Thursday, July 28, 2016

Tobatnya Aktivis Sosialis


Biar ku ceritakan ciri-ciri Mili. Dia gadis yang ceria, humoris dan menyenangkan. Hal yang paling istimewa darinya ialah prinsip hidupnya. Disaat banyak muslim yang enggan terikat dengan agamanya, ia justru bersemangat mengkaji Islam dan berusaha sekuat tenaga untuk konsisten mengamalkanya.

Bukan hanya itu, ia juga berkomitmen untuk berada dalam barisan perjuangan dakwah Islam. Dakwah yang ditujukan untuk mengembalikan kehidupan Islam dimuka bumi. Ia mahasiswa pejuang syariah dan khilafah. Baginya, pahala adalah segalanya. Tiada kenikmatan yang terindah seindah ridha Ilahi Sang Pemberi Kehidupan. “Bila hidup bukan untuk Islam, lalu buat apa lagi?” Itu katanya.

Kalau ingat masa lalunya, pasti tidak menyangka ia sekarang bisa menjadi seorang pengemban dakwah. Dulunya ia bergerak dalam organisasi bernama Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI). SMI menyatakan diri berjuang untuk rakyat kelas bawah yang tertindas oleh kalangan kapitalis.

Mereka senang mengkritik kebijakan pemerintah yang menyelenggarakan pendidikan berbiaya mahal. Mereka ingin pendidikan gratis. Mereka ingin demokrasi yang pro kepada rakyat. Mereka ingin hancurkan kapitalisme. Caranya? Inilah yang tak pernah dibahaskan.

Meski tak solutif, ide SMI yang disampaikan saat pelatihan menggambarkan ngerinya belenggu sistem kapitalis di Indonesia. Itu membuat Mili tertarik. Realita itu benar adanya. Siapapun yang peka pasti merasakan ada yang tak beres dengan negeri ini. Bagaimana bisa rakyat miskin hidup di negeri yang kaya akan sumber daya alam.

Seperti ayam yang mati di lumbung padi saja. Saat itu azam pun diucapkan. Mili bersumpah untuk ikut berjuang bersama SMI. Berjuang untuk membela nasib rakyat kecil atas dominasi para konglomerat yang selingkuh dengan penguasa.

Sampai di sini tidak ada masalah. Sebab tujuan mereka dirasa cukup mulia. Aktivitas rutin yang dilakukan SMI ialah berdiskusi seputar permasalahan pendidikan dan ekonomi serta keorganisasian. Namun dalam perjalanannya banyak hal ganjil yang Mili temui. Diskusi seringnya dilakukan pada malam hari di sekretariat SMI.

Jam tujuh diskusi diagendakan, tetapi jam sembilan baru dimulai. Begitu berulang-ulang. Mereka larut dalam obrolan hingga jam satu malam. Sebagian menyudahi, yang lain melanjutkan berdiskusi hingga pukul empat pagi. Mili sendiri tidak tahan dan memilih berhenti berdiskusi pada jam satu malam untuk tidur. Kalau sudah larut malam tidak mungkin lagi pulang. Semua menginap di tempat itu.

Keesokan paginya ia menyaksikan teman-temannya masih tidur bergelimpangan. Tak ada yang bangun. Tak ada yang sholat subuh. Selalu begitu. Semua tidur satu ruangan campur-baur. Di situ pria, di situ wanita. Mereka memang menjunjung tinggi persamaan.

Mereka bilang, antara laki-laki dan perempuan tak ada perbedaan. Pandangan seperti itu diwujudkan dengan melakukan aktvitas bersama-sama. Mereka senang makan dari satu wadah menggunakan piring yang sama atau pakai daun pisang yang dipanjangkan lalu disajikan nasi beserta lauk di atasnya.

Minum pun dari satu wadah dan tidur pun dalam satu ruangan. Setelah semalaman berdiskusi, mereka baru bangun jam sepuluh pagi. Meski merasa tak nyaman, Mili hanya menyimpan saja di hati.

Kebiasaan lainnya, anggota SMI yang lelaki senang minum tuak (sejenis minuman keras berkadar alkohol rendah). Minuman tuak sudah seperti sirup bagi mereka. Ditambah pula menghisap daun ganja. Semua terjadi di depan mata Mili.

Tak ada yang melarang. Karena semua dianggap biasa. Selain persamaan, kebebasan juga penting. Lagi-lagi rasa tak nyaman itu hanya disimpan di hati. Bahkan sesekali Mili pernah tertarik mencoba rokok dan tuak. Untunglah ada kakak senior yang melarang. Meski SMI mengajarkan kebebasan, terkadang hati baik itu muncul juga.

Alhamdulillah, setelah sekitar beberapa bulan bergabung di SMI ada jalan baginya mengenal gerakan dakwah. Tadinya ia hanya berniat menjaga teman seperjuangan yang ingin mencari tahu tentang Islam dari aktivis Hizbut Tahrir.

Ia pun mengikuti semua agenda Hizbut Tahrir yang diikuti temannya Nurul. Meski membosankan, ia tetap ikut kajian. Ia tak rela temannya menjauh dari SMI. Pelan-pelan ia ingin menarik Nurul kembali.

Hingga suatu saat kajian di hari itu menampilkan sebuah video berjudul Ila Mata. Video itu menayangkan penderitaan kaum muslim di seluruh dunia disebabkan kejahatan bangsa penjajah. Hati Mili tersentak, tak menyangka kehidupan kaum muslim di berbagai belahan dunia khususnya di wilayah Timur Tengah sedemikian menderita.

Hari berikutnya ia diajak aktivis Hizbut Tahrir ikut aksi menentang kebiadaban kafir penjajah dengan solusi kembali pada aturan Islam. Ia merinding menyaksikan ratusan lelaki dan perempuan berbaris rapi bersama komunitas masing-masing.

Tak ada campur baur. Tak ada kemacetan karena barisan berjalan di pinggiran jalan, berusaha untuk tidak mengganggu jalannya kendaraan. Pekikan takbir pun membuatnya terharu. Sejak hari itu ia putuskan ikut mengkaji Islam dari dasar dengan niat yang sudah diluruskan. Perlahan ia mulai menjauh dari SMI. Jarang ikut diskusi.

Tak lagi mau bercampur baur dengan lelaki dan mulai memakai jilbab/ gamis (pakaian muslimah keluar rumah) dan kerudung. Teman-teman SMI sempat menertawakan penampilan mereka memakai jilbab dan kerudung.

Namun, tetap saja Mili dan Nurul saling menguatkan untuk istiqomah belajar Islam dan mengamalkan Islam. Beberapa saat kemudian mereka berdua memutuskan untuk benar-benar keluar dari SMI.

               Mili bersyukur tiada terkira pada Allah Swt. Ia dimudahkan menuju jalan kebenaran . Kalau saja ia masih bergelut di SMI, ia pasti masih tetap menjadi aktivis sosialis.

        Melalui kajian Islam tentang perbandingan ideologi di dunia yang ia ikuti, ternyata SMI menganut paham miliknya Karl Marx yaitu ideologi sosialis komunis.

dari Buku Antologi "Tukang Becak Ikut Ngaji" (judul ini ditulis oleh Eva Arlini)

0 Comments

Post a Comment