Wednesday, August 03, 2016

Tingginya Angka Perceraian

abiummi.com
Menikah merupakan fase hidup yang pasti ingin dilalui semua orang. Hubungan pernikahan itu sehat. Dengan menikah kebutuhan biologis seseorang dapat tersalurkan dengan legal dihadapan Sang Pencipta maupun masyarakat. Ianya merupakan cara terbaik untuk melestarikan kehidupan umat manusia. 

Namun jika pernikahan yang dirajut atas nama cinta itu berakhir ditengah jalan, sungguh menyedihkan. Itulah kiranya yang kebanyakan terjadi pada masyarakat saat ini. Angka perceraian melesat naik melebihi angka perceraian di tahun-tahun sebelumnya.

      Kementerian Agama mencatat setiap tahunnya telah terjadi 212 ribu kasus perceraian di Indonesia. "Angka tersebut jauh meningkat dari 10 tahun yang lalu, yang mana jumlah angka perceraian hanya sekitar 50.000 per tahun," kata Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar di Jakarta, http://www.antaranews.com/berita/395654/ada-212-ribu-perceraian-setiap-tahunnya.

      Penyebab perceraian itu sendiri bermacam-macam. Pertama, masalah ekonomi. Timbulnya persoalan ada dipicu oleh kondisi suami yang minim dalam pemenuhan kewajiban nafkah pada istri. Sehingga istri merasa tidak puas dan memilih untuk bercerai. 

Pada pasangan yang sang istri seorang wanita karir, terkadang menimbulkan sikap kurang menghormati dari istri kepada suami. Apalagi jika gaji si istri lebih besar dari gaji suami. Sensitifitas suami akan lebih besar. Jika sedikit saja terdeteksi sikap istri kurang menghargai suami, diminta mengambilkan minum tidak mau misalnya, lama kelamaan masalah yang tampaknya kecil itu pecah. Hingga berujung pada perceraian.

      Kedua, masalah perselingkuhan. Kesetiaan dianggap sebagai simbol cinta dan penghargaan bagi seseorang pada pasangannya. Jika diantara pasangan suami istri ada Pendamping Idaman Lain (PIL), maka biasanya pernikahan itu rentan dengan perceraian. Sangat sedikit seseorang yang mau memaafkan pasangannya saat terbukti berselingkuh.    

      Ketiga, masalah kecil yang dibesar-besarkan. Tidak jarang pula pernikahan berakhir disebabkan masalah kebiasaan yang tidak cocok, pemikiran yang berbeda, tiba-tiba saja hambar karena kurang komunikasi dan lain sebagainya.  Diperkirakan hampir 80 persen yang bercerai merupakan rumah tangga usia muda.

Untuk mengantisipasi semakin meningkatnya angka perceraian, Kemenag mengadakan
kursus calon pengantin (suscatin) melalui Kantor Urusan Agama (KUA), http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/09/15/3/181697/Kursus-Calon-Pengantin-Jurus-Tekan-Angka-Perceraian. Suscatin diberikan kepada mereka yang hendak menikah. 

              Pada pembekalan yang diberikan oleh petugas KUA ini diharapkan para calon pengantin memiliki gambaran dan bekal yang cukup sebelum menjalani pernikahan. Dirjen Bina Masyarakat (Bimas) Islam. Kemenag Abdul Djamil mengatakan pembekalan yang diberikan meliputi pemahaman bahwa pernikahan adalah bersatunya dua individu yang berbeda pikiran dan pandangan sehingga dibutuhkan saling pengertian dan kesabaran dalam menyikapi perbedaan tersebut.

            Kita tentu menyambut baik usaha pemerintah dalam mengatasi peningkatan angka perceraian. Setidaknya ini bentuk perhatian pemerintah pada masyarakat ditengah banyaknya kebijakan pemerintah lainnya yang tidak berpihak kepada rakyat. 

                 Namun masih layak dipertanyakan keefektifan suscatin dalam mengatasi persoalan ini. Mungkinkah kursus singkat sebagai bekal pernikahan yang akan dijalani seumur hidup itu cukup?

