![]() |
https://politeia.id/ |
Viralnya video percakapan antara wali murid dengan pihak SMK Negeri 2 Padang mengenai jilbab, berbuntut panjang. Dari bermunculannya kritikan sejumlah pihak hingga direspon oleh pemerintah. Mendikbud berpendapat, kejadian di SMKN 2 Padang itu bentuk intoleransi atas keberagaman, sehingga bukan saja melanggar peraturan Undang – Undang, melainkan juga nilai Pancasila dan kebhinekaan.
Aktivis dari Komunitas Pembela HAM Sumbar Wendra Rona Putra mengatakan, hal itu tak lepas dari peraturan daerah (perda) intoleran. (https://www.cnnindonesia.com). Sebenarnya Kepala Sekolah SMKN 2 sudah mengklarifikasi bahwa pada dasarnya tidak ada aturan pemaksaan penggunaan jilbab pada nonmuslim di sekolahnya.
Peraturan berjilbab di sekolah dibuat
berdasarkan perda syariah khusus untuk muslimah. Dalam hal ini wakil kepala
sekolah salah dalam menginterpretasikan aturan tersebut, sehingga ribut dengan
wali kelas dari siswa nonmuslim hingga videonya viral.
Sejak lama para aktivis liberal memang
mempermasalahkan keberadaan perda syariah. Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pernah membuat catatan bahwa ada 421
kebijakan diskriminatif oleh pemerintah daerah selama 2009-2016. Kebijakan itu
diantaranya kewajiban perempuan mengenakan jilbab, larangan keluar malam dan
pembatasan pada golongan Syiah dan Ahmadiyah.
Buntut dari peristiwa di Padang itu, keluar-lah
Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang
Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik dan Tenaga
Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah pada
Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
SKB tersebut
ditandatangani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam
Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Para guru
dan siswa kini dibebaskan untuk memilih mengenakan pakaian dan atribut yang
memiliki kekhususan agama atau tidak.
Siswa Butuh Pendidikan Takwa
Kita sepakat bahwa berpakaian merupakan hak individu. Tak boleh perempuan nonmuslim dipaksa berjilbab. Namun lain halnya dengan muslimah. Bagi muslimah, berpakaian sesuai syariah bukan hanya hak, melainkan kewajiban dari Allah swt.
Kewajiban menutup aurat dengan segala
rinciannya telah maklum di kalangan kaum muslimin. Bagi yang menggunakannya,
hal itu merupakan ekspresi ketakwaan diri. Bagi yang enggan memakainya karena
belum paham atau terpengaruh pemikiran di luar Islam, maka haruskah dibiarkan?
Membiarkan siswa memilih berjilbab atau
tidak tentu hal ini ganjil. Dimanakah peran pendidikan dalam membentuk
ketakwaan?
Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, tujuan utama pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Defenisi takwa semakin rancu ketika fakta memperlihatkan pendidikan semakin dijauhkan dari agama.
Beberapa waktu lalu terjadi pelemahan pelajaran fikih siyasah (baca:
khilafah) di sekolah madrasah. Kini, satu kasus yang terjadi di SMK Negeri 2
Padang tersebut dijadikan alasan untuk melarang aturan berjilbab di sekolah.
Apa sebenarnya defenisi takwa?
Istilah takwa adalah
istilah khas Islam. Abu Hurairah berkata saat ditanya tentang takwa, ''Pernahkah
engkau melewati suatu jalan dan engkau melihat jalan itu penuh dengan duri?
Bagaimana tindakanmu untuk melewatinya?'' Orang itu menjawab, ''Apabila aku
melihat duri, maka aku menghindarinya dan berjalan di tempat yang tidak ada
durinya, atau aku langkahi duri-duri itu, atau aku mundur.'' Abu Hurairah cepat
berkata, ''Itulah dia takwa!'' (HR Ibnu Abi Dunya).
Sejalan dengan atsar itu, Buya
Hamka mengatakan bahwa takwa ialah memelihara hubungan
yang baik dengan Allah SWT, yakni memelihara segala perintahNya supaya
dijalankan dan memelihara jangan sampai terperosok pada perbuatan yang tidak
diridhai-Nya.
Sesuai tujuan pendidikan
nasional, sudah seharusnya sekolah menjadi institusi pembentuk kepribadian
Islam pada diri siswa. Seharusnya pendidikan mampu mewujudkan pola pikir dan
pila sikap Islami pada para siswa. Pendidikan takwa adalah kebutuhan siswa.
Maka segala jalan yang
mendorong pada takwa harusnya dilakukan. Termasuk memberi ruang bagi sekolah
untuk membuat aturan berpakaian sesuai syariah. Hal itu sebagai pembiasaan bagi
siswa, disamping pemberian pelajaran di kelas serta contoh dari para guru mendorong
hal yang sama, yaitu takwa. Bukankah demikian yang harusnya terjadi?
Demokrasi Anti Syariah
Islam
Lagi – lagi kejadian ini
menegaskan posisi syariah Islam dimata demokrasi. Tak ada ruang bagi
pemberlakukan syariah sebagai aturan publik dalam demokrasi. Asas demokrasi
adalah sekulerisme. Pemahaman mengkerdilkan peran agama hanya dalam wilayah
privasi. Islam yang notabene merupakan jalan hidup dianggap sebatas ajaran
ritual seperti agama lainnya.
Hal ini harus disadari oleh kaum muslimin, tak bisa berharap pemberlakukan Islam kaffah dalam sistem demokrasi sekuler. Hanya untuk pemberlakukan Islam secara parsial lewat perda syariah, khusus bagi umat muslim saja sangat sulit.
Akan selalu ada suara –
suara kritikan dan penolakan oleh para pegiat liberal. Ujung – ujungnya
pemerintah bisa saja menjadikan sikap kontra tersebut sebagai alasan menghapus
perda syariah. Ketika perda syariah dinilai memicu kegaduhan dan anti
kebhinekaan.
Sementara Allah swt memerintahkan kita untuk melaksanakan Islam secara keseluruhan, sesuai al Qur’an surat al Baqarah ayat 208. Kita diminta oleh Allah swt untuk menghukumi perkara kehidupan kita dengan hukum – hukum Islam, sesuai al Qur’an surat al Maidah ayat 49. Sampai – sampai Allah swt menegur umat Islam, apakah mereka menganggap ada hukum yang lebih baik selain hukum Allah swt.
Jelas tidak ada
cara hidup yang lebih baik dari Islam, seperti yang dikatakan Allah swt dalam
al Quran surat Al Maidah ayat 50. Maka sudah seharusnya kita berjuang untuk
kebangkitan hakiki yakni dengan mengembalikan kehidupan Islam. Berjuang dengan
cara yang dicontohkan Rasulullah saw, untuk mengganti sistem demokrasi sekuler
dengan sistem Islam. Wallahu a’lam bishawab.
0 Comments
Post a Comment