Wednesday, June 01, 2022

Negeri kita, Negeri Tanpa Ayah

 

https://id.theasianparent.com/

Negara tanpa ayah, tak sengaja aku mengetahui istilah ini di media sosial. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menjelaskan bahwa fatherless artinya anak yang bertumbuh kembang tanpa kehadiran ayah, atau anak yang mempunyai ayah tetapi ayahnya tidak berperan maksimal dalam proses pengasuhan anak. (https://www.jpnn.com/31/03/2022)

Rupanya Indonesia menempati urutan ke tiga sebagai negara tanpa ayah. Kita harus mengakuinya. Benar. Istilah fatherless barangkali terdengar asing di telinga banyak orang Indonesia. Tapi maknanya dekat sekali dengan kehidupan kita.

Aku sendiri contohnya. Sejak usia batita hingga sekarang aku tak pernah melihat sosok ayah di rumahku. Fisiknya saja tidak ada, apalagi perannya. Secara nafkah tak hadir, apalagi memberi perhatian, nol. Semoga Allah swt mengampuninya.

Aku benar-benar tak ingat seperti apa sosok ayah, yang menjadi sarana kehadiranku di dunia. Banyak sekali kisah seperti aku, perceraian yang menghilangkan peran ayah dalam pengasuhan dan tanggung jawab nafkah pada anak.

Para ayah itu tak sadar perannya. Mereka merasa, jika anak tinggal bersamanya, maka ia harus merawatnya. Namun jika anak diasuh oleh mantan isterinya, ia boleh lepas tangan.

Aku masih ingat ucapan suami dari kenalanku. “Kalau anak ikut aku, aku yang ngasih makan. Tapi kalau anak ikut kau, kau-lah yang ngasih makan.”

Padahal hubungan ayah dengan anak tak akan pernah bisa putus. Ikatan itu terus terbawa bahkan hingga akhirat. Kelak anak akan bersaksi dihadapan Allah swt, mengadukan prilaku ayahnya yang lepas tanggung jawab.

Ayah yang secara fisik ada dalam keluarga namun tak ikut mengasuh anak tak kalah banyak jumlahnya. Sering sekali kita lihat di sekitar kita. Para ayah yang cuek pada anak. Bicara hanya sesekali, ketika hendak marah, atau menyuruh sesuatu.

Mereka pikir perannya hanya bekerja, lalu memberi uang belanja dan membayar biaya sekolah anak-anaknya. Mereka tak melakukan peran pendidikan dan tak memberi nafkah batin bagi anak-anaknya.

Wibawa ayah pun jatuh dihadapan anak-anaknya. Tak menjadi teladan bagi anak-anaknya. Lalu anak-anak tumbuh dewasa dengan pembentukan pribadi yang kurang. Seperti bangunan yang kurang bahan. Alhasil, bangunan itu kurang indah.

Barangkali seperti aku, yang meremaja dengan karakter keras, emosional, pemberontak dan kurang percaya diri. Diyakini bahwa remaja yang terjerat narkoba, geng motor dan sejumlah kenakalan remaja lainnya, efek dari kacaunya sebuah keluarga. Salah satunya karena peran pengasuhan yang pincang.

Pada perkembangannya, masyarakat kita tampaknya makin lemah. Peran ayah bukan hanya sekedar hilang dari proses pengasuhan anak, bahkan kehadiran mereka merusak.

Bermunculan kasus-kasus seperti pemerkosaan ayah terhadap anak, ayah menjual kehormatan anaknya, ayah memukuli hingga membunuh anak. Dimana kenyamanan sebuah keluarga, bila ayah mereka telah menjadi predator di rumah?

Entah karena pengaruh minuman keras, narkoba atau tekanan ekonomi, kini ada ayah yang tega menyakiti anak kandung mereka sendiri.

Solusinya, tentu saja masyarakat kita harus kembali menguatkan peran ayah dalam keluarga. Memperbaiki cara pandang ayah terhadap keluarga, hingga mereka siap berperan sebagaimana mestinya. Tapi bagaimana caranya?

Aku pikir penyadaran lewat edukasi adalah cara terdekat mengatasi persoalan ini.  Terutama edukasi kepada lelaki dewasa, baik ayah muda ataupun calon ayah. Kalau ayah yang berusia lanjut, mengedukasi mereka hampir bisa dikatakan, bagai mengukir di atas air.

Anak-anaknya juga sudah dewasa. Jadi ayah muda dan calon ayah memang target paling tepat dalam hal ini. Sebenarnya edukasi keagamaan telah dilakukan oleh banyak ustaz di berbagai pengajian.

Edukasi oleh psikolog seperti Ibu Ely Risman dan pakar pendidikan anak seperti Ayah Edi juga sejak lama dilakukan dalam berbagai kesempatan. Edukasi lewat media tulisan di berbagai kanal juga banyak.

Namun perubahan belum terjadi. Masih terlihat di sekitar kita ayah yang tak menjalankan perannya.

Saat masalah sudah sedemikian dalam dan luas, serta masyarakat sendiri tak mampu menanganinya, disitulah kerja sistem oleh penguasa dibutuhkan. Penting bagi pemimpin negeri ini untuk memasifkan kerja institusi pendidikan, media dan perangkat pemerintahan untuk memperbaiki umat ini.

Salah satunya untuk menanamkan pemahaman yang benar pada para lelaki seperti apa menjadi ayah yang ideal bagi anak-anaknya. Namun masalahnya, negara kita menganut sistem sekuler liberal.

Negara sekuler liberal, tak akan mengintervensi urusan rakyatnya kecuali dalam hal-hal tertentu, terutama yang menyangkut kepentingan negara seperti memungut pajak, memaksa rakyat mendaftar BPJS dan sejenis itu.

Sementara dalam hal membentuk kepribadian yang baik pada rakyat, agar rakyatnya bisa menjalankan peran dalam keluarga, tidak menjadi perhatian utama negara.

Bahkan siapapun yang tak ingin jadi ayah, atau lelaki yang ingin mengganti identitasnya menjadi perempuan, itu dibebaskan oleh negara. Penyebaran informasi elektronik berbau pornografi, peredaran miras dan narkoba yang turut merusak jiwa-jiwa para ayah pun tak ditangani secara maksimal oleh negara.

Seringkali kita mendengar pejabat terkait mengatakan bahwa negara tak bisa bekerja sendiri. Masyarakat harus bekerja sama dengan pemerintah mengatasi persoalan yang ada.

Padahal di lapangan terasa, rakyatlah yang lebih berperan mati matian memperbaiki keadaan. Seperti melakukan edukasi pada para ayah, dilakukan secara mandiri oleh berbagai kalangan masyarakat.

Sementara negara dengan kekuatan undang-undangnya, tak bisa berbuat banyak. Sebab sistem sekuler liberal menghendaki bahwa kebebasan individu harus tetap menjadi nomor satu.

Begitulah karakter negara sekuler liberal, pemimpinnya tak memandang jabatan sebagai amanah dari Allah swt. Padahal Rasulullah saw mencontohkan, negara sebagai sarana mengurus manusia dengan aturan Allah swt.

Tuntunan menjadi ayah yang baik, serta cara membentuk para ayah yang baik sesuai tuntunan Islam juga lengkap dicontohkan oleh Rasulullah saw sebagai kepala negara Islam di Madinah dulunya.

Jika masih tetap menerapkan sistem sekuler liberal, tentu pemerintahan ala nabi yang menjalankan al Quran dan as Sunnah tak bisa diwujudkan. Lalu gelar negara tanpa ayah pun terpaksa harus tetap kita sandang.

0 Comments

Post a Comment