https://antimiras.com/ |
Sudah maklum dikalangan umat Islam mengenai keharaman minuman memabukkan (kharm). Sebagaimana mengertinya umat tentang keharaman memakan babi, kewajiban salat dan perkara lain yang tegas semacam itu. Ketika minuman keras bebas dijual di pasaran, umat Islam yang peduli pada syariah pasti resah. Ditambah lagi efek buruk peredaran minuman keras (miras), sejak lama sudah dirasakan masyarakat. Tempat – tempat maksiat marak. Lalu terjadi berbagai tindak kriminalitas yang dipicu oleh miras.
Seperti yang
disebutkan dalam Indonesia Journal of Criminal Law (IjoCL), bahwa hasil penelitian di Kota Makassar membuktikan pengaruh minuman keras terhadap
timbulnya suatu kejahatan setiap tahun cenderung meningkat. Ada pula kecelakaan
lalu lintas yang diakibatkan miras. Salah satunya disebutkan oleh Kapolda Papua Irjen
Martuani Sormin, bahwa penyebab kecelakaan lalu
lintas di Papua pada umumnya disebabkan minuman beralkohol atau
miras yang dikonsumsi sebelum mengendarai kendaraan. (https://mediaindonesia.com/21/02/2019)
Semua itu tentu menambah resah masyarakat. Maka ketika muslim mendapat kesempatan berbuat sesuatu untuk mengatasi persoalan miras ini, dia pun terpanggil untuk berbuat. Panggilan iman inilah yang penulis yakini telah mendorong 21 anggota DPR RI dari tiga fraksi berbeda yakni PPP, PKS dan Gerindra untuk mengusulkan pembahasan Rancangan Undang – Undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol). Dalam situs resmi DPR disebutkan beberapa alasan diusulkannya RUU Minol.
Pertama, untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif minol. Kedua, menciptakan ketertiban dan ketentraman di masyarakat dari para peminum minol. Ketiga, menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minol. Pada rapat Badan Legislatif (Baleg) DPR RI, para pengusul mengutip al quran surat al Maidah ayat 90-91 tentang larangan tegas dari Allah swt untuk mengkonsumsi khamr.
Namun kita menyadari, kita hidup dalam sistem demokrasi, dimana agama bukan satu – satunya standar penentu kebijakan. Bahkan agama cenderung terpinggirkan dalam pengaturan kehidupan. Asas yang diusung dalam demokrasi adalah sekulerisme, pemisahan agama dari kehidupan. Agama hanya dipandang sebagai sisi ibadah. Selebihnya aturan hidup harus steril dari agama.
Bilapun ada aturan agama yang
diselipkan dalam tataran kehidupan bernegara, pasti dipilih pilih dan diambil
mana yang menguntungkan dalam kaca mata manusia. Semisal pengelolaan dana haji
yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur oleh pemerintah. https://nasional.kompas.com/read/2017/07/28/18102721/yusril-kritik-jokowi-gunakan-dana-haji-untuk-infrastruktur?page=all.
Alhasil sekulerisme
memandulkan potensi Islam sebagai agama yang merupakan aturan dan solusi
masalah kehidupan. Hal ini terlihat dari penolakan beberapa pihak terhadap usulan
RUU Minol. Mereka menyesalkan pengusulan RUU Minol menggunakan alasan agama.
Mereka memandang usulan tersebut tidak sesuai dengan keberagaman. Demikian perkataan
Anggota Badan
Legislasi (Baleg) DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Firman Soebagyo.
Mereka juga
berpendapat jika RUU Minol disahkan maka akan merugikan negara. Memang data
Kementerian Keuangan menunjukkan cukai miras berkontribusi pada perekonomian
negara senilai Rp7,3 triliun tahun lalu. (https://www.bbc.com/)
DKI Jakarta sebagai
bagian dari pemilik saham produsen bir, PT Delta Djakarta juga mendapatkan
keuntungan berupa deviden senilai lebih dari Rp100 miliar dari perusahaan itu.
Asosiasi importir minuman beralkohol menilai, jika RUU Minol disahkan, hal itu
sama saja dengan membunuh sektor pariwisata. Tentunya mereka juga merasa
dirugikan andai RUU Minol disahkan. Maka pihak yang kontra terhadap RUU Minol
mengusulkan lebih baik RUU Minol yang bersifat larangan diubah menjadi
pengaturan, pengendalian dan pengawasan distribusi miras.
