![]() |
https://id.theasianparent.com/ |
Negara tanpa ayah, tak sengaja aku
mengetahui istilah ini di media sosial. Komisioner Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menjelaskan bahwa fatherless artinya anak yang
bertumbuh kembang tanpa kehadiran ayah, atau anak yang mempunyai ayah tetapi
ayahnya tidak berperan maksimal dalam proses pengasuhan anak. (https://www.jpnn.com/31/03/2022)
Rupanya Indonesia menempati urutan ke
tiga sebagai negara tanpa ayah. Kita harus mengakuinya. Benar. Istilah
fatherless barangkali terdengar asing di telinga banyak orang Indonesia. Tapi
maknanya dekat sekali dengan kehidupan kita.
Aku sendiri contohnya. Sejak usia batita
hingga sekarang aku tak pernah melihat sosok ayah di rumahku. Fisiknya saja
tidak ada, apalagi perannya. Secara nafkah tak hadir, apalagi memberi perhatian,
nol. Semoga Allah swt mengampuninya.
Aku benar-benar tak ingat seperti apa sosok
ayah, yang menjadi sarana kehadiranku di dunia. Banyak sekali kisah seperti
aku, perceraian yang menghilangkan peran ayah dalam pengasuhan dan tanggung
jawab nafkah pada anak.
Para ayah itu tak sadar perannya. Mereka
merasa, jika anak tinggal bersamanya, maka ia harus merawatnya. Namun jika anak
diasuh oleh mantan isterinya, ia boleh lepas tangan.
Aku masih ingat ucapan suami dari
kenalanku. “Kalau anak ikut aku, aku yang ngasih makan. Tapi kalau anak ikut
kau, kau-lah yang ngasih makan.”
Padahal hubungan ayah dengan anak tak
akan pernah bisa putus. Ikatan itu terus terbawa bahkan hingga akhirat. Kelak
anak akan bersaksi dihadapan Allah swt, mengadukan prilaku ayahnya yang lepas
tanggung jawab.
Ayah yang secara fisik ada dalam keluarga
namun tak ikut mengasuh anak tak kalah banyak jumlahnya. Sering sekali kita
lihat di sekitar kita. Para ayah yang cuek pada anak. Bicara hanya sesekali, ketika
hendak marah, atau menyuruh sesuatu.
Mereka pikir perannya hanya bekerja, lalu
memberi uang belanja dan membayar biaya sekolah anak-anaknya. Mereka tak
melakukan peran pendidikan dan tak memberi nafkah batin bagi anak-anaknya.
Wibawa ayah pun jatuh dihadapan
anak-anaknya. Tak menjadi teladan bagi anak-anaknya. Lalu anak-anak tumbuh
dewasa dengan pembentukan pribadi yang kurang. Seperti bangunan yang kurang
bahan. Alhasil, bangunan itu kurang indah.
Barangkali seperti aku, yang meremaja
dengan karakter keras, emosional, pemberontak dan kurang percaya diri. Diyakini
bahwa remaja yang terjerat narkoba, geng motor dan sejumlah kenakalan remaja
lainnya, efek dari kacaunya sebuah keluarga. Salah satunya karena peran
pengasuhan yang pincang.
Pada perkembangannya, masyarakat kita
tampaknya makin lemah. Peran ayah bukan hanya sekedar hilang dari proses
pengasuhan anak, bahkan kehadiran mereka merusak.
Bermunculan kasus-kasus seperti
pemerkosaan ayah terhadap anak, ayah menjual kehormatan anaknya, ayah memukuli
hingga membunuh anak. Dimana kenyamanan sebuah keluarga, bila ayah mereka telah
menjadi predator di rumah?
Entah karena pengaruh minuman keras,
narkoba atau tekanan ekonomi, kini ada ayah yang tega menyakiti anak kandung
mereka sendiri.
