“Mamak
percaya Erwin itu anak baik. Tapi janganlah sampai nggak pesta. Orang aja semua
pesta.”
“Asal
dia bisa ngasih 15 juta aja, tulang yang nambahin.”
***
Pesta
pernikahan menjadi semacam hal wajib di daerahku. Masyarakat sekitar bilang
kalau pesta pernikahan jadi bentuk penghargaan lelaki pada calon istrinya.
Semakin mewah pestanya, maka pria itu dianggap semakin menghargai calon
istrinya. Apalagi bila gadisnya cantik, sarjana dan bersuku batak kayak diriku
(itu penilaian keluargaku loh ya). Menurut orang sekitar pestanya harus lebih
meriah.
Jadi mahar buat meminang gadis sih biasa saja. Tapi uang hangusnya atau biaya pestanya mahal. Setidaknya, minimal tiga puluh juta untuk biaya pesta harus disiapkan mempelai pria. Kalau memang uangnya ada ya nggak masalah. Kenyataannya, menyiapkan uang puluhan juta untuk menikah bagi rata – rata pria lajang itu berat.
Sebab gaji mereka bekerja pas – pasan buat menjalani hidup. Kalaupun
ada tabungan ya sedikit. Nggak sampai puluhan juta. Mengatasi persoalan
tersebut, biasanya para pria akan minta ke orangtua atau orangtua sendiri yang
merasa bertanggungjawab membiayai pesta pernikahan anak lelakinya.
Kalau memang orangtua punya tabungan yang cukup ya nggak masalah. Tapi justru banyak orangtua disini yang rela berhutang bahkan sampai terlibat riba demi menyiapkan biaya pesta pernikahan anaknya.
Ada pula yang rela menjual sawah atau
ladangnya. Padahal sawah atau ladang itu merupakan sarana mata pencaharian
mereka. Setelah anak menikah, hidup mereka pun susah. Seorang temanku mengaku
beberapa kali dikhitbah lantas putus saat ta’aruf karena pria-nya tak sanggup
menyediakan uang pesta.
Cara pandang itulah yang juga diadopsi keluarga intiku. Mamakku sebenarnya suka dengan sosok pria yang mengkhitbahku. Baru dua bulan aku dan pria itu saling kenal di lingkungan kerja. Dia manajer di sebuah bimbingan belajar tempatku ngajar.
Sejak awal dia bilang siap menikah dan menginginkan istri yang bisa
hidup bersama sesuai Islam. Dia seorang yang cukup mandiri dan punya bekal
agama. Ini ku yakini dari latarbelakang pendidikannya. Secara jantan dia datang
ke rumahku dan melamarku untuk menjadi istrinya.
Satu hal yang kurang darinya. Ya itu, tidak bisa memberi dana pesta. Sebelum datang ke rumahku dia terlebih dahulu menyampaikan secara blak blakan, “Saya berasal dari keluarga miskin. Enam bersaudara. Bapak sudah meninggal sejak saya berumur lima tahun. Kakak saya aja ada yang cuma tamat SD.
Saya satu – satunya yang
kuliah. Itupun dengan biaya sendiri. Saya mau menikah. Untuk uang belanja
sehari – hari ada. Untuk sewa rumah, beli tempat tidur, lemari dan alat – alat
rumah tangga ada. Tapi saya nggak bisa kasih uang pesta. Kamu mau?”
Aku
merasakan kejujuran dari ucapannya. Tak lama ku bilang bersedia. Aku memahami kalau
inti dari penyelenggaraan pernikahan adalah akad nikah. Sahnya pernikahan
adalah terpenuhi syarat dan rukun nikah. Sementara walimatul urs atau pesta pernikahan hukumnya sunnah. Yang dimaksud dengan walimah dalam kitab Fathul Qariib karya
al-‘Allamah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Qasim adalah makanan yang dibuat untuk
acara pernikahan.
Karena
hukumnya sunnah, maka jika tidak mampu diselenggarakan aku pikir tidak apa –
apa. Lagipula yang dimaksud oleh pria itu adalah tidak mampu membiayai pesta
yang lazim diadakan yaitu ada makanan, tenda, kursi, pelaminan, pakaian
pengantin dan musik.
Sementara
pria itu mampu menyediakan biaya sekitar tiga juta rupiah untuk menjamu makan
keluarga, tetangga dan teman – teman terdekat pasca akad nikah. Waktu itu
sekitar tahun 2012, dimana untuk ukuran daerah tempat tinggalku, uang sejumlah
itu sudah cukup membiayai jamuan makan. Ini pun sebenarnya sudah terkategori
sebagai walimatul urs. Sebab inti
dari walimatul urs adalah berbagi kebahagiaan dengan menjamu makan.
