Aksi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memang
kerap menarik perhatian warga net. Tak terkecuali aksinya kali ini. Berpose
duduk santai sambil membaca buku. Judul bukunya yang bikin ‘kegaduhan’, “How
Democracies Die” (Bagaimana Demokrasi Mati).
Orang – orang yang berkepentingan dengan harta dan tahta membanggakan demokrasi. Mati – matian demokrasi berusaha dipertahankan. Padahal seperti yang disampaikan di buku karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt ini, demokrasi berarti mati jika pelaksana sistem politik demokrasi melakukan empat hal.
Pertama, lemahnya komitmen terhadap sendi – sendi
demorkasi. Bisa dilihat dari, apakah mereka suka mengubah – ubah undang –
undang? Apakah mereka melarang organisasi tertentu?
Kedua, menolak legitimasi lawan politiknya. Bisa
dirasakan dari kesan permusuhan terhadap lawan politiknya, melalui tuduhan
mengancam asas dan ideologi negara. Ketiga, toleran bahkan mendukung kekerasan.
Bisa disaksikan melalui hubungan eratnya dengan organisasi paramiliter. Lalu ia
membiarkan aksi kekerasan organisasi tersebut.
Keempat, berkeinginan memberangus kebebasan sipil
dari lawan politik, termasuk media. Ketika ia melahirkan produk undang – undang
yang membatasi kekebasan sipil, yakni hak – hak politik dan menyampaikan
pendapat.
Makanya
foto santai Pak Anies yang bersarung duduk santai di pagi hari libur jadi tak
biasa. Foto beliau sampai viral. Para politisi maupun akademisi terdorong untuk
ikut berkomentar. Ada yang bernada pro, seperti “Pak Anies sedang memikirkan
negara”, “Pak Anies sedang mengkritik pemerintah”.
Ada
pula yang kontra dengan menganggap foto itu sebagai pencitraan, gimmick,
menyindir diri sendiri dan sebagainya. Sampai – sampai pose serupa ditiru
beberapa politisi, dengan pesan pro kontranya.
Saya
rakyat jelata, punya buku juga tentang demokrasi. Jadi mau ikutan foto berpose
yang mirip, nggak papa kan ya. Saya bersyukur mendapatkan pencerahan pemikiran
dari jamaah. Tentang demokrasi juga ada. Sehingga saya nyambung dengan yang
viral ini.
Buku yang saya pegang melengkapi vonis terhadap demokrasi. Dalam buku karya Husain Matla ini dikatakan bahwa demokrasi itu adalah keluarga sekulerisme, kapitalisme dan liberalisme. Sekulerisme adalah ‘guru besar’, ‘master of master’ bagi para penganut demokrasi. Ia mengajarkan manusia agar terbebas dari aturan Sang Pencipta.
Agama dikerdilkan fungsinya, hanya sebagai urusan ibadah
pribadi. Islam yang notabene adalah aturan hidup, tak boleh dibawa – bawa ke
ranah politik. Tak ada standar halal haram dalam perbuatan. Kepentingan adalah
yang utama.
Pada
akhirnya sang ‘guru’ menciptakan manusia – manusia yang memuja kebebasan. Hidup
manusia ditentukan oleh manusia itu sendiri. Mau jadi apa saja terserah asal
jangan ganggu orang lain. Mau menjadi lg8t, mau kumpul kebo, mau apa saja
terserah. Setiap pilihan seseorang harus dihormati. Nggak boleh menjudge.
Inilah liberalisme.
Sekulerisme
menjadikan kebanyakan orang menyangka bahagia itu berarti kepuasan. Mencapainya
dengan cara meraih dunia. Terbentuklah orang – orang yang materialistis.
Mengejar harta demi apa yang disangka sebagai kebahagiaan. Segala cara
dilakukan. Biar nyogok supaya bisa masuk sekolah elit atau jadi pegawai negeri.
Biar melakukan politik uang demi jadi pejabat. Biar menguasai kekayaan alam
agar untung besar. Pengusaha dan penguasa pun tak segan bersekongkol menipu
rakyat. Inilah kapitalisme.
Untuk
model pemerintahan, yang pas dengan sekulerisme adalah demokrasi. Pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemerintahan dibuat sesuai kehendak
rakyat untuk hidup bebas dari aturan agama. Agama apapun tak boleh mendominasi
kebijakan negara. Meski Islam adalah aturan hidup sempurna, yang berasal dari
Allah swt Sang Pencipta, tetap saja tak boleh mengatur kehidupan kaum muslimin.
Dengan
model pemerintahan demokrasi, para kapitalis mau tetap berkuasa pun bisa.
Tinggal dibilang saja, semua sudah berjalan sesuai demokrasi, atas kehendak
rakyat.
Banyak
pula contoh kasus di buku itu, yang menunjukkan bahwa demokrasi selama
penerapannya memang sebatas tameng bagi sekulerisme, liberalisme dan kapitalisme.
Demokrasi yang muncul dipermukaan, namun sejatinya yang eksis dalam kehidupan
adalah sekulerisme, liberalisme dan kapitalisme. Disebutlah oleh judul buku
Husain Matla, “Demokrasi Tersandera”.
Sejumlah prinsip yang menunjukkan eksistensi demokrasi semisal kebebasan berpendapat coba tetap dipertahankan. Namun ketika para pemilik modal dan teman – temannya merasa terancam dengan prinsip itu, akhirnya dilanggar juga. Tampaklah sudah kematian demokrasi. Ya, dia mati dan memang pantas mati.
Sebab itu ada foto
buku relevan lainnya yang saya sertakan. “Buanglah Demokrasi Pada Tempatnya”
karya Yudha Pedyanto, si pengasuh komunitas KluBuku yang grupnya banyak saya
rasakan manfaatnya.
Pertama kali lihat foto Pak Anies Baswedan berpose dengan buku “How Democracies Die”, rasanya wow. Terus terang saja rasanya memang wow. Terselip harapan disana. Barangkali buku itu bisa mengubah pandangannya terhadap demokrasi. Lalu berbalik pro kebangkitan Islam yang hakiki. Siapa yang tahu. Allah swt yang menggenggam hati. Ya itu terserah Allah saja.
0 Comments
Post a Comment