Wednesday, January 19, 2022

Sanksi Untuk Predator Anak Herry Wirawan, Cocoknya Apa Ya? (Bag. 2)

https://www.topbusiness.id/

sambungan....

Perdebatan Tentang Sanksi Bagi Predator Anak

Pendapat berbeda datang dari Komnas HAM. Ketua Komnas HAM Taufan Damanik berkata bahwa pihaknya tidak mendukung hukuman mati untuk HW. Alasannya seperti yang disebutkan Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, hukuman tersebut bertentangan dengan HAM.

Beka mengatakan, Indonesa sudah ikut aturan ala PBB tentang anti penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi. Pihaknya lebih menekankan pemberian perhatian pada korban.

Harus dipastikan korban dilindungi dan dipulihkan oleh negara. Diberi jaminan pendidikan dan jaminan pelayanan kesehatan, serta dilindungi dari potensi stigma negatif masyarakat.

Pendapat serupa disampaikan pihak Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) melalui pengacara publiknya Nixon Randy. Menurutnya tuntutan hukuman mati tidak cocok untuk HW.

Sebab hal itu justru menghalangi hak korban mendapat kompensasi. Sama dengan hukuman kebiri. Menurutnya, seorang predator seks tak akan berubah dengan cara seperti itu.

Nixon yakini kekerasan seksual bisa dilakukan selain menggunakan alat kelamin. Dengan pemikirannya, predator seks tetap bisa melakukan hal-hal yang bernuansa kekerasan seksual.

Saran Nixon, mending pelaku kejahatan seksual diberi sanksi publik. Semisal memberinya tanda pengenal khusus saat kembali ke masyarakat. Jadi status mantan narapidananya mudah dikenali dan berefek jera.

Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel malah menganggap tuntutan jaksa pada terdakwa HW membingungkan. Yaitu saat hukuman mati disandingkan dengan kebiri kimiawi.

Setahu dia, kebiri di Indonesia baru dilakukan setelah seseorang menyelesaikan masa hukuman pokoknya. Agar setelah bebas si mantan narapidana tak lagi membahayakan lingkungannya.

Kalau hukuman pokoknya adalah hukuman mati, untuk apa lagi dikebiri?

Benar juga ya.

Kalaupun hukuman kebiri jadi tuntutan alternatif, ini pun aneh bagi Reza. Menurutnya antara hukuman mati dan kebiri itu timpang. Hukuman mati paling berat, namun gantinya jauh lebih ringan.

***

Bisa dipastikan perdebatan semacam ini akan terus subur . Sebab suara manusia jadi hal paling pokok sebagai sumber pengambilan keputusan dalam sistem demokrasi sekuler saat ini.

Sayangnya, perdebatan para makhluk Allah swt yang punya keterbatasan ini nihil solusi. Sejak negeri ini mengukuhkan demokrasi sekuler sebagai sistem pemerintahan, sudah berapa peraturan yang diproduksi?

Untuk permasalahan perempuan dan anak setidaknya ada UU PKDRT serta UU Perlindungan Anak (PA) yang sudah lama berlaku. Namun kasus terkait terus meningkat.

Yang terbaru, sub peraturan khusus kampus seperti Permendikbud Ristek No.30 Tahun 2021 digadang-gadang bisa mengatasi pelecehan seksual di kampus. Namun sama sekali tak menghentikan kejahatan semisal.

Sebentar lagi RUU TPKS hendak disahkan. RUU ini pro kontranya bertahun-tahun. Padangan terkuat, isinya justru semakin menegaskan corak liberal negeri ini. Aku bersama orang-orang yang yakin, undang-undang TPKS kelak takkan jadi solusi. Bahkan menambah masalah. Biangnya frasa “sexual consent”.

bersambung...

Baca Juga: 

Sanksi Untuk Predator Anak Herry Wirawan, Cocoknya Apa Ya? (Bag. 1)

Sanksi Untuk Predator Anak Herry Wirawan, Cocoknya Apa Ya? (Bag. 3)

0 Comments

Post a Comment