Monday, February 01, 2021

Pulau Lantigiang, Keindahan Alam Yang Dijual

 

https://regional.kompas.com/

Padahal ternyata pulau – pulau itu indah sekali suasana alamnya. Termasuk Pulau Lantigiang ini. Terdapat hamparan pasir pantai yang putih dan air laut amat jernih disitu. Ia merupakan ekosistem yang masih asli dan terjaga.


Cek berita harian kayak biasa, saya menemukan info mengenai penjualan Pulau Lantigiang yang terletak di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Pulau itu dijual oleh seseorang bernama Syamsu Alam kepada seorang wanita bernama Asdianti seharga 900 juta rupiah. Rupanya Asdianti adalah direktur PT Selayar mandiri Utama dan Taka Bonerate Dive Resort. Perusahaannya bergerak di bidang pariwisata.

Warganet cukup ramai membicarakan soal ini. Karena Pulau Lantigiang termasuk dalam kawasan taman nasional Taka Bonerate Selayar. Bupati Selayar Muh Basli Ali mengaku heran dengan kabar itu. Harusnya bila ada investor yang tertarik kepada pulau – pulau di Selayar urusannya ke pemda. Bupati pun mengingatkan Kepala Desa agar berkoordinasi dengan kantor pertanahan dan camat sebelum mengesahkan dokumen tanah.

Di sisi lain Syamsu Alam percaya diri merasa memiliki Pulau seluas 10 hektar itu, karena menurutnya pulau itu milik keluarganya. Dulu neneknya tinggal di pulau itu. Dia mengantongi surat keterangan kepemilikan yang dikeluarkan sekdes tahun 2019. Dia sudah mendapat uang muka penjualan pulau itu sejumlah 10 jt dari calon pembeli. Sepertinya aksi Syamsu ke depannya takkan semulus yang ia pikirkan

***

Sejak lama saya mengetahui bahwa saya lahir dan tinggal di negara kepulauan, Indonesia. Beribu – ribu pulau ada di Indonesia. Terdiri dari 5 pulau besar dan sekitar 17 ribu pulau kecil. Tapi baru tahu kalau salah satunya bernama Pulau Lantigiang.

Kalau tidak ada info unik tentangnya, kayaknya saya tidak merasa cukup penting mengetahui satu persatu profil pulau di Indonesia. Maklum, saya termasuk orang rumahan. Belum pernah jalan jauh. Kasihan banget sih. Hehe.

Padahal ternyata pulau – pulau itu indah sekali suasana alamnya. Termasuk Pulau Lantigiang ini. Terdapat hamparan pasir pantai yang putih dan air laut amat jernih disitu. Ia merupakan ekosistem yang masih asli dan terjaga.

Statusnya sebagai bagian dari  taman nasional itu berdasarkan SK Menteri Kehutanan No 280/KPTS-II/1992 dengan luas keseluruhan 530.765 hektar. Berdasarkan situs Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pulau Lantigiang juga disebut merupakan habitat peneluran penyu.

***

Secara nasional ada peraturan yang melarang penjualan pulau. Namun dibolehkan bagi invididu ataupun perusahaan mengelola pulau – pulau kecil di Indonesia. Mau dijadikan private island atau komersial boleh. Dulunya yang diizinkan hanya penduduk lokal. Tapi kini asing pun diizinkan mengelola pulau – pulau kita.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Dirjen PRL) Aryo Hanggono menjelaskan, guna mendukung pengembangan investasi di pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dan terkontrol Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menerbitkan Permen KP No.8 Tahun 2019 dan Permen KP Nomor 24 Tahun 2019. Dalam aturan itu, pemanfaatan pulau-pulau kecil dalam rangka penanaman modal asing (PMA) haruslah mendapat izin pemanfaatan pulau-pulau kecil dari Menteri Kelautan dan Perikanan.

Dengan catatan, pemanfaatan pulau tersebut maksimal 70 persen. Sementara 30 persennya tetap dikuasai oleh negara untuk kepentingan pelestarian alam. Dari luas 70 persen itu pun pengelola diharuskan mengalokasikan 30 persennya untuk ruang terbuka hijau.

Pebisnis pariwisata tentu tidak menyia – nyiakan kesempatan mengelola pulau – pulau indah di Indonesia. Banyak yang sudah menikmati keuntungan berbisnis pariwisata. Diantaranya kepulauan seribu. Dari 110 pulau yang ada disana, 60 pulau sudah dikelola oleh swasta untuk dibuat resort.

https://www.blibli.com/

Ada 3 pulau di Manggarai Barat, NTT yang disewakan pada pihak asing selama 25 – 30 tahun dengan sistem Hak Guna Usaha (HGU). Pulau Cubadak di Sumatera Barat dikelola pengusaha Italia. Pulau Menyawakan di Jepara, Jawa Tengah dikelola pengusaha Swedia. Pulau Asu dan Pulau Sibaranu di Nias dikelola oleh pengusaha Australia dan Amerika. Dan lain sebagainya. https://www.cekaja.com/info/sayang-banget-pulau-pulau-indah-di-indonesia-ini-ternyata-dikelola-asing

https://www.karjaw.com/2016/09/pulau-menyawakan-karimun-jawa.html


***

Dengan skema pengelolaan kekayaan alam ini oleh pihak swasta, bisa ditebak, kontribusinya untuk pendapatan negara pun minim. Berdasarkan Laporan Kinerja Kementerian Pariwisata Tahun 2018, kontribusi sektor pariwisata terhadap perekonomian masih satu digit. Pada 2018, porsi pariwisata terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) cuma 5,25 persen. Perlu tiga tahun untuk meningkatkan kontribusinya sebesar 1 persen, yaitu dari 4,25 persen pada 2015. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200226121314-532-478265/menghitung-kontribusi-sektor-pariwisata-bagi-ekonomi-ri

Nasib Pulau Lantigiang kemungkinan akan sama, jatuh ke tangan swasta. Kondisi pandemi sejak tahun lalu dipastikan mempengaruhi pendapatan negara dari sektor pariwisata. Sebab kunjungan wisatawan berkurang cukup signifikan.

