Thursday, December 01, 2016

Nasib Guru Memprihatinkan


#MyTeacherMyHero, inilah hastag di twitter yang baru-baru ini berada pada urutan teratas. Artinya, sedang dibahas hangat peran guru sebagai pahlawan pendidikan. Apa jadinya sebuah negeri tanpa guru? Bisa-bisa negeri tersebut akan binasa, karena tidak ada orang-orang berpendidikan yang siap mengurusinya. Kesadaran akan pentingnya peran guru dalam mendidik generasi sepertinya tidak dirasakan oleh pemerintah kita.  Buktinya, hingga saat ini nasib guru tak kunjung terjamin kesejahteraannya.

Sudah berbulan-bulan, 730 guru honorer yang terdiri dari guru SD, SMP dan SMA di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara tidak menerima gaji lagi dari Pemerintah Kabupaten Simalungun, sejak Juni 2016 lalu. Melalui wadah Forum Guru Honorer yang dibentuk, mereka mengadukan kezhaliman yang mereka alami kepada DPRD, Dinas Pendidikan, bahkan sudah sampai kepada pihak DPR RI, namun sampai saat ini tak satupun yang sanggup membantu menyelesaikan masaah tersebut. 

Kalaupun ada yang menerima honor, ialah sebagian guru SD dan SMP. Mereka menerima gaji dua ratus ribu rupiah hingga tiga ratus ribu rupiah setiap bulan yang diambil dari dana sekolah. Padahal selain mengajar mereka juga bertugas sebagai operator sekolah. Sebagai operator sekolah, para guru SD itu seringkali bekerja lembur, pulang hingga pukul 5 sore, karena harus mengurusi Data Pokok Pendidikan siswa sekolah.

Meski belum menerma gaji, namun para guru ini masih mengandalkan hati mereka. Tak tega mereka melihat murid-murid kehilangan kesempatan mengenyam pendidikan. Mereka tetap mengabdikan diri, mengajar murid-murid disana dalam keadaan serba kekurangan. Ketidakpedulian pemerintah daerah Kabupaten Simalungun ditunjukkan oleh sikap JR Saragih, Bupati Simalungun saat ini yang menolak untuk mengakomodir permasalahan guru tersebut. Menurutnya, permasalahan ini merupakan perkara yang ditingggalkan mantan pejabat Bupati Simalungun, Binsar Situmorang dan DPRD Kabupaten yang membuat APBD 2016.

Sungguh naïf, menolak bertanggungjawab terhadap pendidikan di wilayah kerjanya hanya karena masalah teknis. Seharusnya Pak Bupati berfikir tentang kelanjutan pendidikan anak-anak. Kalau guru tidak digaji, bagaimana mereka bisa tetap melanjutkan tugas mereka? Lalu bagaimana nasib pendidikan anak-anak tersebut kalau tidak ada guru yang mengajar mereka?

Apalagi, sebenarnya wilayah Simalungun masih membutuhkan lebih banyak guru dari yang sudah ada. Guru yang mengajar di SD N 096777 Sigodang, Kabupaten Simalungun menuturkan bahwa hingga sekarang di sekolah tempat mereka mengajar masih membutuhkan tenaga guru. Dan rupa-rupanya kondisi serupa dirasakan pula di berbagai negeri lainnya di Indonesia. Nasib guru yang memprihatinkan dan fasilitas pendidikan yang kurang, terjadi di banyak daerah. 

Seperti yang pernah diungkapkan oleh guru teladan dari Nusa Tenggara Timur dihadapan Presiden Jokowi, tentang minimnya fasilitas pendidikan di daerah mereka. Presiden Jokowi hanya menanggapi dengan kalimat-kalimat klise. Beliau berpesan, agar para guru bekerja keras untuk menghadapi segala rintangan dan kesulitan yang dihadapi.

Pemerintahan demokrasi kapitalis telah lalai bertanggungjawab menyejahterakan rakyat, termasuk di dalamnya menyejahterakan para guru. Jasa para guru tak benar-benar dihargai. Para pejabat yang duduk di kursi kekuasaan tidak menyadari bahwa mereka bisa sampai “ke atas” berawal dari peran para guru di sekolah. 

Begitulah, demokrasi telah menciptakan para pejabat individualis, yang berfikir bahwa jabatan adalah sarana memuaskan syahwat dunia. Sehingga, ketika demokrasi memberi peluang mereka untuk leluasa menetapkan aturan berdasarkan akal mereka sediri, maka aturan yang dibuat sama sekali tidak dimaksudkan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan mereka sendiri dan para pengusaha yang membantu mereka duduk di kursi kekuasaan.

Maksimalnya peran negara dalam mengurus rakyat, berawal dari filosofi hidup yang diemban oleh negara. Ketika sebuah negara ada karena asas akidah Islam, dan ia berfungsi untuk melaksanakan aturan Allah swt secara kaffah, maka kehidupan pun menjadi berkah. Islam telah memerintahkan kepada pemimpin negara untuk mengurus rakyatnya secara sungguh-sungguh. Rasulullah saw bersabda: “Imam atau penguasa adalah pengatur/pengurus umat, dan dia akan bertanggung jawab akan apa yang diurusnya (HR. Muslim).

Dalam hal pendidikan, Islam mewajibkan negara untuk menyediakan fasilitas pendidikan terbaik, kurikulum terbaik termasuk memberi gaji kepada para pendidik secara layak yang dilakukan secara merata di seluruh wilayah negara Khilafah.

Demikianlah, para guru honorer terus memperjuangkan nasib mereka. Semoga segera menemukan titik terang. Semoga tuntutan mereka segara dijawab oleh pemerintah. Namun, ketika berharap masalah pendidikan yang ada dapat selesai secara tuntas, maka pelaksanaan syariah dalam naungan Khilafahlah solusinya.

0 Comments

Post a Comment