Sunday, April 29, 2018

4 Karakter Suami Idaman


gaya sehari-hari jaga bimbel
Syukur tiada terhingga, di usia lima setengah tahun pernikahan saya, badai persoalan yang melanda bisa terselesaikan berdua.

Lebai ya pakai kata badai, hehe. Habis perempuan sih ya baperan. Menghadapi masalah kecil saja dianggap besar. Semisal suami yang nggak punya panggilan spesial buat saya. Di awal nikah tu saya anggap masalah.

Disaat teman-teman dipanggil suaminya dengan sebutan “Ayang”, “Sayang” dll, saya dipanggil dek. Kadang juga suami nyuruh sesuatu tanpa menyebut dek atau nama sekalipun, baper abis. Tapi sekali lagi bersukur, karena masalah yang kami hadapi berdua tak sampai melibatkan orang lain.

Salah satu kunci selesainya masalah keluarga saya adalah sosok pribadi suami sendiri. Sebagai suami sekaligus sahabat saya, ia cukup baik. Sehingga rugi rasanya saya jika mempermak masalah kecil jadi besar. Rugi rasanya kehilangan suami kayak suami saya, jika sampai rumahtangga bubar cuma gara-gara masalah sepele. Jadi dalam beberapa hal, kemarahan saya redam dengan mengingat kebaikan-kebaikan suami saya.

Emang ada ya rumahtangga yang rusak karena masalah sepele? Ya ada. Saya baru-baru ini mendengar ada istri yang malas membereskan rumah, trus suami memarahi dengan kasar, akhirnya berujung pada perpisahan.

Sayang kan, masalah seperti itu kecil. Masih bisa diselesaikan asal dengan kepala dingin dan sama-sama mengaku salah lalu memperbaiki. Namun justru keduanya memilih untuk selesai. Emang pernikahan itu permainan.

Kembali ke sosok pribadi baik dari suami saya. Selama lima tahun setengah saya hidup bersama suami, setidaknya ada empat karakter yang saya kenali dan kagumi dari suami saya.

Mandiri
Sejak ta’arufan, karakter mandiri dari suami saya sudah terlihat. Seperti, membiayai pernikahan kami dengan uang hasil kerjanya sendiri. Dimana saat ini masih banyak pria yang ingin menikah tapi membebani orang tua. Mereka menuntut orang tua menyediakan uang puluhan juta buat biaya pesta.

Dalam proses persiapan menikah suami saya pun berproses menyiapkan tempat tinggal dan kebutuhan untuk kehidupan kami nantinya. Ia mengontrak rumah di daerah tempat saya biasa berkegiatan dengan jamaah pengajian. Tujuannya agar saya kelak mudah dalam berkegiatan. Yang ini buat saya terharu loh. So sweet banget menurut saya.

Sebenarnya kemandirian suami saya sudah mulai terbentuk sejak kecil. Di usia lima tahun ia sudah ditinggal wafat si bapak. Ibu mengurus enam orang anak sendirian. Sehingga keluarga saling bahu membahu menjalani hidup.

Si ragil pun (suami saya) ikutan merasakan susahnya hidup. Pergi dan pulang sekolah jalan kaki dengan jarak yang cukup bikin kaki pegal. Pernah ikut ibu cari kangkung ke sawah buat dijual. Kalau teman-temannya beli pistol-pistolan, suami saya merakit pistol mainannya dari kayu. Jajan seadanya, nggak banyak menuntut sama ibu. Sebab cukup mengerti keadaan.

Di usia dini suami saya juga sudah belajar berdagang. Ceritanya dulu suami saya jago main kelereng. Hingga kelerengnya terkumpul banyak. Lalu ia jual kelereng itu ke teman-temannya.

Kemandirian terbawa hingga besar. Suami saya berani melangkah untuk kuliah mesti tanpa bayang-bayang kecukupan biaya. Modal keyakinan akan harapan masa depan yang cerah. Selama kuliah tinggal di mesjid dan mengajar les privat. Kurang lebih sejak semester kedua kuliah sudah membiayai kuliah sendiri. Hingga menjadi satu-satunya sarjana dalam keluarga. Kenekatan suami awalnya diragukan. Tapi sekarang disukuri dan dibanggakan.