Awalnya
mamak menerima ide calonku. Tapi desakan orang sekitar membuat mamak goyah, dan
menuntut agar pesta diadakan sebagaimana biasa di masyarakat. Aku merasa sedih
dan mengkhawatirkan hadist ini:
“Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya
datang kepada kalian untuk meminang wanita kalian, maka hendaknya kalian
menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya
niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR.
At-Tirmidzi)
Tapi itulah ujianku dalam menjemput jodoh. Aku meminta keteguhan pada Allah swt melalui istikharahku. Harus ku lepaskan atau perjuangkan. Rupanya perjalanan waktu menunjukkan hal – hal yang menguatkanku. Pria itu bersedia mengenal jamaah tempatku dibina. Dia selalu menghadiri kajian dan tepat waktu.
Dia pun bilang kepadaku, rencananya akan mencari rumah
kontrakan di daerah dekat kampusku. Agar aku mudah untuk beraktivitas ngaji dan
dakwah. Saat itu aku memang masih aktif ngaji di kampus meski sudah wisuda.
Hal – hal itu membuatku terharu. Aku merasa tersanjung. Ku
terjemahkan sikapnya itu, bahwa dia paham kewajiban seorang suami yaitu memberi
pendidikan pada istri. Sehingga dia berpikir kelak jika pernikahan terjadi, dia
akan memudahkan aktivitas pengajianku. Bila standar penghargaan bagi calon
istri menurut masyarakat adalah kemegahan pesta pernikahan, maka bagiku yang
dilakukan calonku ini adalah bentuk penghargaannya padaku.
Hatiku pun semakin condong padanya. Aku memilih untuk mencoba
terus melembutkan hati orangtuaku. Beberapa kali pria itu pun datang untuk
membantuku meyakinkan mamak.
Alhamdulillah, ternyata kami berdua berjodoh. Mamak setuju
dengan pernikahan kami. Meski terlihat berat. Dan mamak meminta agar pernikahan
tidak diselenggarakan di rumah. Melainkan di kantor KUA saja. Mamak malu pada
tetangga sekitar karena anaknya menikah tanpa pesta meriah. Meski sedih tapi
aku lega. Tidak masalah pikirku, asal mamak ridha.
Sesuai rencana calon suamiku, beberapa hari sebelum akad
nikah dia mencari kontrakan di sekitar kampusku. Alhamdulillah Allah swt
memudahkan, tak lama rumah kontrakan yang sesuai keinginan didapatkan. Rumahnya
berbentuk rumah toko satu lantai, yang akan digunakan sebagai tempat tinggal
sekaligus buka bimbingan belajar. Setelah akad nikah di KUA, kami tinggal di
rumah orangtua beberapa hari lalu pindah ke rumah kontrakan.
Sekitar dua minggu kemudian kami mengadakan walimah urs sederhana di rumah kontrakan kami. Keluarga memberi dukungan. Tetangga dan teman – teman terdekat kami undang. Alhamdulillah, acarapun berjalan lancar.
Semuanya terasa begitu mudah. Kami tidak mengalami kesulitan ketika memisahkan
tamu pria dengan tamu wanita sebagaimana aturan walimah dalam Islam. Kebetulan
ada rumah kosong di sebelah rumah yang kami kontrak. Kami minta izin pemilik
rumah untuk menggunakan rumah itu sebagai tempat tamu pria.
Kami pun tidak perlu melobi keluarga untuk membuat konsep
walimah ala Islam. Kami panitia di acara walimah kami sendiri, dibantu sama
teman – teman pengajian. Pengalaman teman –teman saya, melobi keluarga demi
urusan walimah cukup sulit. Sebab sebagian masyarakat masih awam dengan konsep
walimah ala Islam.
Tsumma alhamdulillah, aku merasakan ketenangan dalam
pernikahan ini. Meski di usia pernikahan yang memasuki delapan tahun ini kami
belum dikaruniai anak, namun kami berdua tetap kompak. Bersama berikhtiar.
Bersama tawakkal. Kompak pula dalam menyelesaikan tiap masalah rumah tangga.
Ternyata begini rasanya memiliki suami melalui jalan Islam.
Adem. Suamiku sahabatku. Suamiku guruku. Persis seperti yang aku saksikan dari
rumah tangga teman – teman pengajianku. Dimana mereka juga menjemput jodoh
sesuai cara Islam. Orangtua yang melihat rumah tangga kami adem ayem pun turut
berbahagia.
Aku semakin yakin dengan kaidah syara’, “Dimana ada syariat disitu ada maslahat”. Allah swt Maha Pengasih dan Penyayang, menurunkan syariat untuk menuntun hidup manusia agar selamat dunia akhirat. Mau bahagia, ternyata kuncinya taati syariah.
0 Comments
Post a Comment