Tapi secara umum minimnya pendapatan negara dari sektor pariwisata bukan karena pandemi. Bukan pula karena peluang mengembangkan sektor pariwisata belum dimaksimalkan. Ataupun kunjungan wisatawan yang masih terbilang kecil.

Sesungguhnya pengelolaan tempat wisata oleh swasta tentu saja meniscayakan keuntungan lebih besar untuk pihak pengelola. Meski dikatakan bahwa sektor pariwisata menyerap tenaga kerja sekitar 10 persen dari total penduduk Indonesia yang bekerja, yakni 12,7 juta, tetap saja yang untung jauh lebih besar adalah pengelola. Rakyat jelata cukup mencicipi keuntungannya saja, berupa gaji menjadi pekerja.

Ditambah lagi. Meski pengelola utama objek wisata di negeri kita adalah pebisnis swasta, namun promosinya tetap dibantu oleh negara. Pemerintah mengeluarkan anggaran triliunan untuk pengembangan wisata.

Disini saya merasa kepengurusan kekayaan alam kita merugikan negara. Merugikan rakyat Indonesia. Nggak sesuai fitrah kita ya. Dimana – mana tuan rumah harusnya dapat untung paling besar dari harta yang dimilikinya. Namun dengan model ekonomi bebas ala kapitalisme, negeri kaya SDA kayak negara kita kok malah dinikmati sebagaian besar keuntungannya oleh swasta bahkan asing.

***

Bila saja pandangan ekonomi kita mengikuti Islam, lain ceritanya. Pada dasarnya semua yang ada di alam semesta adalah milik Allah swt. Ini pemahaman dasar yang amat penting ditanamkan oleh Islam. Agar manusia mau diatur dengan Islam termasuk dalam mengelola dan memanfaatkan alam.  “Milik Allah SWT segala apa yang ada di langit dan di bumi. (QS. Al-Baqarah: 284).

Dalam sistem ekonomi Islam, ada pengaturan kepemilikan. Kepemilikan dibagi atas tiga bagian. Ada kepemilikan individu, yakni harta yang dibolehkan oleh Islam untuk dimiliki dari bekerja yang halal, dagang, pemberian, harta temuan dan lain sebagainya.

Ada kepemilikan umum, yakni sebagaimana disebutkan hadis nabi, “Kaum muslimin berserikat atas tiga hal; api, air dan padang rumput” (HR. Ahmad)

Dalam penjelasannya, dalam Kitab Nizhamul Iqtishady karya Syekh Taqiyuddin An – Nabhani, keberadaan barang tambang yang terkategori sumber energi adalah milik umum. Listrik dan gas misalnya, adalah non komersil.

Kategori air yang mengalir tiada henti seperti laut dan sungai juga milik umum. Jadi menurut Islam penyediaan air bersih oleh perusahaan air minum, non komersil. Padang rumput mewakili tanah luas, yang bisa dihuni banyak orang, maka Islam melarang privatisasi baik oleh invidu atau pun perusahaan.

Termasuk juga fasilitas umum yang dibutuhkan banyak orang seperti jalan raya adalah milik umum. Maka menurut Islam, jalan tol itu non komersil. Adapun kepemilikan negara adalah selain kepemilikan individu dan kepemilikan umum. Semisal jizyah (pajak non muslim) dan lain sebagainya.

Artinya, jika pakai konsep Islam, keindahan alam yang jadi objek wisata merupakan milik umum. Negara sebagai pengurus rakyat wajib mengelolanya sendiri. Negara bisa mempekerjakan para pekerja yang dibutuhkan untuk mewujudkan objek wisata menarik. Tentu hal ini pun disesuaikan dengan syariah. Seperti tidak disediakan miras. Ada aturan menutup aurat, pergaulan dan lain sebagainya. Bila turis fokus pada menikmati keindahan alam, tentu tak keberatan meninggalkan gaya hidupnya sementara ia berada di wilayah kaum muslimin.

Dengan pengelolaan ala Islam, objek wisata jauh lebih menguntungkan bagi negara. Dimana keuntungan itu dinikmati rakyat dalam bentuk berbagai fasilitas seperti pendidikan dan kesehatan yang gratis dan berkualitas. Aspek pariwisata pun tetap bisa menyerap tenaga kerja.

Namun kembali lagi, butuh kemauan secara politik untuk beralih pada pandangan Islam dalam menjalani hidup. Tak bisa hanya aspek pariwisatanya. Islam harus diambil secara kaffah (QS. Al Baqarah 208). Itu syarat hidup berkah (QS. al Anbiya: 107)

0 Comments

Post a Comment