Kreatif
lagi masang lemari buku portable
Suami saya orang yang solutif. Selalu punya banyak ide untuk memecahkan masalah. Senang mencoba hal-hal baru. Sehingga wawasan suami saya cukup luas.

Dalam hal berekonomi, suami saya punya prinsip jadi pengusaha lebih baik dari bekerja dengan orang lain. Alasannya, ada peluang punya pendapatan besar dan bisa mengatur waktu sendiri.

Sejak menikah cukup banyak peluang usaha dicoba oleh suami saya. Sembari menjalani bisnis bimbingan belajarnya, suami saya pernah coba jualan sabun cuci piring. Dirasa kurang prospek pindah ke jualan gamis.

Pernah juga jualan tinta spidol, bisnis penyediaan jasa kelengkapan guru, jual pisang coklat hingga percetakan. Yang masih dijalani karena lumayan penghasilannya adalah percetakan. Kedepan ada rencana berkebun kurma.
proses selesaikan cetakan
mengemas cetakan

Ada juga rencana suami saya menjalani bisnis penerbitan buku. Ia memberi motivasi saya menulis buku. Tulisan saya itu yang ingin ia terbitkan. Bahkan dijanjikan honor sejak tulisan selesai meski belum terjual. Sayangnya tawaran yang keren ini belum terjalani. Uff. Dasar ya diriku ini, hehe.

Dalam kehidupan sehari-hari suami saya juga kreatif. Misalnya, pernah dengan dana yang minim bisa menyediakan lemari baju buat saya. Caranya, beli triplek terus rakit sendiri. Biar pindah-pindah rumah nggak repot, beli lemari buku dan lemari baju portable. Barang di rumah kami yang berat cuma tempat tidur, buku dan komputer, hehe.

Belum bisa beli kulkas, saya dibelikan termos es. Jadi beli es batu trus letakkan deh buah atau jus buah dan sayuran biar segar dimasak besok, hehe.

Selain itu, kami biasa berdiskusi untuk mencarikan jalan keluar bagi masalah kawan-kawan. Baik itu masalah interaksi dalam rumah tangga maupun masalah ekonomi. Sembari bantu cari solusi bagi kawan-kawan, kami juga memetik hikmah dari masalah mereka. Hal itu pun akhirnya memperkaya cara kami dalam menyikapi masalah.

Dari suami saya belajar untuk berani mencoba hal-hal baru. Asal dengan perhitungan, bukan langkah serampangan, mencoba hal-hal baru mengasyikkan. Resiko itu pasti ada dan memang harus siap untuk dihadapi. Mana ada langkah tanpa resiko, ya kan.
Suami saya bercita-cita pensiun muda. Seperti ajaran Mario Teguh, pensiun di usia 40 tahun. Menikmati hidup mapan dalam kondisi masih fresh buat terus menambah dan menebar ilmu. Insya allah. Amin kan ya sahabat.

Pembelajar
lagi di toko buku
Ini yang jadi rahasia suami saya sehingga terbentuk jadi mandiri dan kreatif. Yup, suami saya seorang yang senang belajar. Baik membaca buku maupun mengamati sekitar.

Ia sejak kecil sudah juara kelas. Dan hal ini tak terlepas dari doa ibu mertua yang sering memberi minum anak-anak dengan air yang diberi istilah air yasin. Yaitu air minum yang sudah dibacakan surat yasin.

Suami saya juga suka berdiskusi. Ia membuka diri pada obrolan apapun yang bermanfaat bagi kehidupan. Hal ini membuat suami terkesan berteman hanya dengan orang-orang tertentu.

