“Ambilkan
dulu minum”, Darwin meminta pada istrinya dengan wajah dan suara yang datar.
Terdengar biasa
sebenarnya. Tapi tidak bagi Kia. Kia merasa suara itu menyinggungnya. Beberapa
hari menjalani biduk rumahtangga, sudah tiga kali suaminya memintanya melakukan
sesuatu. Tanpa ucapan minta tolong. Tanpa memanggilnya dengan sebutan apapun.
Dek. Kia. Tak ada.
Sejenak Kia lupa
sosok humoris suaminya. Ia melihat sisi yang berbeda. Suaminya dingin. Kia tersinggung. Dibawakannya segelas air yang
diminta dengan wajah cemberut. Darwin menatap sekilas, lalu kembali tenggelam
dengan aktivitasnya di depan komputer.
***
Keesokan harinya…
“Adek jadi nitip
infaknya?”
Kia hanya
menggeleng tanpa menatap wajah Darwin. Dibiarkannya suaminya berlalu pergi ke
mesjid menunaikan salat jum’at tanpa senyum khas istri saliha. Ia tahu pahala
Allah terletak pada sedapnya wajah istri dipandang suami. Ia paham ridha Allah
ada bila hati suaminya merasa tentram terhadapnya. Ia mengerti tak boleh
berlama-lama diam. Namun semua ilmu Islam yang pernah ia pelajari dikalahkan
oleh amarah. Tak tampak pada dirinya cermin seorang pengemban dakwah yag selama
ini ia sandang.
Kia kecewa, kenapa Darwin
bersikap seolah tanpa masalah. Padahal ia sedang merasa tersakiti. Bukankah
sebaik-baik lelaki adalah yang paling baik akhlaknya kepada istrinya? Sikap
baik seperti apa itu. Menyuruh tanpa menyebut nama. Tanpa kata tolong.
***
Malam hari pukul 10.00 wib
Darwin yang baru saja tiba di rumah melihat selembar kertas tergeletak
di atas meja. Masih menenteng dua bungkus mie rebus ia membaca tulisan yang ada
di kertas itu.
Beberapa hari ini Kia merasa abang nggak sayang sama Kia. Kia tidak
bahagia bang. Apa sebaiknya kita pisah aja ya. Abang mau kita pisah aja ya. Ya
sudahlah kalau memang begitu.
Diam-diam, Kia yang berbaring di samping meja dengan memejamkan
mata menyadari kehadiran Darwin. Ia menahan tangis, agar wajah dan tubuhnya yang
masih berbalut mukenah itu tidak membongkar isi hatinya yang sedang kalut. Astagfirullah.
Dia meragukan curahan hatinya dalam kertas itu. Ia tidak sungguh-sungguh ingin
berpisah. Tapi tahukah Darwin isi hatinya? Apakah suaminya akan bersikap
seperti yang diinginkannya?
***
Keesokan paginya..
Siapa yang mau berpisah? Tapi kalau memang nggak bahagia, baiklah
nggak papa.
“Apa maksudnya ini?” Kia bertanya soal surat balasan dari Darwin
“Yaa, kita punya waktu tiga bulan untuk merenung. Setelah tiga
bulan baru diputuskan.”
“Kia nggak mau pulang ke rumah mamak. Kia mau nginap di indekos Ros
aja”.
“Ini uang makan selama tiga bulan”. Darwin menyodorkan uang tiga
juta rupiah kepada Kia”
Kia tertunduk lemas. Bukan ini yang diinginkannya. Kenapa suaminya
tidak mengerti. Sejenak keduanya terpaku dalam diam. Perlahan Kia terisak.
“Kia sayang sama abang. Kia nggak mau berpisah sama abang. Kia
cuma mau dihormati. Dihargai. Kenapa abang nggak manggil nama Kia saat minta
diambilkan minum? Kenapa cuma karena makanan keasinan marah? Kenapa nggak
memaklumi istri yang punya kekurangan mudah lupa? Apa abang nggak mau berubah?
Apa abang memang mau berpisah dengan Kia?”
Kia terus menangis sesenggukan dihadapan suaminya. Darwin hanya
diam. Tak sepatahpun mengeluarkan suara. Sampai detik Kia mengira suaminya
serius ingin berpisah, ia sudah mendarat dipelukan suaminya. Darwin memeluk
erat Kia dan membelai rambutnya.
“Dek nanti kita makan bakso yuk. Mau bakso apa? Bakso granat? Bakso
urat? Bakso raksasa? Hehe”
***
Sejak peristiwa itu, Darwin bersikap seperti yang disukai istrinya.
Sebenarnya keduanya bersiap dengan ilmu sebelum memasuki gerbang rumahtangga.
Tapi praktek ternyata lebih berat dari sekedar teori. Terus belajar adalah yang
terbaik.
0 Comments
Post a Comment