Solusinya, tentu saja masyarakat kita
harus kembali menguatkan peran ayah dalam keluarga. Memperbaiki cara pandang
ayah terhadap keluarga, hingga mereka siap berperan sebagaimana mestinya. Tapi
bagaimana caranya?
Aku pikir penyadaran lewat edukasi adalah
cara terdekat mengatasi persoalan ini. Terutama
edukasi kepada lelaki dewasa, baik ayah muda ataupun calon ayah. Kalau ayah
yang berusia lanjut, mengedukasi mereka hampir bisa dikatakan, bagai mengukir
di atas air.
Anak-anaknya juga sudah dewasa. Jadi ayah
muda dan calon ayah memang target paling tepat dalam hal ini. Sebenarnya
edukasi keagamaan telah dilakukan oleh banyak ustaz di berbagai pengajian.
Edukasi oleh psikolog seperti Ibu Ely
Risman dan pakar pendidikan anak seperti Ayah Edi juga sejak lama dilakukan
dalam berbagai kesempatan. Edukasi lewat media tulisan di berbagai kanal juga
banyak.
Namun perubahan belum terjadi. Masih
terlihat di sekitar kita ayah yang tak menjalankan perannya.
Saat masalah sudah sedemikian dalam dan
luas, serta masyarakat sendiri tak mampu menanganinya, disitulah kerja sistem
oleh penguasa dibutuhkan. Penting bagi pemimpin negeri ini untuk memasifkan
kerja institusi pendidikan, media dan perangkat pemerintahan untuk memperbaiki
umat ini.
Salah satunya untuk menanamkan pemahaman
yang benar pada para lelaki seperti apa menjadi ayah yang ideal bagi
anak-anaknya. Namun masalahnya, negara kita menganut sistem sekuler liberal.
Negara sekuler liberal, tak akan
mengintervensi urusan rakyatnya kecuali dalam hal-hal tertentu, terutama yang
menyangkut kepentingan negara seperti memungut pajak, memaksa rakyat mendaftar BPJS
dan sejenis itu.
Sementara dalam hal membentuk kepribadian
yang baik pada rakyat, agar rakyatnya bisa menjalankan peran dalam keluarga,
tidak menjadi perhatian utama negara.
Bahkan siapapun yang tak ingin jadi ayah,
atau lelaki yang ingin mengganti identitasnya menjadi perempuan, itu dibebaskan
oleh negara. Penyebaran informasi elektronik berbau pornografi, peredaran miras
dan narkoba yang turut merusak jiwa-jiwa para ayah pun tak ditangani secara
maksimal oleh negara.
Seringkali kita mendengar pejabat terkait
mengatakan bahwa negara tak bisa bekerja sendiri. Masyarakat harus bekerja sama
dengan pemerintah mengatasi persoalan yang ada.
Padahal di lapangan terasa, rakyatlah
yang lebih berperan mati matian memperbaiki keadaan. Seperti melakukan edukasi
pada para ayah, dilakukan secara mandiri oleh berbagai kalangan masyarakat.
Sementara negara dengan kekuatan
undang-undangnya, tak bisa berbuat banyak. Sebab sistem sekuler liberal
menghendaki bahwa kebebasan individu harus tetap menjadi nomor satu.
Begitulah karakter negara sekuler
liberal, pemimpinnya tak memandang jabatan sebagai amanah dari Allah swt.
Padahal Rasulullah saw mencontohkan, negara sebagai sarana mengurus manusia
dengan aturan Allah swt.
Tuntunan menjadi ayah yang baik, serta
cara membentuk para ayah yang baik sesuai tuntunan Islam juga lengkap
dicontohkan oleh Rasulullah saw sebagai kepala negara Islam di Madinah dulunya.
Jika masih tetap menerapkan sistem
sekuler liberal, tentu pemerintahan ala nabi yang menjalankan al Quran dan as
Sunnah tak bisa diwujudkan. Lalu gelar negara tanpa ayah pun terpaksa harus
tetap kita sandang.
0 Comments
Post a Comment