gaya sehari-hari jaga bimbel |
Syukur tiada terhingga, di usia lima setengah
tahun pernikahan saya, badai persoalan yang melanda bisa terselesaikan berdua.
Lebai ya pakai kata badai, hehe. Habis
perempuan sih ya baperan. Menghadapi masalah kecil saja dianggap besar. Semisal
suami yang nggak punya panggilan spesial buat saya. Di awal nikah tu saya
anggap masalah.
Disaat teman-teman dipanggil suaminya
dengan sebutan “Ayang”, “Sayang” dll, saya dipanggil dek. Kadang juga suami
nyuruh sesuatu tanpa menyebut dek atau nama sekalipun, baper abis. Tapi sekali
lagi bersukur, karena masalah yang kami hadapi berdua tak sampai melibatkan
orang lain.
Salah satu kunci selesainya masalah
keluarga saya adalah sosok pribadi suami sendiri. Sebagai suami sekaligus
sahabat saya, ia cukup baik. Sehingga rugi rasanya saya jika mempermak masalah
kecil jadi besar. Rugi rasanya kehilangan suami kayak suami saya, jika sampai
rumahtangga bubar cuma gara-gara masalah sepele. Jadi dalam beberapa hal,
kemarahan saya redam dengan mengingat kebaikan-kebaikan suami saya.
Emang ada ya rumahtangga yang rusak
karena masalah sepele? Ya ada. Saya baru-baru ini mendengar ada istri yang
malas membereskan rumah, trus suami memarahi dengan kasar, akhirnya berujung
pada perpisahan.
Sayang kan, masalah seperti itu kecil. Masih
bisa diselesaikan asal dengan kepala dingin dan sama-sama mengaku salah lalu
memperbaiki. Namun justru keduanya memilih untuk selesai. Emang pernikahan itu permainan.
Kembali ke sosok pribadi baik dari suami
saya. Selama lima tahun setengah saya hidup bersama suami, setidaknya ada empat
karakter yang saya kenali dan kagumi dari suami saya.
Mandiri
Sejak ta’arufan, karakter mandiri dari
suami saya sudah terlihat. Seperti, membiayai pernikahan kami dengan uang hasil
kerjanya sendiri. Dimana saat ini masih banyak pria yang ingin menikah tapi
membebani orang tua. Mereka menuntut orang tua menyediakan uang puluhan juta
buat biaya pesta.
Dalam proses persiapan menikah suami saya
pun berproses menyiapkan tempat tinggal dan kebutuhan untuk kehidupan kami
nantinya. Ia mengontrak rumah di daerah tempat saya biasa berkegiatan dengan
jamaah pengajian. Tujuannya agar saya kelak mudah dalam berkegiatan. Yang ini
buat saya terharu loh. So sweet banget menurut saya.
Sebenarnya kemandirian suami saya sudah
mulai terbentuk sejak kecil. Di usia lima tahun ia sudah ditinggal wafat si bapak.
Ibu mengurus enam orang anak sendirian. Sehingga keluarga saling bahu membahu
menjalani hidup.
Si ragil pun (suami saya) ikutan
merasakan susahnya hidup. Pergi dan pulang sekolah jalan kaki dengan jarak yang
cukup bikin kaki pegal. Pernah ikut ibu cari kangkung ke sawah buat dijual.
Kalau teman-temannya beli pistol-pistolan, suami saya merakit pistol mainannya
dari kayu. Jajan seadanya, nggak banyak menuntut sama ibu. Sebab cukup mengerti
keadaan.
Di usia dini suami saya juga sudah belajar
berdagang. Ceritanya dulu suami saya jago main kelereng. Hingga kelerengnya
terkumpul banyak. Lalu ia jual kelereng itu ke teman-temannya.
Kemandirian terbawa hingga besar. Suami
saya berani melangkah untuk kuliah mesti tanpa bayang-bayang kecukupan biaya.
