https://www.hipwee.com/ |
Hari keluarga nasional 2020 disambut
BKKBN dengan menggencarkan program Keluarga Berencana (KB). Tampaknya
peningkatan kelahiran terus menjadi momok menakutkan bagi pemerintah. Apalagi
di musim pandemi yang melemahkan perekonomian. Sempat ada sikap ‘menyalahkan
pandemi’. Gara-gara ada covid-19 masyarakat enggan ke fasilitas kesehatan.
Akibatnya angka pengguna konstrasepsi menurun. Efek berikutnya, berbagai daerah melaporkan peningkatan angka
kehamilan. (https://health.detik.com/29/06/2020)
Di tengah gencarnya program KB oleh
BKKBN, sejumlah hal menjadi ganjil bila dipikirkan.
1. Ada fenomena pasangan yang sulit memiliki
keturunan.
https://sarawakvoice.com/ |
Sadarkah pemerintah, kesulitan memiliki keturunan pada sebagian
masyarakat jauh lebih bermasalah dibandingkan angka kelahiran yang dianggap
masalah. Di tahun 2015, Dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi Budi
Wikeko pernah menyebutkan bahwa dari 40
juta pasangan yang mengalami masa subur, 10-15 persen diantaranya mengalami
infertilitas atau gangguan kesuburan berefek sulit memiliki keturunan.(https://www.cnnindonesia.com/23/12/2015).
Di tahun 2018, dokter ahli kandungan
dan kehamilan dr Beeleonie, BmedSc. Mengatakan bahwa status tidak subur pada
sekitar 25 persen pasangan terjadi di Indonesia. Dijelaskan oleh Dokter spesialis
akupuntur medik RS Pondok Indah, dr Handaya Dipanegara MKes SpAK, bahwa saat
ini, kasus infertilitas menjadi masalah kompleks di bidang kesehatan
reproduksi. https://health.detik.com/19
Des 2018
Tampak dari tahun ke tahun kasus infertilitas bertambah. Jumlahnya
bukan hitungan ratusan atau ribuan, tapi jutaan. Akibat kasus infertilitas,
dengan sendirinya jumlah potensi kelahiran berkurang, bahkan jumlah
pengurangannya cukup besar. Masalah ini dipicu setidaknya oleh dua hal.
Pertama, adanya masalah berkaitan dengan kesuburan baik pada isteri maupun
suami. Kedua, adanya keengganan pada pasangan suami isteri untuk memiliki
keturunan.
Inilah yang luput dari perhatian pemerintah. Solusi bagi
permasalahan pasangan yang kurang subur telah ditangani oleh pihak swasta. Atas
nama penggunaan teknologi yang canggih, upaya memiliki keturunan dengan jalan
medis seperti bayi tabung, berbiaya mahal. Biaya berkisar antara puluhan hingga
ratusan juta rupiah. Efeknya, sesiapa yang minim finansial tak berkesempatan
ikut mencoba cara tersebut.
Sedangkan masalah pasangan yang memang enggan memiliki keturunan
dipicu oleh pemahaman mereka tentang kehidupan. Diantara mereka ada yang
berpendapat mengejar karir atau pendidikan lebih layak didahulukan.
Sehingga
mereka tersibukkan dengan aktivitas tersebut. Saat kesadaran itu datang, usia
wanitanya pun telah menua dan masa emas kesuburan telah berlalu. Paling maksimal
pasangan semacam ini memiliki anak satu orang.
Pemahaman keliru tersebut tak lepas dari kenyataan semakin
tingginya biaya hidup dan meningkatnya persaingan di dunia kerja. Pada akhirnya
memiliki anak pun ada pula yang memandangnya sebagai tambahan beban. Baik
menambah beban aktivitas maupun biaya hidup. Bahkan dianggap mengurangi
produktifitas. Meski jumlah pasangan dengan pemikiran dangkal seperti itu belum
banyak di negeri kita, namun dengan kondisi politik dan ekonomi yang semakin
carut marut, mereka berpotensi bertambah.
Di barat dan beberapa negara maju di Asia seperti Jepang dan Korea,
keengganan pasangan memiliki keturunan dengan alasan karir dan pendidikan telah
meresahkan. Keberadaan mereka semakin mengancam terjadinya lost generation
di negara-negara tersebut.
