“Dia memang ateis, tapi aku menyukainya”, kata si cewek. Tidak
salah lagi, dia jatuh cinta dengan cowok berhaluan atheis. Lebih tepatnya, merasa jatuh cinta. Sebab untuk
mengatakan diri jatuh cinta, seseorang harus mengerti hakikat cinta yang
sebenarnya.
Nah, cowok ini sebenarnya tidak memberi cap pada dirinya, “Aku
ateis”. Dia beragama kok. Hanya, dia
meragukan adanya Tuhan.
Dia tidak sampai kepada pemikiran yang mendasar dan
menyeluruh, bahwa segala sesuatu ada yang menciptakan. Saya tahu dari mana?
Dari cerita, bahwa setiap argumen plus
prilakunya tidak pernah terlihat menjalankan ibadah.
Cowok itu kuliah di jurusan fisika. Dari penjelasannya tentang
teori-teori fisika ala ilmuwan atheis barat, tampak bahwa dia mendukungnya. Tentang teori penciptaan alam semesta, hukum kekekalan energi dan lainnya, dia
meyakini itu semua. Bahkan dia berusaha merangkai kata sebagus mungkin untuk
mendukung keyakinannya.
Bagi cewek yang lagi kasmaran ini, gaya si cowok saat sedang
berargumen tentang fisika membuatnya kagum. Kelihatan cerdas. Menurut si cewek,
cerdas ialah bila seseorang mampu beretorika dengan baik.
Padahal, apalah
artinya wibawa dalam berucap, kalau isinya jauh dari kebenaran. Kenal dengan
aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) bernama Ulil Absor Abdalah?
Intelektual
satu ini jago menyampaikan pemikirannya.
Sikap tubuh dan mimik wajahnya selalu
kelihatan tenang. Tapi apa yang keluar dari mulutnya tak lebih dari sampah,
menjauhkan muslim dari agamanya.
Begitulah seorang wanita, dominan mendengarkan kata hatinya. Dia
lupa, bahwa dia bukan hanya memiliki hati. Dia juga punya akal yang seharusnya
disinkronisasi dengan hati. Lalu keduanya tunduk pada Ilahi.
Dia lalai, bahwa
saat perasaan yang terdepan dalam menentukan kebenaran, diri menjadi buta.
Tidak lagi jernih dalam berpikir. Kebutaan gadis ini disambut baik oleh sang
cowok ateis ini.
Tak ada keberatan dalam hatinya. Ada gadis manis senang
dengannya, justru menjadi kesempatan emas yang sayang kalau dilewatkan.
Pucuk di cinta ulam pun tiba, mereka menjalin hubungan ilegal
berjudul pacaran. Parahnya, hubungan itu sudah sampai tahap siaga. Dosa besar
sudah di ambang mata.
Hampir saja syetan bertepuk tangan atas ulah mereka. Bersyukur masih ada iman di dada si gadis. Hingga memberinya sinyal gelisah saat berada di mulut maksiat qubra (besar) bernama zina.
Hampir saja syetan bertepuk tangan atas ulah mereka. Bersyukur masih ada iman di dada si gadis. Hingga memberinya sinyal gelisah saat berada di mulut maksiat qubra (besar) bernama zina.
Si cewek akhirnya menyadari kesalahannya. Dia tak ingin terus
diserang pesona cowok atheis. Ia ingin kembali membersihkan dirinya. Ia memohon
ampun kepada Allah Swt.
Lalu Allah Swt memberinya jalan bertemu dengan
teman-teman aktivis dakwah. Mereka berbicara dari hati ke hati. Meluruskan
segala yang butuh diluruskan. Mulai dari makna keimanan, konsekuensi menjadi
seorang muslim, tujuan hidup hingga Islam sebagai way of life.
Pertemuan rutin itu menghasilkan sebuah komitmen bagi si cewek, yaitu
bertaubat. Komitmen taubatnya, putus. Walau cowok ateis masih belum rela
melepas dan berkali kali menghubungi, namun tekad si cewek sudah bulat. “Enough. Aku ingin memperbaiki diri”,
ucapnya.
Tahu tidak mengapa si cowok berat melepas si gadis?
Ternyata oh
ternyata, dia belum dapat apa yang ia inginkan. Tuh kan, cowok yang maunya
pacaran cuma mau senang – senang saja. Kalau belum puas, mereka akan terus
memburu. Udah menikmati, si cewek dicampakkan. Habis manis sepah dibuang. Bukan
begitu?
Jangan su’udzon dong, kan
bisa jadi si cowok memang cinta.”(ada yang bilang begitu?). Percayalah, bahwa
pacaran tak kenal kata cinta. Iya, bukan cinta, bila yang dimaksud cinta sejati
dibawah naungan ridho Allah Swt.
Maksiat hanya didasarkan pada nafsu, ingat
itu. Kalau cinta, lelaki pasti menyiapkan diri dengan baik. Lalu datang ke
orangtua si cewek untuk menikahi. Kamu pengen cinta sejati atau cinta nafsu?
Untung si gadis masih punya kesempatan bertaubat. Coba kalau keburu dihampiri malaikat pencabut nyawa
dalam keadaan bermaksiat, bisa kacau urusannya. Kawan,satu hikmah bisa kita
ambil. Yaitu, kita butuh mengenal diri kita. Kita harus paham hakikat potensi
diri kita.
Salah satu potensi yang Allah berikan pada manusia ialah naluri
meneruskan keturunan. Wujud dari rasa itu yaitu sifat penyayang. Seperti sifat
keibuan dan kebapakan kepada anak.
Termasuk rasa sayang kepada lawan jenis.
Itulah hakikat cinta dan sayang, yaitu potensi hidup pemberian Allah Swt yang
menciptakan alam semesta dan segala isinya.
Menyangkut potensi meneruskan keturunan, manusia sama dengan hewan.
Kamu jangan marah dulu ya. Bukan maksud ngatain
kamu hewan. Tapi, potensi itu bukan hanya Allah berikan kepada manusia, hewan
juga punya.
Mulianya manusia, Allah melebihkannya dengan akal. Kalau akal hanya
milik manusia, tidak ada pada hewan. Nah,
dengan akal itulah kita bisa mengatur naluri kita sesuai yang Allah Swt
inginkan.
Ingat kawan, apa yang kamu
pikirkan akan menentukan prilakumu. Kalau kamu mengerti apa yang Allah mau,
kamu pasti tidak sudi terjebak cinta palsu alias nafsu kayak kisah di atas
tadi.
Kalau kamu mengisi pemikiranmu dengan Islam, kamu pasti merasa rugi
kehabisan waktu untuk cowok sok keren
tapi nyatanya jahil kayak cowok itu. Kehormatan seorang muslim terletak pada
kemampuannya menjaga hati.
Hingga tiba saatnya hati itu dipersembahkan untuk
pasangan dibawah naungan kalimat La ila haillallah.
Allah Swt berfirman :
Bagi saya ayat ini menohok sekali. Kita disebut sesat oleh Allah
kalau tidak mau tahu tentang Islam. Allah menyebut kita lebih hina dari hewan
ketika diberi hati, mata dan telinga tapi semuanya tidak dimanfaatkan untuk
menuju jalan kebenaran. Naudzubillah.
Semoga kita terhindar dari predikat yang
demikian.
0 Comments
Post a Comment