Modal keyakinan akan harapan masa depan yang cerah. Selama kuliah tinggal di
mesjid dan mengajar les privat. Kurang lebih sejak semester kedua kuliah sudah
membiayai kuliah sendiri. Hingga menjadi satu-satunya sarjana dalam keluarga. Kenekatan
suami awalnya diragukan. Tapi sekarang disukuri dan dibanggakan.
Kreatif
lagi masang lemari buku portable |
Suami saya orang yang solutif. Selalu
punya banyak ide untuk memecahkan masalah. Senang mencoba hal-hal baru.
Sehingga wawasan suami saya cukup luas.
Dalam hal berekonomi, suami saya punya
prinsip jadi pengusaha lebih baik dari bekerja dengan orang lain. Alasannya,
ada peluang punya pendapatan besar dan bisa mengatur waktu sendiri.
Sejak menikah cukup banyak peluang usaha
dicoba oleh suami saya. Sembari menjalani bisnis bimbingan belajarnya, suami
saya pernah coba jualan sabun cuci piring. Dirasa kurang prospek pindah ke
jualan gamis.
Pernah juga jualan tinta spidol, bisnis
penyediaan jasa kelengkapan guru, jual pisang coklat hingga percetakan. Yang
masih dijalani karena lumayan penghasilannya adalah percetakan. Kedepan ada
rencana berkebun kurma.
proses selesaikan cetakan |
mengemas cetakan |
Ada juga rencana suami saya menjalani
bisnis penerbitan buku. Ia memberi motivasi saya menulis buku. Tulisan saya itu
yang ingin ia terbitkan. Bahkan dijanjikan honor sejak tulisan selesai meski
belum terjual. Sayangnya tawaran yang keren ini belum terjalani. Uff. Dasar ya
diriku ini, hehe.
Dalam kehidupan sehari-hari suami saya juga
kreatif. Misalnya, pernah dengan dana yang minim bisa menyediakan lemari baju
buat saya. Caranya, beli triplek terus rakit sendiri. Biar pindah-pindah rumah
nggak repot, beli lemari buku dan lemari baju portable. Barang di rumah kami
yang berat cuma tempat tidur, buku dan komputer, hehe.
Belum bisa beli kulkas, saya dibelikan
termos es. Jadi beli es batu trus letakkan deh buah atau jus buah dan sayuran
biar segar dimasak besok, hehe.
Selain itu, kami biasa berdiskusi untuk
mencarikan jalan keluar bagi masalah kawan-kawan. Baik itu masalah interaksi
dalam rumah tangga maupun masalah ekonomi. Sembari bantu cari solusi bagi
kawan-kawan, kami juga memetik hikmah dari masalah mereka. Hal itu pun akhirnya
memperkaya cara kami dalam menyikapi masalah.
Dari suami saya belajar untuk berani
mencoba hal-hal baru. Asal dengan perhitungan, bukan langkah serampangan,
mencoba hal-hal baru mengasyikkan. Resiko itu pasti ada dan memang harus siap
untuk dihadapi. Mana ada langkah tanpa resiko, ya kan.
Suami saya bercita-cita pensiun muda.
Seperti ajaran Mario Teguh, pensiun di usia 40 tahun. Menikmati hidup mapan
dalam kondisi masih fresh buat terus menambah dan menebar ilmu. Insya allah.
Amin kan ya sahabat.
Pembelajar
lagi di toko buku |
Ini yang jadi rahasia suami saya sehingga
terbentuk jadi mandiri dan kreatif. Yup, suami saya seorang yang senang
belajar. Baik membaca buku maupun mengamati sekitar.
Ia sejak kecil sudah juara kelas. Dan hal
ini tak terlepas dari doa ibu mertua yang sering memberi minum anak-anak dengan
air yang diberi istilah air yasin. Yaitu air minum yang sudah dibacakan surat
yasin.
Suami saya juga suka berdiskusi. Ia
membuka diri pada obrolan apapun yang bermanfaat bagi kehidupan. Hal ini membuat suami terkesan berteman
hanya dengan orang-orang tertentu.