Perdebatan inilah
penyebab RUU larangan Minol belum juga rampung. RUU tersebut pertama kali
diusung oleh DPR pada tahun 2009. Tapi tak disahkan hingga dibahas lagi pada
periode 2014 dan 2019. Pembahasan kembali mandek karena alotnya perdebatan
antara DPR dan pemerintah. Padahal pada RUU Minol pasal 8 dikatakan bahwa minol
diperbolehkan untuk kepentingan terbatas, seperti adat, ritual keagamaan,
wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan
perundang-undangan. (https://tirto.id/f6Vi)
Namun meski RUU
Minol memuat pengecualian, satu suara tetap tak tercapai. Mengenai alasan
potensi kerugian ekonomi, pihak pengusul RUU Minol berpendapat bahwa pendapatan
dari miras tidak begitu signifikan dibanding efek buruk yang ditimbulkan. Kita
bisa berpikir keras untuk meningkatkan ekonomi dengan jalan lain selain
berharap dari pajak minol. Meski alasan tersebut dikemukakan, satu pandangan
masih tak mampu dihasilkan.
Demikianlah
konsekuensi penerapan demokrasi. Rencana melahirkan undang – undang akan selalu
menimbulkan kontroversi. Sebab tidak ada standar nilai tertentu yang dipegang
dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Asas sekulerisme baku dalam
demokrasi. Dengannya kebebasan harus dijunjung tinggi, baik kebebasan beragama,
berpendapat, berprilaku maupun berekonomi. Maka satu – satunya standar perbuatan
yang dipegang dalam demokrasi adalah kepentingan. Kepentingan siapa yang
dimenangkan oleh demokrasi?
Pada tataran teori, disebutkan bahwa demokrasi akan memenangkan suara mayoritas rakyat. Nyatanya para pemilik kekuatan uanglah yang dimenangkan oleh demokrasi. Sebagai contoh Undang – Undang Cipta Kerja yang kemarin memicu demo rakyat besar – besaran, namun tetap disahkan. Bila umat Islam yang merupakan mayoritas di negeri ini tepuk dada tanya iman, pasti kebanyakan akan setuju dengan pelarangan minol yang memang dilarang oleh Allah swt.
Tapi bagaimana mau berharap larangan Allah
swt juga akan dilarang oleh kebijakan pemerintah, lah wong kembali ke
prinsip demokrasi di negeri ini, dalam membuat aturan negara jangan bawa – bawa
agama. Aturan berdasarkan agama sama artinya dengan anti keberagaman. Terjawab
sudah, bahwa sangat sulit membayangkan miras akan dilarang di negeri demokrasi
sekuler ini. Lalu bagaimana umat Islam mau berharap syariah kaffah bisa
diterapkan dalam sistem demokrasi?
Persoalan penetapan
kebijakan akan jauh lebih mudah bila dikembalikan pada Islam sepenuhnya.
Kepentingan ataupun manfaat bukanlah standar berbuat dalam Islam, melainkan
halal haram-lah ukurannya. Allah swt berfirman: “Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Qur’ân) dan Rasul
(Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian.”
[an-Nisâ’/4:59] Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Allâh Azza wa Jalla
perintahkan manusia agar mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya.
Islam hadir untuk menjaga dan melindungi eksistensi manusia. Salah satu yang dijaga oleh Islam adalah kesehatan akal. Hal itu tampak pada larangan Allah swt untuk meminum khamr (miras). Sistem Islam berupa politik, ekonomi dan pendidikan serta sistem lainnya akan bersatu padu menciptakan masyarakat yang sehat dan sejahtera serta berorientasi hidup ke surga. Jadi ilusi pelarangan minol melalui legislasi demokrasi harusnya melipatgandakan semangat umat Islam untuk terus berjuang mengembalikan kehidupan Islam secara utuh dalam naungan khilafah.
Tulisan ini dimuat juga di Lapan6online.com dengan judul yang berbeda.
https://lapan6online.com/mungkinkan-minol-dilarang-dalam-demokrasi/
0 Comments
Post a Comment