Sebenarnya bukan pilih-pilih teman. Hanya saja sudah terbentuk habit pada dirinya, ngobrol itu hal-hal yang berisi. Kalau dianggapnya sebuah obrolan cuma berisi misalnya sekedar candaan, atau ngarul ngidul nggak jelas, biasanya suami saya bakal meninggalkan obrolan itu.

Cenderung Pada Kebaikan
dipijetin sama ibu tercinta (kebalik ni kayaknya hehe)

Bila Rasul mengingatkan kita agar utamanya memilih pasangan yang baik agamanya, maka suami saya cukup memilikinya. Untuk dirinya, insya allah istiqamah dalam sholatnya. Menjalankan kewajiban belajar bahasa arab dan mengkaji Islam. Serta berusaha menjalankan kewajiban pribadi lainnya.

Bagi keluarga, suami saya perhatian dengan ibu dan saudara-saudaranya. Suami saya selalu memikirkan bagaimana agar hidup keluarganya bahagia. Dalam hal ekonomi, berusaha membantu memudahkan keluarga. Baru-baru ini suami saya berniat membelikan keponakan mesin jahit, supaya keponakan bisa punya keahlian menjahit.

Untuk saya, suami mampu menjadi pendidik dan pelindung. Suami saya mengajarkan saya bahasa arab. Senag berbagi ilmu yang dimiliknya kepada saya. Juga memberi saya kebebasan untuk beraktivitas bersama jamaah pengajian, baik dalam belajar Islam maupun mengajak orang lain mengkaji Islam. Suami saya pun bersedia berkorban untuk tidak saya layani dalam menyiapkan makan bila saya sedang padat kegiatan bersama jamaah.

Tak segan suami saya membantu meringankan tugas rumah tangga. Semisal membantu membuang sampah, mencuci kain pel dan mengelap kaca. Lemah lembut dalam menasehati dan berusaha maksimal memenuhi kebutuhan saya sesuai kemampuannya.

***
memori akad nikah
Saya berusaha mengimbangi kelebihan suami saya dengan terus belajar. Supaya saya bisa menjadi teman diskusi yang asyik, mudah diajari dan bisa menyenangkan suami dalam melayani dan mengurus rumah.

***
Buat para jomblowati, gimana tertarik dengan karakter suami kayak si dia? Kamu bisa mengenali latar belakang seorang lelaki sejak awal melalui komunikasi dengannya dan cerita orang-orang disekitarnya.

Cari tahu, sudahkah ia mandiri dalam pembiayaan hidupnya? Bagaimana pengalaman hidupnya, apa saja pekerjaan yang sudah pernah ia coba? Bagaimana pemahaman Islamnya? Sholatnya?

Saat ia datang ke rumahmu bersama orangtuanya, bagaimana sikapnya kepada orangtuanya dan orangtuamu? Bila ia punya adik, tanya tentang kesehariannya? Sembari berdoa minta petunjuk pada Allah swt, insya allah diberi jodoh terbaik olehNya. Amin

8 Comments:

  1. makasih sharingnya ya mbak, saya InsyaAllah menikah juga tahun ini, jadi kebayang kira2 wanita itu pengennya memiliki suami seperti apa,

    kurang lebih saya juga sebelas duabelas sama suami mbak, hahah *ngaku2

    mandiri sejak kecil, karena bukan dari keluarga berada, dulu umur 5 tahun aja saya udah ikut ke ke ladang panen cabai, rimbang, terong, buat dijual di pasar,,, sekarang saja yang sudah lumayan, alhamdulillah dulu juga selalu juara kelas

    ReplyDelete
  2. Semoga aku diberi-Nya jodoh (Lagi) yang istiqomah ibadahnya dan bagus akhlaknya

    ReplyDelete
  3. Masyaallah, mirip ni dgn suamiku. Bungsu dr 4 bersaudara, yatim di usia 7th dan piatu di usia 16th.
    Semoga kita senantiasa menjd keluarga yg sakinah, mawaddah wa rahmah ya��

    ReplyDelete
  4. ihihi, senyam senyum sendiri baca ini. :D

    ReplyDelete