Wednesday, March 16, 2022

Peristiwa Politik Yang Bikin Miris

https://nasional.sindonews.com/


Beberapa peristiwa terjadi secara berurutan, dalam jarak waktu yang tak terlalu jauh. Pertama, peristiwa pembunuhan 8 orang pekerja sebuah perusahan oleh kelompok teroris di Papua.

Kedua, dirilisnya lima ciri penceramah radikal oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), hampir bersamaan dengan munculnya pesan berantai di chat whatsapp tentang daftar 180 nama penceramah radikal yang hingga kini tak ada yang mengaku mengeluarkannya.

Terakhir, penembakan oleh Densus 88 terhadap seorang dokter bernama Sunardi di Sukoharjo yang diduga teroris. Tak ada kaitan antara peristiwa-peristiwa ini. Tapi ketiga peristiwa itu secara alami terkait sendiri di dalam benakku.

Siapa sebenarnya yang teroris?

Kenapa kelompok bersenjata di Papua yang jelas-jelas membunuh dan menebar ketakutan di Papua tak secara masif disebut media sebagai teroris dan diburu densus 88 hingga tuntas?

Mengapa justru seorang yang baru terduga terlibat aksi terorisme, yang dikenal masyarakat sebagai orang baik, yang secara fisik lemah, sudah berumur, justru disasar bahkan hingga kehilangan nyawa?

Mengapa pula para penceramah diberi cap negatif dengan istilah radikal?

Ah, berbagai peristiwa politik negeri ini memang penuh ironi, bikin miris. Menyedihkan. Menakutkan. Sudah susah dengan urusan ekonomi, masyarakat harus terkena beban mental dengan kehadiran semacam densus 88.

Baiklah, di akhir aku ingin mengutip pernyataan seorang pengacara sekaligus Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat, Chandra Purna Irawan, SH, MH, terkait penembakan Dokter Sunardi oleh Densus 88.

PERTAMA, Bahwa sekalipun polisi diberi kewenangan untuk menembak dari peraturan Kapolri, namun bukan berarti bebas menembak sampai mati. Terduga itu tidak untuk dimatikan, tapi dilumpuhkan.

Negara ini merupakan negara hukum, dan tugas polisi adalah menegakkan hukum. Dan hukum itu pun ada asas praduga tak bersalah. walaupun melawan dengan hendak melarikan diri, bukan berarti lantas menembak dengan alasan tersebut.

Polisi seharusnya bukan orang yang baru memegang senjata, jika langsung ditembak mati saya kira semua orang bisa melakukannya tanpa melalui pendidikan khusus;

KEDUA, Bahwa apabila terdapat pelanggaran hukum yang dilakukan terduga tersebut, seharusnya dapat diproses sebagaimana ketentuan pidana yang belaku.

Proses hukum tersebut merupakan cerminan dari asas praduga tak bersalah dan memberikan kesempatan bagi pihak yang dituduh untuk melakukan pembelaan secara adil dan berimbang (due process of law) dan bahwa aparat dibolehkan untuk menggunakan kekuatan atau kekerasan, terutama dengan senjata api, sebagai upaya terakhir.

Itu pun harus merupakan situasi luar biasa untuk melindungi keselamatan dirinya dan atau orang lain, misalnya celurit atau pedang hampir menghunus anggota badan.

Apabila kondisi hal demikian tidak terjadi, maka dapat dinilai sebagai tindakan tanpa hukum atau extra judicial killing;

KETIGA, Bahwa apabila indikasi Extra judicial killing terjadi, maka merupakan suatu pelanggaran hak hidup seseorang yang telah dijamin oleh UUD 1945 dan UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia seperti hak hidup dan hak atas pengadilan yang adil hal itu merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi apapun keadaannya;

KEEMPAT, Bahwa Perkara ini telah menjadi perhatian publik, agar diperoleh keadilan publik maka perlu KOMNAS HAM RI segera membentuk tim independen pencari fakta dan harus transparan mengungkap kejadian tersebut, terutama menyingkap penyebab terjadinya penembakan.

Jika aparat yang dilapangan dan/atau memberikan perintah yang terlibat dalam insiden itu melanggar protokol tentang penggunaan kekuatan dan senjata api, mereka harus diungkap secara terbuka dan diadili sesuai dengan hukum.

Semoga setelah pekatnya gelap, cahaya akan datang, memberi keadilan dan kesejahteraan bagi semua umat manusia.

0 Comments

Post a Comment