https://parenting.dream.co.id/ |
Child free, istilah kekinian untuk menyebut pasangan suami isteri yang memutuskan tidak memiliki anak. Istilah tersebut familiar di negara – negara maju. Cukup banyak pasangan yang memilih melakukannya. Keputusan itu diambil dengan beragam alasan. Setidaknya ada dua alasan yang cukup menonjol. Pertama, biaya memiliki anak mahal. Kedua, memiliki anak berarti beban, menyita waktu hingga mengganggu pekerjaan.
Ini Tubuh, Tubuh Gue?
Dalam sebuah wawancara, Gita Savitri, seorang
youtuber asal Indonesia bertempat tinggal di Jerman mengaku memilih child free.
Sejak awal hendak menikah, cewek berkerudung ini menyampaikan pandangannya ke
calon suami.
Gayung bersambut, mereka bersepakat untuk
hidup berdua saja. Alasannya tidak begitu tegas. Dia hanya bilang bahwa
keputusan itu diambil dengan proses yang panjang. Baginya punya anak itu sebuah
masalah besar.
“Gimana kalau misalnya kita sebagai orang
tua ngga being responsible, trus taunya kita memberi luka ke anak kita”, ucapnya.
Tampaknya dia punya masalah dengan masa
lalunya. Hingga timbul rasa takut untuk memiliki anak. Dia memperkuat
argumennya dengan alasan, “Ini tubuh, tubuh gue”, katanya.
Ditambah lagi, ketika ia bertanya pada
ibunya tentang alasan memiliki anak, jawaban sang ibu tak memuaskan. Ibunya
hanya berkata bahwa ia pikir punya anak itu memang konsekuensi pernikahan.
Saya tertarik menanggapi pernyataan, “Ini
tubuh, tubuh gue”. Pemahaman khas liberal tersebut harus direnungkan lebih
dalam. Coba pikirkan, kalau memang tubuh kamu milik kamu seutuhnya, harusnya
kamu bisa mengendalikan kerja organ tubuh kamu sepenuhnya.
Harusnya kamu bisa kontrol tubuh kamu
kapan ingin tua. Atau malah tidak ingin tua, harusnya bisa. Bisakah kamu sesuka
hati mengatur masalah makan misalnya?
“Malas ah makan tiap hari. Capek.
Pengennya seminggu sekali atau sebulan sekali aja makannya.”
Bisakah?
Atau kamu jijik buat BAB, terus kamu menyuruh
tubuh kamu untuk tidak BAB, bisakah?
Bisakah kamu atur kapan kamu mati?
Atau bisakah kamu menghindar dari
kematian?
Kalau semua itu tak mampu kamu
kendalikan, darimana kamu yakin tubuhmu berhak dikendalikan sekehendaknya?
Trauma masa lalu harus diatasi, bukan justru mengambil keputusan yang salah dalam hidup.
Pernikahan Punya Tujuan
Pernikahan bukan cuma soal komitmen
sepasang kekasih yang jatuh cinta untuk hidup bersama. Pernikahan itu berarti
awal membangun keluarga. Secara internasional defenisi keluarga adalah satu
unit sosial yang terdiri dari orang tua dan anak – anak. (https://www.dictionary.com/)
Secara logis dunia pun membutuhkan
lahirnya generasi baru pelanjut kehidupan. Saat ini berbagai negara maju dimana
banyak penduduknya memilih child free, sedang panik. Berbagai strategi
dilakukan negara – negara itu untuk meningkatkan angka kelahiran.
Misdiana, youtuber asal Indonesia lainnya
yang tinggal di Jerman bercerita betapa enaknya punya anak di Jerman. Sebab
pemerintah Jerman sangat perhatian pada suami isteri yang bersedia punya anak.
Baik warga asli maupun asing diperlakukan sama.
Sejak kehamilan hingga melahirkan dan
kelak anak menempuh pendidikan di Jerman, pasangan itu dimanjakan oleh berbagai
bonus oleh pemerintah. Pajak dipotong, sehingga gaji suaminya jadi naik. Ibu
dan anak juga mendapat sejumlah uang dari pemerintah. Hal ini dilakukan sebagai
bentuk ‘bujuk rayu’ pemerintah agar pasangan di Jerman sudi memiliki anak.
Allah swt juga menjelaskan dalam al Quran
bahwa salah satu tujuan pernikahan untuk meneruskan keturunan. Allah swt
berfirman: “Dan Allah menjadikan bagimu
pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan
cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari yang baik. Mengapa
mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” [QS. An-Nahl :
72]
Makanya ada larangan mencegah kelahiran permanen
dalam Islam. Nabi SAW telah melarang pengebirian (al – ikhtisha’), sebagai
teknik mencegah kehamilan secara permanen yang ada saat itu. (Muttafaq ‘alaih,
dari Sa’ad bin Abi Waqash RA).
Selain potensi dosa dan merugikan dunia
pada umumnya, pasangan dengan child free tentu turut merugikan dirinya sendiri.
Mereka bakal kehilangan kesempatan untuk menyalurkan naluri kasih sayang pada
darah daging mereka.
Kehilangan potensi memiliki amal jariyah
kalau dia muslim. Hilang peluang berlatih manajemen keluarga yang komplit,
dimana disitu ada pelatihan kesabaran dalam mendidik, kekuatan merawat anak, kedewasaan
menghadapi permasalahan keluarga dan lain sebagainya.
Dari sini kita pun mengerti bahwa paham liberal sekuler telah jadi bumerang bagi negara penganutnya yang tulen. Paham liberal sekuler melemahkan barat dengan sendirinya. Kelak bonus demografi di negeri negeri muslim akan menjadi salah satu kekuatan menghadapi barat. Syaratnya, kaum muslimin harus melepaskan diri dari paham jahiliyyah ala barat itu.
0 Comments
Post a Comment