Sebenarnya bukan pilih-pilih teman. Hanya
saja sudah terbentuk habit pada dirinya, ngobrol itu hal-hal yang berisi. Kalau
dianggapnya sebuah obrolan cuma berisi misalnya sekedar candaan, atau ngarul
ngidul nggak jelas, biasanya suami saya bakal meninggalkan obrolan itu.
Cenderung Pada Kebaikan
dipijetin sama ibu tercinta (kebalik ni kayaknya hehe) |
Bila Rasul mengingatkan kita agar utamanya
memilih pasangan yang baik agamanya, maka suami saya cukup memilikinya. Untuk
dirinya, insya allah istiqamah dalam sholatnya. Menjalankan kewajiban belajar
bahasa arab dan mengkaji Islam. Serta berusaha menjalankan kewajiban pribadi
lainnya.
Bagi keluarga, suami saya perhatian
dengan ibu dan saudara-saudaranya. Suami saya selalu memikirkan bagaimana agar
hidup keluarganya bahagia. Dalam hal ekonomi, berusaha membantu memudahkan
keluarga. Baru-baru ini suami
saya berniat membelikan keponakan mesin jahit, supaya keponakan bisa punya
keahlian menjahit.
Untuk saya, suami mampu menjadi pendidik
dan pelindung. Suami saya mengajarkan saya bahasa arab. Senag berbagi ilmu yang
dimiliknya kepada saya. Juga memberi saya kebebasan untuk beraktivitas bersama
jamaah pengajian, baik dalam belajar Islam maupun mengajak orang lain mengkaji
Islam. Suami saya pun bersedia berkorban untuk tidak saya layani dalam
menyiapkan makan bila saya sedang padat kegiatan bersama jamaah.
Tak segan suami saya membantu meringankan
tugas rumah tangga. Semisal membantu membuang sampah, mencuci kain pel dan mengelap
kaca. Lemah lembut dalam menasehati dan berusaha maksimal memenuhi kebutuhan
saya sesuai kemampuannya.
***
memori akad nikah |
Saya berusaha mengimbangi kelebihan suami
saya dengan terus belajar. Supaya saya bisa menjadi teman diskusi yang asyik,
mudah diajari dan bisa menyenangkan suami dalam melayani dan mengurus rumah.
***
Buat para jomblowati, gimana tertarik
dengan karakter suami kayak si dia? Kamu bisa mengenali latar belakang seorang
lelaki sejak awal melalui komunikasi dengannya dan cerita orang-orang
disekitarnya.
Cari tahu, sudahkah ia mandiri dalam
pembiayaan hidupnya? Bagaimana pengalaman hidupnya, apa saja pekerjaan yang
sudah pernah ia coba? Bagaimana pemahaman Islamnya? Sholatnya?
Saat ia datang ke rumahmu bersama
orangtuanya, bagaimana sikapnya kepada orangtuanya dan orangtuamu? Bila ia
punya adik, tanya tentang kesehariannya? Sembari berdoa minta petunjuk pada
Allah swt, insya allah diberi jodoh terbaik olehNya. Amin
makasih sharingnya ya mbak, saya InsyaAllah menikah juga tahun ini, jadi kebayang kira2 wanita itu pengennya memiliki suami seperti apa,
ReplyDeletekurang lebih saya juga sebelas duabelas sama suami mbak, hahah *ngaku2
mandiri sejak kecil, karena bukan dari keluarga berada, dulu umur 5 tahun aja saya udah ikut ke ke ladang panen cabai, rimbang, terong, buat dijual di pasar,,, sekarang saja yang sudah lumayan, alhamdulillah dulu juga selalu juara kelas
semoga pernikahannya kelak samara.. amin
DeleteSemoga aku diberi-Nya jodoh (Lagi) yang istiqomah ibadahnya dan bagus akhlaknya
ReplyDeleteamiin
DeleteMasyaallah, mirip ni dgn suamiku. Bungsu dr 4 bersaudara, yatim di usia 7th dan piatu di usia 16th.
ReplyDeleteSemoga kita senantiasa menjd keluarga yg sakinah, mawaddah wa rahmah ya��
amiin
Deleteihihi, senyam senyum sendiri baca ini. :D
ReplyDeletehehe
Delete