Sebuah pernikahan ibarat perjalanan yang ditempuh dengan jarak yang sangat jauh. Menghabiskan waktu yang lama yaitu seumur hidup. Bila saja seseorang berencana mengadakan perjalanan jarak jauh untuk berlibur atau berhaji misalnya, bisa dipastikan akan mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam perjalanan sedini mungkin. 

Mulai dari mempelajari bahasa warga setempat, persiapan dana, tata aturan berkehidupan di lingkungan tersebut dan lain sebagainya.

Seharusnya demikian dengan pernikahan. Segala sesuatu yang diperlukan dalam pernikahan haruslah dipersiapkan. Ilmu berumahtangga paling utama dipersiapkan. Hal tersebut tentang hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga. Mengetahui peran suami istri sesuai tuntunan agama meminimalisir terjadinya konflik. 

Sebaliknya akan timbul saling pengertian diantara pasangan. Ilmu membuat seseorang lebih siap menghadapi segala sesuatu yang akan terjadi. Karena ia sudah tau harus berbuat apa. Dana juga perlu diperhitungkan dalam rencana berumahtangga. Bukan sekedar untuk pesta. Tetapi sebagai bekal suami memenuhi kewajiban nafkah pada istri dan anak-anaknya.

            Selain itu motif pernikahan menjadi hal penting untuk diperhatikan. Sejauh ini alasan banyak orang menikah karena “cinta”. Cinta yang bermakna suka penampilannya, suka gayanya, banyak uangnya, tampak perhatian, selama pacaran dianggap ada kecocokan dan lain sebagainya. Banyak juga yang menikah karena terpaksa. 

           Disebabkan sudah berbadan dua. Malah kalau dikalangan artis pernikahan terlihat seperti permainan. Bagaimana tidak. Ada yang menikah baru beberapa bulan sudah memilih bercerai. Ada yang sudah bercerai sebanyak dua kali dalam usia kurang dari tiga puluh tahun. 

         Jarang ada yang menganggap menikah itu ibadah, ingin menggenapi separuh agama atau ingin memiliki keluarga yang diridhai Allah SWT. Padahal cinta yang akan dibangun diatas pondasi agama lebih kuat dibanding sekedar bermodal cinta.

            Masyarakat yang mampu berfikir kearah menyiapkan pernikahan jauh sebelum terjadi adalah masyarakat yang dekat dengan agama. Sebaliknya suasana yang terasa di masyarakat justru dekat dengan kemaksiatan. Remaja senangnya bergaul bebas, hura-hura dan melakukan aktivitas-aktivitas yang tidak bermanfaat seperti menikmati hiburan musik, film, sinetron dan lain sebagainya. 

              Kurikulum pendidikan tidak memberi ruang yang lebar bagi individu masyarakat untuk memahami agama sedemikian dalam termasuk tentang pernikahan. Alhasil keluarga-keluarga yang terbentuk menjadi rentan konflik bahkan perceraian.

Islam memandang bahwa perceraian merupakan perbuatan yang dibenci Allah namun diperbolehkan. Asalkan alasannya tepat sesuai syariat. Pendalaman kasus perceraian harus dilakukan. 

Perceraian  bukan hanya karena sudah tidak cocok, tidak cinta, perselingkuhan, hingga motif ekonomi di mana sang suami memiliki penghasilan lebih rendah dibandingkan sang istri. Jika suami atau istri bermaksiat kepada Allah, dan ketika diberi nasehat tidak mau, maka kiranya perceraian menjadi jalan terbaik.  

Maka jika masyarakat Islam dalam institusi Khilafah mampu terwujud, dipastikan angka perceraian dapat ditekan seminimal mungkin. Dimana negara akan menerapkan sistem pendidikan Islam, sistem tata pergaulan Islam dan lain sebagainya yang memungkinkan masyarakat memahami Islam secara sempurna. Dan mendorong masyarakat mempersiapkan pernikahan sebaik mungkin sesuai syariat Islam. Wallahu a’lam bishawab   

Artikel lama yang dimuat di Harian Waspada Medan 13 Oktober 2013

0 Comments

Post a Comment