Subscribe to:
Post Comments (Atom)
About Me
Populer
Mutiara Hadist
Karyaku

Buku Antologi
![]() |
picture by pembebasan-makassar.blogspot.com
Sebagaimana
diberitakan banyak media, permasalahan mengenai kelas sisipan oleh sejumlah
sekolah negeri bergengsi di Sumatera Utara, muncul kembali kepermukaan. Keresahan masyarakat terutama
orangtua siswa terkait masalah tersebut mendorong Ombudsman RI Perwakilan
Sumatera Utara untuk memanggil Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan,
Marasutan Siregar guna mempertanyakannya. Ternyata anggota Komisi C DPRD Medan,
yang juga merupakan Komite Sekolah SMA Negeri 5 Medan, Godfried Effendi Lubis
mengamini hal tersebut. Kepada media beliau membocorkan bentuk dugaan praktek
penerimaan siswa sisipan di SMA Negeri 5. Dalam menerima siswa sisipan, pihak
sekolah turut memungut biaya dari orangtua siswa sebesar Rp. 6-7 juta per
siswa. Ada dugaan konspirasi terselubung antara Kepala SMA Negeri 5 Haris
Simamora dengan Kepala Dinas Pendidikan Marasutan Siregar. Sebab, praktek ini
masif dan terstruktur, sebut beliau.
SMA
Negeri 5 Medan melalui Humasnya, Leo Janser Situmorang tak menampik adanya
penerimaan siswa sisipan pasca penyelenggaraan Penerimaan Peserta Didik Baru
(PPDB) tahun ini di sekolah tersebut. Yang dibantah oleh beliau adalah mengenai
jumlah kelas sisipan tersebut, bukan tiga kelas melainkan hanya ada satu kelas
sisipan saja. Pak Leo beralasan, pihaknya membuat kelas tambahan lantaran
desakan dari warga sekitar yang ingin memasukkan anaknya ke sekolah tersebut.
Agar sekolah kondusif, terpaksa diterima orang sekitar sebagai muris, ujarnya.
Kalau memang untuk memenuhi permintaan masyarakat sekitar demi kelancaran
aktivitas sekolah, mengapa sampai memungut biaya jutaan rupiah. Bukankah sama
saja sekolah bermaksud mengambil keuntungan dari biaya tersebut?
Selain
SMA Negeri 5 Medan, sekolah lainnya yang tercium melakukan praktek yang sama
yaitu, SMA Negeri 3, SMA Negeri 4 dan SMA Negeri 1. Rata-rata mereka mengenakan
sejumlah biaya bagi siswa sisipan tersebut. Hal ini diungkapkan oleh Ketua
Ombudsman RI Perwakilan Sumut, Abyadi Siregar saat di temui wartawan di
kantornya.
Mengenai
adanya kelas sisipan di sekolah negeri bergengsi, semasa saya duduk di bangku
akhir masa Sekolah Menengah Pertama (SMP) lima belas tahun lalu, sudah
terdengar. Desas desus itu terdengar secara langsung oleh saya, saat saya berada
di lokasi sebuah Sekolah Menengah Atas (SMA) di Medan, karena keperluan melihat
pengumuman kelulusan tes masuk di sana. Namun permasalahan tersebut hingga kini
terus ada. Hal ini membuktikan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani
praktek komersialisasi pendidikan oleh pihak sekolah negeri. Sistem kapitalis
sekuler yang diterapkan di Indonesia telah gagal menjamin pemerintah untuk
bertanggungjawab penuh dan serius dalam memenuhi hak-hak rakyatnya. Tak
seharusnya pendidikan dijadikan komoditi yang diinginkan keuntungannya.
Rekomendasi
buat pemerintah, selesaikan masalah buruknya penyelenggaraan pendidikan serta
masalah-masalah lainnya secara tuntas dari akar-akarnya. Akar masalahnya adalah
penerapan sistem kapitalis sekuler yang menjadikan manfaat sebagai asas
perbuatan. Dalam sistem ini, kebanyakan orang berbuat karena manfaat. Sehingga
pihak sekolah tega mengambil manfaat dari murid-muridnya dan pemerintahpun tega
menelantarkan masalah rakyatnya karena pertimbangan keuntungan. Sistem
kapitalis sekuler harus diganti dengan sistem Islam dalam naungan Khilafah.
Dalam sistem Islam, tolak ukur berbuat adalah halal haram, bukan manfaat. Dengan
pertimbangan halal haram, pemerintahan yang menerapkan Islam akan menjaga
secara penuh amanah kekuasaan yang dipegangnya. Ia akan melayani masyarakat
secara adil sesuai hukum Islam dan rakyat secara keseluruhan akan merasakan
kesejahteraan. Wallahu a’lam bishawab.
|
Baru tahu kalau ada kelas sisipan. Di sumedang biasanya cuma beberapa siswa, mba yg maksa masuk kemudian dipungut biya yg besar
ReplyDeletebegitulah mbak keadaannya :(
DeleteMenyedihkan ya mba, ini sudah lama menjadi penyakit di sekolah-sekolah kita
ReplyDeleteia mbak btul, penyakit yg kayak mendarah daging..harus diselesaikan samapi ke akar-akarnya
DeleteKarena sama2 ingin cari untung akhirnya masalah tsb tdk pernah terselesaikan sampai saat ini ya mb
ReplyDeleteia mbak..bermanfaat untuk sesama itu dianjurkan..tapi kalau manfaat dijadikan tolak ukur dalam setiap perbuatan, itu yg gawat..akhirnya hilang belas kasihan
DeleteApalagi kalo di sekolah swasta, Mbak. Beeuhhh, dikit-dikit duit, kasihan orangtuanya.
ReplyDeleteia mbak, prihatin
Deleteitu sih sudah biasa mak, jaman saya masih SMA saja banayk anak ayng dipungut biaya super gede kalau mau diterima di sana walau di sana sudah full kelas nya, ya alternatifnay ya itu tuh kelas sisipan
ReplyDeleteitulah mak, yang biasa tapi salah nggak boleh terus terjadi dung ya. mau jadi apa negeri kita ini kalau terus memelihara prilaku buruk
Delete