Pak Rahmat dan Bu Yuyun diwawancarai TV
One terkait BPJS. Pak Rahmat sempat berkisah di media sosial tentang tunggakan
BPJSnya yang berjumlah fantastis, yakni sekitar 8 juta lebih. Awal mendaftar
BPJS Pak Rahmat rajin membayar iuran selama sekitar dua tahun.
Merasa tak pernah menggunakan jasa BPJS,
Pak Rahmat pun memilih tak melanjutkan pembayaran iuran asuransi pemerintah
tersebut. Hingga kemarin, saat Pak Rahmat ada keperluan yang mengharuskannya
mengaktifkan kembali BPJSnya, dia kaget dengan jumlah tagihan tersebut. Ia
menyebutnya sebagai denda.
Menurut pihak BPJS yang turut diundang
dalam wawancara tersebut, jumlah yang disebutkan Pak Rahmat bukan denda,
melainkan akumulasi iuran yang nunggak selama 14 bulan dikali 4 orang dikali
150 ribu, jadi 8 juta 400 ribu.
Pihak BPJS menyayangkan masyarakat yang
memilih menunda pembayaran iuran BPJSnya. Karena tunggakan beberapa waktu akan
terasa berat saat dibayar. Bu Yuyun mengalami hal yang hampir sama, pernah
menunggak pembayaran BPJS dan ditagih dengan jumlah yang memberatkan.
Saat ditanya alasan menunda pembayaran
iuran BPJS, Bu Yuyun mengatakan bahwa uangnya dipakai buat makan sehari-hari.
Wah, bagi BPJS ini mah bukan alasan.
Tak peduli rakyat kesulitan memenuhi
kebutuhan makan sehari-hari karena harga BBM naik, harga minyak goreng dan
harga kebutuhan lainnya naik, iuaran BPJS tetap harus bayar.
Yah beginilah nasib rakyat dalam negara
demokrasi, katanya menjunjung kebebasan, tapi rakyat dipaksa bayar biaya kesehatan
padahal belum tentu digunakan.
Ada banyak pilihan jenis perobatan. Ada
medis, ada pula yang tradisional atau herbal. Medis juga ada yang umum dan
pakai BPJS. Kalau kenyataannya memang ada tersedia berbagai pilihan perobatan
di masyarakat, kenapa rakyat dipaksa pakai BPJS?
Kita paham ya, bahwa kualitas pengobatan
BPJS rendah. Bu Yuyun mengungkapkan bahwa obat yang dipakai suaminya berobat saat
pakai BPJS dengan yang umum, lebih bagus obat yang tanpa BPJS.
Orang-orang yang ingin merasakan
pelayanan kesehatan terbaik biasanya memilih jenis berobat yang umum tanpa
BPJS. Ada juga yang lebih suka berobat tradisional. Tapi dengan peraturan
pemerintah sekarang, seluruh rakyat tanpa kecuali harus daftar BPJS. Apakah itu
namanya nggak zhalim sama yang berobat tanpa BPJS?
Belum lagi, uang BPJS ternyata dikorupsi.
Lalu gaji jajaran pengurus atas BPJS yang jumlahnya fantastis. Kalau memang
judulnya konsep BPJS gotong royong, harusnya tak begitu dong prakteknya.
Manipulatif itu namanya.
Sulit memang berharap kehidupan rakyat
bisa sejahtera ketika diurus oleh rezim dan sistem kepemimpinan demorkasi.
Sejak awal naik rata-rata pemimpin bagi eksekutif maupun legislatif bukan
bekerja untuk rakyat secara umum.
Namun mereka bekerja untuk para
pendukungnya, baik tim kampanye maupun penyandang dana saat pemilu.
Undang-undang pun bisa diotak atik seenaknya. Karena mekanismenya mudah diatur
oleh mereka. Yang penting suara terbanyak setuju, maka undang-undang pun sah.
Lahirlah Undang-Undang yang ditentang
rakyat seperti UU Cipta Kerja, termasuk UU Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
yang melahirkan BPJS Kesehatan dan Tenaga Kerja. Hingga kini BPJS kerap
berpolemik dengan rakyat.
Karena sejak awal konsepnya memang bukan
mengurus rakyat dengan baik dan maksimal, melainkan ingin mengambil keuntungan
dari rakyat. Tentu berbeda sekali dengan konsep Islam dalam melayani rakyat.
Rasulullah saw mencontohkan, sebagai
pemimpin beliau memberi pelayanan kesehatan secara gratis kepada rakyatnya. Hal
itu disimpulkan ulama seperti Syekh Taqiyuddin An Nabhani dari perbuatan
Rasulullah saw, saat meminta dokter yang dihadiahkan seorang raja kepadanya,
untuk mengobati seorang penduduk Madinah tanpa bayaran.
Konsep demikian terus dilestarikan oleh
kekhilafahan setelah pemerintahan Rasulullah saw di Madinah. Yakni, kesehatan
adalah bagian dari hak rakyat secara umum yang harus diberikan secara gratis
dan berkualitas. Wallahu a’lam bishawab
Referensi:
https://www.youtube.com/watch?v=WGZz_NtxZcw
0 Comments
Post a Comment