https://www.topbusiness.id/ |
sambungan....
Perdebatan Tentang Sanksi Bagi Predator
Anak
Pendapat berbeda datang dari Komnas HAM. Ketua
Komnas HAM Taufan Damanik berkata bahwa pihaknya tidak mendukung hukuman mati
untuk HW. Alasannya seperti yang disebutkan Komisioner Komnas HAM Beka Ulung
Hapsara, hukuman tersebut bertentangan dengan HAM.
Beka mengatakan, Indonesa sudah ikut aturan
ala PBB tentang anti penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi. Pihaknya
lebih menekankan pemberian perhatian pada korban.
Harus dipastikan korban dilindungi dan dipulihkan oleh negara. Diberi jaminan pendidikan dan jaminan pelayanan kesehatan, serta dilindungi dari potensi stigma negatif masyarakat.
Pendapat serupa disampaikan pihak Lembaga
Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) melalui pengacara publiknya Nixon Randy.
Menurutnya tuntutan hukuman mati tidak cocok untuk HW.
Sebab hal itu justru menghalangi hak
korban mendapat kompensasi. Sama dengan hukuman kebiri. Menurutnya, seorang
predator seks tak akan berubah dengan cara seperti itu.
Nixon yakini kekerasan seksual bisa
dilakukan selain menggunakan alat kelamin. Dengan pemikirannya, predator seks tetap
bisa melakukan hal-hal yang bernuansa kekerasan seksual.
Saran Nixon, mending pelaku kejahatan
seksual diberi sanksi publik. Semisal memberinya tanda pengenal khusus saat
kembali ke masyarakat. Jadi status mantan narapidananya mudah dikenali dan
berefek jera.
Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri
Amriel malah menganggap tuntutan jaksa pada terdakwa HW membingungkan. Yaitu
saat hukuman mati disandingkan dengan kebiri kimiawi.
Setahu dia, kebiri di Indonesia baru
dilakukan setelah seseorang menyelesaikan masa hukuman pokoknya. Agar setelah
bebas si mantan narapidana tak lagi membahayakan lingkungannya.
Kalau hukuman pokoknya adalah hukuman
mati, untuk apa lagi dikebiri?
Benar juga ya.
Kalaupun hukuman kebiri jadi tuntutan
alternatif, ini pun aneh bagi Reza. Menurutnya antara hukuman mati dan kebiri
itu timpang. Hukuman mati paling berat, namun gantinya jauh lebih ringan.
***
Bisa dipastikan perdebatan semacam ini akan
terus subur . Sebab suara manusia jadi hal paling pokok sebagai sumber pengambilan
keputusan dalam sistem demokrasi sekuler saat ini.
Sayangnya, perdebatan para makhluk Allah
swt yang punya keterbatasan ini nihil solusi. Sejak negeri ini mengukuhkan
demokrasi sekuler sebagai sistem pemerintahan, sudah berapa peraturan yang
diproduksi?
Untuk permasalahan perempuan dan anak
setidaknya ada UU PKDRT serta UU Perlindungan Anak (PA) yang sudah lama
berlaku. Namun kasus terkait terus meningkat.
Yang terbaru, sub peraturan khusus kampus
seperti Permendikbud Ristek No.30 Tahun 2021 digadang-gadang bisa
mengatasi pelecehan seksual di kampus. Namun sama sekali tak menghentikan
kejahatan semisal.
Sebentar lagi RUU TPKS hendak disahkan. RUU
ini pro kontranya bertahun-tahun. Padangan terkuat, isinya justru semakin
menegaskan corak liberal negeri ini. Aku bersama orang-orang yang yakin,
undang-undang TPKS kelak takkan jadi solusi. Bahkan menambah masalah. Biangnya frasa
“sexual consent”.
bersambung...
Baca Juga:
Sanksi Untuk Predator Anak Herry Wirawan, Cocoknya Apa Ya? (Bag. 1)
Sanksi Untuk Predator Anak Herry Wirawan, Cocoknya Apa Ya? (Bag. 3)
0 Comments
Post a Comment