https://regional.kompas.com/ |
Padahal ternyata pulau – pulau itu indah sekali suasana alamnya. Termasuk Pulau Lantigiang ini. Terdapat hamparan pasir pantai yang putih dan air laut amat jernih disitu. Ia merupakan ekosistem yang masih asli dan terjaga.
Cek berita harian kayak biasa, saya menemukan info mengenai penjualan Pulau Lantigiang yang terletak di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Pulau itu dijual oleh seseorang bernama Syamsu Alam kepada seorang wanita bernama Asdianti seharga 900 juta rupiah. Rupanya Asdianti adalah direktur PT Selayar mandiri Utama dan Taka Bonerate Dive Resort. Perusahaannya bergerak di bidang pariwisata.
Warganet cukup ramai membicarakan soal
ini. Karena Pulau Lantigiang termasuk dalam kawasan taman nasional Taka Bonerate Selayar. Bupati Selayar Muh Basli Ali
mengaku heran dengan kabar itu. Harusnya bila ada investor yang tertarik kepada
pulau – pulau di Selayar urusannya ke pemda. Bupati pun mengingatkan Kepala
Desa agar berkoordinasi dengan kantor pertanahan dan camat sebelum mengesahkan
dokumen tanah.
Di sisi lain Syamsu Alam
percaya diri merasa memiliki Pulau seluas 10 hektar itu, karena menurutnya
pulau itu milik keluarganya. Dulu neneknya tinggal di pulau itu. Dia
mengantongi surat keterangan kepemilikan yang dikeluarkan sekdes tahun 2019.
Dia sudah mendapat uang muka penjualan pulau itu sejumlah 10 jt dari calon
pembeli. Sepertinya aksi Syamsu ke depannya takkan semulus yang ia pikirkan
***
Sejak lama saya
mengetahui bahwa saya lahir dan tinggal di negara kepulauan, Indonesia. Beribu
– ribu pulau ada di Indonesia. Terdiri dari 5 pulau besar dan sekitar 17 ribu
pulau kecil. Tapi baru tahu kalau salah satunya bernama Pulau Lantigiang.
Kalau tidak ada info
unik tentangnya, kayaknya saya tidak merasa cukup penting mengetahui satu
persatu profil pulau di Indonesia. Maklum, saya termasuk orang rumahan. Belum
pernah jalan jauh. Kasihan banget sih. Hehe.
Padahal ternyata pulau –
pulau itu indah sekali suasana alamnya. Termasuk Pulau Lantigiang ini. Terdapat
hamparan pasir pantai yang putih dan air laut amat jernih disitu. Ia merupakan ekosistem
yang masih asli dan terjaga.
Statusnya sebagai bagian
dari taman nasional itu berdasarkan SK
Menteri Kehutanan No 280/KPTS-II/1992 dengan luas keseluruhan 530.765 hektar. Berdasarkan
situs Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pulau Lantigiang juga disebut
merupakan habitat peneluran penyu.
***
Secara nasional ada peraturan yang
melarang penjualan pulau. Namun dibolehkan bagi invididu ataupun perusahaan
mengelola pulau – pulau kecil di Indonesia. Mau dijadikan private island atau
komersial boleh. Dulunya yang diizinkan hanya penduduk lokal. Tapi kini asing
pun diizinkan mengelola pulau – pulau kita.
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut
(Dirjen PRL) Aryo Hanggono menjelaskan, guna mendukung pengembangan investasi
di pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dan terkontrol Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP) telah menerbitkan Permen KP No.8 Tahun 2019 dan Permen KP
Nomor 24 Tahun 2019. Dalam aturan itu, pemanfaatan pulau-pulau kecil dalam
rangka penanaman modal asing (PMA) haruslah mendapat izin pemanfaatan
pulau-pulau kecil dari Menteri Kelautan dan Perikanan.
Dengan catatan, pemanfaatan pulau
tersebut maksimal 70 persen. Sementara 30 persennya tetap dikuasai oleh negara
untuk kepentingan pelestarian alam. Dari luas 70 persen itu pun pengelola
diharuskan mengalokasikan 30 persennya untuk ruang terbuka hijau.
Pebisnis pariwisata tentu tidak menyia –
nyiakan kesempatan mengelola pulau – pulau indah di Indonesia. Banyak yang
sudah menikmati keuntungan berbisnis pariwisata. Diantaranya kepulauan seribu.
Dari 110 pulau yang ada disana, 60 pulau sudah
dikelola oleh swasta untuk dibuat resort.
Ada 3 pulau di
Manggarai Barat, NTT yang disewakan pada pihak asing selama 25 – 30 tahun
dengan sistem Hak Guna Usaha (HGU). Pulau Cubadak di Sumatera Barat dikelola
pengusaha Italia. Pulau Menyawakan di
Jepara, Jawa Tengah dikelola pengusaha Swedia. Pulau Asu dan Pulau Sibaranu di
Nias dikelola oleh pengusaha Australia dan Amerika. Dan lain sebagainya. https://www.cekaja.com/info/sayang-banget-pulau-pulau-indah-di-indonesia-ini-ternyata-dikelola-asing
https://www.karjaw.com/2016/09/pulau-menyawakan-karimun-jawa.html |
***
Dengan skema pengelolaan kekayaan alam ini
oleh pihak swasta, bisa ditebak, kontribusinya untuk pendapatan negara pun
minim. Berdasarkan
Laporan Kinerja Kementerian Pariwisata Tahun 2018, kontribusi sektor pariwisata
terhadap perekonomian masih satu digit. Pada 2018, porsi pariwisata terhadap
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) cuma 5,25 persen. Perlu tiga tahun untuk
meningkatkan kontribusinya sebesar 1 persen, yaitu dari 4,25 persen pada 2015. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200226121314-532-478265/menghitung-kontribusi-sektor-pariwisata-bagi-ekonomi-ri
Nasib Pulau Lantigiang kemungkinan akan
sama, jatuh ke tangan swasta. Kondisi pandemi sejak tahun lalu dipastikan
mempengaruhi pendapatan negara dari sektor pariwisata. Sebab kunjungan
wisatawan berkurang cukup signifikan.