Seperti yang
terjadi di Amerika Serikat, tingkat kelahiran bayi pada 2018 jatuh ke level
terendah dalam 31 tahun terakhir. Salah satu laporan pemerintah Inggris juga
mengungkapkan tingkat kelahiran di Inggris dan Wales di tahun yang sama
mencapai rekor terendah. https://www.krjogja.com/25/10/2019
Lantas dimana peran pemerintah untuk mengatasi persoalan rakyatnya
ini?
2. Rakyat dianggap beban,
padahal rakyat sumber utama pendapatan negara
Pernyataan pemerintah
aneh dan memprihatinkan. Mereka selalu mengulang alasan gencarnya program pengurangan
angka kelahiran yakni menambah beban negara. Kepala BKKBN dr Hasto Wardoyo,
SpOG(K) mengatakan bahwa peningkatan angka kehamilan yang tidak direncanakan berpotensi
menimbulkan masalah, seperti peningkatan beban BPJS Kesehatan, kenaikan angka
aborsi, hingga stunting. (https://health.detik.com/29/06/2020)
Sebagian kecil masyarakat miskin memang
ditanggung iuran BPJS-nya oleh negara. Namun sumber utama keuangan negara bukan
dari kantong para pejabat, melainkan dari rakyat yang membayar pajak. Bukankah
berarti pada hakikatnya rakyat sendiri yang mensubsidi sesamanya?
Bukankah
sejak awal BPJS digadang-gadang sebagai solusi jaminan kesehatan bagi
masyarakat?
Namun mengapa seolah rakyat dilarang menggunakan jasa BPJS, dengan
menyebut angka kelahiran yang meningkat bakal membebani BPJS?
Bukankah beban yang sebenarnya bagi
negara adalah utang yang menumpuk beserta bunganya?
Bukankah yang menguras
habis ‘isi kantong’ negara adalah para koruptor rakus pencuri uang negara?
Bukankah
yang mengurangi potensi pendapatan negara adalah keberadaan perusahaan swasta
dan asing yang mengambil keuntungan dari kekayaan alam negeri kita?
Sementara
yang merasakan efek buruk beban negara ini bukan pula para pejabat. Mereka bisa
hidup mewah. Rakyatlah yang merasakan buruknya kondisi ekonomi negeri ini.
3. Keyakinan agama dianggap menghalangi
program KB
https://medium.com/ |
Kepala Dinas
Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB) Kota Surakarta, Purwanti
mengatakan bahwa diantara kendala pelaksanaan program KB adalah kepercayaan
masyarakat terkait mitos banyak anak banyak rejeki, serta keyakinan terkait
peraturan agama masing masing penduduk. (https://rri.co.id/18/03/2019)
Pernyataan bahwa
kepercayaan banyak anak banyak rezeki adalah mitos sesungguhnya telah
melecehkan ajaran agama. Konsep rezeki secara jelas dibahas dalam sumber-sumber
hukum agama Islam. Di dalamnya Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan telah
menjamin rezeki seluruh makhluk di muka bumi. Firman Allah swt: “Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit
dan dari bumi?” Katakanlah: “Allah.” (QS. Saba’: 24)
“Dan tidak ada suatu
binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia
mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya
tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”(QS. Hud: 6)
“Dan janganlah kamu
membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki
kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa
yang besar.”
(QS Al-Isra: 31)
Rasulullah saw pun
menyukai jumlah umatnya yang banyak. Sabda Rasulullah saw: “Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai
anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu
dihadapan para Nabi nanti pada hari kiamat.”
(Shahih Riwayat Ahmad)
Jaminan rezeki dari Allah swt bukan
sekedar janji, namun dilengkapi dengan aturan Islam yang menjamin terwujudnya
kehidupan sejahtera. Aturan Islam mengenai politik, ekonomi, pendidikan dan
lain-lain bersatu padu menciptakan masyarakat yang berkualitas berapapun
besarnya jumlah mereka.
Inilah yang belum diterapkan saat ini.
Sistem kapitalis sekuler yang rusak dan merusak telah memporak-porandakan
perekonomian. Lantas jumlah penduduk yang meningkat dijadikan kambing hitam
terhadap permasalahan yang ada. Selayaknya kita bersyukur atas bertambahnya
jumlah umat ini. Merekalah generasi yang kelak ikut memperjuangkan Islam dan
mengisi peradaban masa depan
Andai aturan Islam terwujud, maka biaya pendidikan tak akan mahal, sehingga siapapun bisa mendapatkan pendidikan gratis sampai perguruan tinggi sehingga bisa lahir Erdogan yg lain dari Indonesia
ReplyDeleteIya mbak,, kita rindu ya sama aturan Islam..
Delete