Tuesday, May 19, 2015

Cinta, Kok Sama Ateis?




“Dia memang ateis, tapi aku menyukainya”, kata si cewek. Tidak salah lagi, dia jatuh cinta dengan cowok berhaluan atheis. Lebih tepatnya, merasa jatuh cinta. Sebab untuk mengatakan diri jatuh cinta, seseorang harus mengerti hakikat cinta yang sebenarnya.

Nah, cowok ini sebenarnya tidak memberi cap pada dirinya, “Aku ateis”. Dia beragama kok. Hanya, dia meragukan adanya Tuhan. 

Dia tidak sampai kepada pemikiran yang mendasar dan menyeluruh, bahwa segala sesuatu ada yang menciptakan. Saya tahu dari mana? Dari cerita, bahwa setiap argumen plus prilakunya tidak pernah terlihat menjalankan ibadah.

Cowok itu kuliah di jurusan fisika. Dari penjelasannya tentang teori-teori fisika ala ilmuwan atheis barat, tampak bahwa dia mendukungnya. Tentang teori penciptaan alam semesta, hukum kekekalan energi dan lainnya, dia meyakini itu semua. Bahkan dia berusaha merangkai kata sebagus mungkin untuk mendukung keyakinannya.
Bagi cewek yang lagi kasmaran ini, gaya si cowok saat sedang berargumen tentang fisika membuatnya kagum. Kelihatan cerdas. Menurut si cewek, cerdas ialah bila seseorang mampu beretorika dengan baik. 

Padahal, apalah artinya wibawa dalam berucap, kalau isinya jauh dari kebenaran. Kenal dengan aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) bernama Ulil Absor Abdalah? 

Intelektual satu ini jago menyampaikan pemikirannya. 

Sikap tubuh dan mimik wajahnya selalu kelihatan tenang. Tapi apa yang keluar dari mulutnya tak lebih dari sampah, menjauhkan muslim dari agamanya.

Begitulah seorang wanita, dominan mendengarkan kata hatinya. Dia lupa, bahwa dia bukan hanya memiliki hati. Dia juga punya akal yang seharusnya disinkronisasi dengan hati. Lalu keduanya tunduk pada Ilahi. 

Dia lalai, bahwa saat perasaan yang terdepan dalam menentukan kebenaran, diri menjadi buta. Tidak lagi jernih dalam berpikir. Kebutaan gadis ini disambut baik oleh sang cowok ateis ini. 

Tak ada keberatan dalam hatinya. Ada gadis manis senang dengannya, justru menjadi kesempatan emas yang sayang kalau dilewatkan.

Pucuk di cinta ulam pun tiba, mereka menjalin hubungan ilegal berjudul pacaran. Parahnya, hubungan itu sudah sampai tahap siaga. Dosa besar sudah di ambang mata. 

Hampir saja syetan bertepuk tangan atas ulah mereka. Bersyukur masih ada iman di dada si gadis. Hingga memberinya sinyal gelisah saat berada di mulut maksiat qubra (besar) bernama zina.

Si cewek akhirnya menyadari kesalahannya. Dia tak ingin terus diserang pesona cowok atheis. Ia ingin kembali membersihkan dirinya. Ia memohon ampun kepada Allah Swt. 

Lalu Allah Swt memberinya jalan bertemu dengan teman-teman aktivis dakwah. Mereka berbicara dari hati ke hati. Meluruskan segala yang butuh diluruskan. Mulai dari makna keimanan, konsekuensi menjadi seorang muslim, tujuan hidup hingga Islam sebagai way of life.

Pertemuan rutin itu menghasilkan sebuah komitmen bagi si cewek, yaitu bertaubat. Komitmen taubatnya, putus. Walau cowok ateis masih belum rela melepas dan berkali kali menghubungi, namun tekad si cewek sudah bulat. “Enough. Aku ingin memperbaiki diri”, ucapnya.

Tahu tidak mengapa si cowok berat melepas si gadis? 

Ternyata oh ternyata, dia belum dapat apa yang ia inginkan. Tuh kan, cowok yang maunya pacaran cuma mau senang – senang saja. Kalau belum puas, mereka akan terus memburu. Udah menikmati, si cewek dicampakkan. Habis manis sepah dibuang. Bukan begitu?

Jangan su’udzon dong, kan bisa jadi si cowok memang cinta.”(ada yang bilang begitu?). Percayalah, bahwa pacaran tak kenal kata cinta. Iya, bukan cinta, bila yang dimaksud cinta sejati dibawah naungan ridho Allah Swt. 

Maksiat hanya didasarkan pada nafsu, ingat itu. Kalau cinta, lelaki pasti menyiapkan diri dengan baik. Lalu datang ke orangtua si cewek untuk menikahi. Kamu pengen cinta sejati atau cinta nafsu?


Untung si gadis masih punya kesempatan bertaubat. Coba kalau keburu dihampiri malaikat pencabut nyawa dalam keadaan bermaksiat, bisa kacau urusannya. Kawan,satu hikmah bisa kita ambil. Yaitu, kita butuh mengenal diri kita. Kita harus paham hakikat potensi diri kita.

Salah satu potensi yang Allah berikan pada manusia ialah naluri meneruskan keturunan. Wujud dari rasa itu yaitu sifat penyayang. Seperti sifat keibuan dan kebapakan kepada anak. 

Termasuk rasa sayang kepada lawan jenis. Itulah hakikat cinta dan sayang, yaitu potensi hidup pemberian Allah Swt yang menciptakan alam semesta dan segala isinya.

Menyangkut potensi meneruskan keturunan, manusia sama dengan hewan. Kamu jangan marah dulu ya. Bukan maksud ngatain kamu hewan. Tapi, potensi itu bukan hanya Allah berikan kepada manusia, hewan juga punya. 

Mulianya manusia, Allah melebihkannya dengan akal. Kalau akal hanya milik manusia, tidak ada pada hewan. Nah, dengan akal itulah kita bisa mengatur naluri kita sesuai yang Allah Swt inginkan.

 Ingat kawan, apa yang kamu pikirkan akan menentukan prilakumu. Kalau kamu mengerti apa yang Allah mau, kamu pasti tidak sudi terjebak cinta palsu alias nafsu kayak kisah di atas tadi. 

Kalau kamu mengisi pemikiranmu dengan Islam, kamu pasti merasa rugi kehabisan waktu untuk cowok sok keren tapi nyatanya jahil kayak cowok itu. Kehormatan seorang muslim terletak pada kemampuannya menjaga hati. 

Hingga tiba saatnya hati itu dipersembahkan untuk pasangan dibawah naungan kalimat La ila haillallah.

Allah Swt berfirman :
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”(QS. Al A’raf: 179).

Bagi saya ayat ini menohok sekali. Kita disebut sesat oleh Allah kalau tidak mau tahu tentang Islam. Allah menyebut kita lebih hina dari hewan ketika diberi hati, mata dan telinga tapi semuanya tidak dimanfaatkan untuk menuju jalan kebenaran. Naudzubillah. 

Semoga kita terhindar dari predikat yang demikian.

0 Comments

Post a Comment