Tapi secara umum minimnya pendapatan
negara dari sektor pariwisata bukan karena pandemi. Bukan pula karena peluang
mengembangkan sektor pariwisata belum dimaksimalkan. Ataupun kunjungan
wisatawan yang masih terbilang kecil.
Sesungguhnya pengelolaan tempat wisata
oleh swasta tentu saja meniscayakan keuntungan lebih besar untuk pihak
pengelola. Meski dikatakan bahwa sektor pariwisata menyerap tenaga kerja
sekitar 10 persen dari total penduduk Indonesia yang bekerja, yakni 12,7 juta,
tetap saja yang untung jauh lebih besar adalah pengelola. Rakyat jelata cukup
mencicipi keuntungannya saja, berupa gaji menjadi pekerja.
Ditambah lagi. Meski pengelola utama
objek wisata di negeri kita adalah pebisnis swasta, namun promosinya tetap
dibantu oleh negara. Pemerintah mengeluarkan anggaran triliunan untuk
pengembangan wisata.
Disini saya merasa kepengurusan kekayaan
alam kita merugikan negara. Merugikan rakyat Indonesia. Nggak sesuai fitrah
kita ya. Dimana – mana tuan rumah harusnya dapat untung paling besar dari harta
yang dimilikinya. Namun dengan model ekonomi bebas ala kapitalisme, negeri kaya
SDA kayak negara kita kok malah dinikmati sebagaian besar keuntungannya oleh
swasta bahkan asing.
***
Bila saja pandangan ekonomi kita
mengikuti Islam, lain ceritanya. Pada dasarnya semua yang ada di alam semesta
adalah milik Allah swt. Ini pemahaman dasar yang amat penting ditanamkan oleh
Islam. Agar manusia mau diatur dengan Islam termasuk dalam mengelola dan
memanfaatkan alam. “Milik
Allah SWT segala apa yang ada di langit dan di bumi. (QS. Al-Baqarah: 284).
Dalam
sistem ekonomi Islam, ada pengaturan kepemilikan. Kepemilikan dibagi atas tiga
bagian. Ada kepemilikan individu, yakni harta yang dibolehkan oleh Islam untuk
dimiliki dari bekerja yang halal, dagang, pemberian, harta temuan dan lain
sebagainya.
Ada
kepemilikan umum, yakni sebagaimana disebutkan hadis nabi, “Kaum muslimin
berserikat atas tiga hal; api, air dan padang rumput” (HR. Ahmad)
Dalam
penjelasannya, dalam Kitab Nizhamul Iqtishady karya Syekh Taqiyuddin An –
Nabhani, keberadaan barang tambang yang terkategori sumber energi adalah milik
umum. Listrik dan gas misalnya, adalah non komersil.
Kategori
air yang mengalir tiada henti seperti laut dan sungai juga milik umum. Jadi
menurut Islam penyediaan air bersih oleh perusahaan air minum, non komersil.
Padang rumput mewakili tanah luas, yang bisa dihuni banyak orang, maka Islam
melarang privatisasi baik oleh invidu atau pun perusahaan.
Termasuk
juga fasilitas umum yang dibutuhkan banyak orang seperti jalan raya adalah
milik umum. Maka menurut Islam, jalan tol itu non komersil. Adapun kepemilikan negara
adalah selain kepemilikan individu dan kepemilikan umum. Semisal jizyah (pajak
non muslim) dan lain sebagainya.
Artinya,
jika pakai konsep Islam, keindahan alam yang jadi objek wisata merupakan milik
umum. Negara sebagai pengurus rakyat wajib mengelolanya sendiri. Negara bisa
mempekerjakan para pekerja yang dibutuhkan untuk mewujudkan objek wisata menarik.
Tentu hal ini pun disesuaikan dengan syariah. Seperti tidak disediakan miras.
Ada aturan menutup aurat, pergaulan dan lain sebagainya. Bila turis fokus pada
menikmati keindahan alam, tentu tak keberatan meninggalkan gaya hidupnya
sementara ia berada di wilayah kaum muslimin.
Dengan
pengelolaan ala Islam, objek wisata jauh lebih menguntungkan bagi negara.
Dimana keuntungan itu dinikmati rakyat dalam bentuk berbagai fasilitas seperti
pendidikan dan kesehatan yang gratis dan berkualitas. Aspek pariwisata pun tetap
bisa menyerap tenaga kerja.
Namun kembali lagi, butuh kemauan secara politik untuk beralih pada pandangan Islam dalam menjalani hidup. Tak bisa hanya aspek pariwisatanya. Islam harus diambil secara kaffah (QS. Al Baqarah 208). Itu syarat hidup berkah (QS. al Anbiya: 107)
0 Comments
Post a Comment