenal mba Eva.
amiin ya Allah..makasih mbak Dini :)
Delete