Belajar itu kewajiban. Belajar itu
kebutuhan. Salah satu sumber belajar adalah buku. Hal itu kusadari. Meski tak
semua isi buku mampu terserap dalam benak, setidaknya satu dua pelajaran
diperoleh juga. Baca buku saja tak kunjung diri menjadi padat berilmu, apalagi
tak baca buku. Intinya, buku jadi penting sebagai bagian dari keseharian kita.
Kali ini diberi rezeki oleh Allah swt
memiliki buku berjudul “Questioning Everything; Kreativitas Di Dunia Yang Tidak
Baik – Baik Saja”, karya duo pemuda Tomi Wibisono dan Soni Triantoro. Buku ini
berisi kumpulan hasil wawancara penulis dengan para tokoh seni. Konon para
tokoh seni ini isi kepalanya tak melulu soal seni. Mereka juga bicara soal
politik dan sosial.
Nah menariknya disitu. Sebab hal ini
makin menambah yakin diri ini bahwa siapapun orangnya, apapun profesinya dia
tak bisa lari dari politik. Mengingat politik sudah menjadi bagian dari urusan
kehidupan kita. Dalam beberapa hari ke depan, buku ini akan turut menemani hari
– hariku.
Tokoh pertama yang diulas adalah tentang
Remy Sylado. Jujur, baru kali ini mendengar nama itu. Beliau seorang multi
talenta di bidang seni. Beliau sastrawan, jurnalis, pemain teater, pemain film,
sutradara, musikus, pakar bahasa dan pelukis.
Tahun 60-an, beliau pernah ikut menjadi
korban kejahatan PKI. Ada rencana beliau untuk menuliskan hal tersebut dalam
bentuk novel. Saat muncul wacana agar pemerintah minta maaf pada PKI, beliau
menjadi salah satu nara sumber yang berbicara tentang pengalaman menjadi koran
kejahatan PKI.
Ternyata beliau juga orangnya yang
memulai musikalisasi puisi di negeri ini. Dimana musikalisasi puisi adalah
salah satu pertunjukan yang amat kusukai dalam tiap agenda dakwah publik. Saat
ini beliau sudah sepuh, berusia sekitar tujuh puluhan.
Ada dua yang yang tidak kusepakati
darinya. Pertama, ia beranggapan mau tak mau kita harus berkiblat ke amerika.
Terutama dalam hal musik. Karena arusnya sudah begitu. Kedua, pandangannya
bahwa seni itu kreasi bebas. Sehingga tema seks ikut dibahas dalam puisinya.
Dua hal pula yang aku sepakati darinya.
Pertama, sebagai makhluk Ilahi kita punya kelebihan dari lainnya. Maka jika ada
yang mengatakan bahwa kita harus punya spesialisasi dan diferensiasi dalam
bidang tertentu, itu keliru. Kita bisa menguasasi berbagai keterampilan. Apa
yang kita mau ya lakukan. Tokoh ini sendiri sudah membuktikan bahwa dirinya
mampu menjadi seorang dengan multi talenta.
Meski yang ia maksud adalah dalam bidang
budaya. Kupikir hal ini juga berlaku dalam bidang lainnya. Dan ini
mengingatkanku pada banyaknya generasi Khilafah Islam tempo dulu yang menguasai
banyak bidang keilmuan. Salah satu contohnya ilmuwan al Khawarizmi yang menguasai
ilmu bidang matematika, astronomi, astrologi, dan geografi serta
tentunya memiliki ilmu keislaman yang cukup. Mereka generasi yang kurindu
kehadirannya zaman ini.
Hal lainnya yang aku sepakati darinya,
bahwa kita tak perlu takut memegang ide yang kita yakini. Meski itu berbeda
dari kebanyakan orang. “Kita dari sekarang kalau sudah punya kesadaran untuk
melakukan sesuatu yang tidak pada umumnya, ya lakukan saja”. (Hal. 17).
Beliau saja yang berpegang pada ide barat
percaya diri, apalagi yang diyakini itu adalah pemahaman Islami. Bersumber dari
Allah swt sang pencipta alam semesta. Seperti kewajiban menerapkan syariah
Islam dalam naungan Khilafah. Dalilnya jelas. Keberkahan itu bagi negeri yang
taat (QS. al A’raf: 96). Kebaikan itu letaknya pada penerapan syariah Islam
secara kaffah (QS. al Anbiya: 7). Sudah selayaknya berpegang teguh pada syariah
Islam meski belum semua orang berpikir yang sama.
0 Comments
Post a Comment