Setujukah anda bila
kotoran manusia atau pup disamakan dengan pelacuran? Analogi ini diutarakan Guru
Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Professor Dr. Sarlito Wirawan Sarwono
di sebuah surat kabar nasional. Beliau beranggapan kedua hal tersebut sama
haramnya. Pup itu najis dan tidak layak bertebaran dimana - mana di balik
lemari, di kolong tempat tidur atau di bawah karpet.
Maka pup harus
dilokalisasi di tempat yang namanya kakus atau toilet. Kalau bisa kakus itu
dibuat seindah dan sebersih mungkin agar kesan joroknya hilang. Demikian dengan
pelacuran yang haram. Agar pelacur tidak berkeliaran atau beroperasi kemana –
mana maka mereka harus dilokalisasi.
Maksudnya pak professor mau bilang, kita
terima saja keberadaan praktek seks bebas atau perzinahan sebagaimana kita
menerima keberadaan pup dalam kehidupan kita. Kalau dilokalisasi justru
menguntungkan negara. Keberadaan mereka dapat menambah pemasukan dana
pembangunan. Ini pernah dipraktekkan oleh Gubernur Ali Sadikin dan Pemerintahan
Malaysia dan pak Sarlito mengapresiasi langkah tersebut. Selain itu di tempat
lokalisasi para pekerja seks lebih bisa di kontrol kesehatannya. Jadi penularan
penyakit kelamin dapat diminimalisir, begitu barangkali maksudnya.
Tanggapan pertama,
benarkah pup sama dengan pelacuran? Pup itu bagian dari hidup manusia. Secara
alami dia akan ada akibat kerja organ tubuh kita. Jadi keberadaan pup memang
harus ada. Jika tubuh kita tidak bekerja sebagaimana mestinya untuk
mengeluarkan pup, maka beresiko kematian. Demikian pak professor juga ingin katakan
kalau pelacuran itu bagian dari hidup kita yang tidak bisa dihilangkan.
Keberadaannya sama dengan pup, harus ada. Namun apakah jika pelacuran tidak ada
akan mengancam nyawa manusia? Tentu tidak. Jadi tidak tepat menganalogikan pup dengan
pelacuran.
Masalah sebenarnya adalah bahwa fakta
menunjukkan kalau berbagai usaha untuk menghilangkan pelacuran tidak
menunjukkan hasil. Berbagai aktivitas pelatihan dan penyadaran bagi penjaja
seks sangat banyak, baik oleh pemerintah (panti – panti rehabilitasi yang
diselenggarakan oleh Dinas Sosial), maupun oleh Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) (kebanyakan organisasi wanita dan/atau keagamaan).tapi tidak berhasil.
Jadi pak professor berkesimpulan pelacuran memang sulit atau mungkin tidak bisa
dihapuskan. Jadi lebih baik ambil manfaatnya saja.
Pelacuran hanya salah satu penyakit
dimasyarakat yang belum bisa terobati. Masih banyak penyakit lainnya, seperti
perjudian, narkoba, minuman keras, pembunuhan, pencurian dan lain sebaginya.
Kalaulah jalan pikiran pak professor kita ikuti, lalu kita lokalisasi semua
prilaku tersebut. Apa yang akan terjadi? Tentu kehidupan kita akan lebih rusak
lagi dari sekarang. Bila kita urai satu persatu faktor penyebab pelacuran,
niscaya kita akan menemukan bahwa semua bermuara pada kebijakan pemerintah.
Pemerintahan yang baik sebenarnya bisa mengatasi masalah tersebut.
Banyak sekali faktor penyebab
perempuan terjebak dalam praktek pelacuran, diantaranya kesulitan ekonomi, gaya
hidup, frustasi ditinggal pacar dan lain sebagainya. Faktor ekonomi yaitu kesulitan
mendapatkan pekerjaan yang layak ditengah biaya kebutuhan hidup yang tinggi.
Tanpa bekal keimanan yang kuat, akhirnya ada perempuan yang rela menjual diri
demi menutupi biaya sehari – hari.
Dengan alasan ekonomi juga ada suami yang
tega menjual istrinya untuk melacur, ayah menghantarkan sendiri anaknya kepada
mucikari untuk dipekerjakan dan ibu bagai hilang belas kasih menyuruh anaknya
melakukan hubungan seks dengan om – om nakal. Maka pemerintah harus tanggap
menyediakan untuk masyarakat lapangan pekerjaan yang dapat menopang kehidupan
sehari – harinya. Selain itu pemerintah juga harus menekan tingginya biaya
hidup. Tetapi sepertinya ini sulit dilakukan pemerintah kita. Justru pemerintah
dalam waktu dekat berencana menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang
mengakibatkan harga – harga barang kebutuhan semakin meningkat.
Pengusaha Kecil
dan Menengah pun harus bersiap untuk gulung tikar kalau nantinya terkena imbas
kenaikan harga BBM. Alih – alih memperbaiki ekonomi masyarakat, kebijakan
pemerintah malah semakin menyengsarakan. Kreatifitas masyarakat menciptakan
lahan pekerjaan bagi mereka saya kira tak sanggup mengimbangi kesulitan yang
ada. Karena daya jangkaunya tak seberapa dibanding jika pemerintah yang memberi
jalan keluar.
Faktor gaya hidup yaitu kebiasaan
masyarakat untuk bergaul bebas antara lelaki dan perempuan. Dalam hal ini media
dan lingkungan masyarakat sangat berperan dalam menciptakan stimulus ke arah
seks bebas serta membentuk gaya hidup materialistis. Untuk faktor ini, yang
bersedia menjual diri bukan orang – orang yang butuh uang sekedar untuk makan.
Tetapi untuk membeli rumah mewah, mobil, ponsel berkelas, pakaian dan barang
lainnya. Untuk pergi ke salon, rumah perawatan kulit dan sebagainya. Kesemuanya
itu butuh “pengorbanan” dalam mendapatkannya. Bila seks bebas sudah dianggap
biasa, ditambah keinginan manusia untuk terus menambah kepuasan akan barang dan
jasa tak terbendung, mana bisa pelacuran dihapuskan.
Diperlukan
penguatan pondasi keimanan dari dalam diri lewat ranah pendidikan di rumah
maupun sekolah dan penghapusan rangsangan media agar masyarakat tidak
terjerumus ke dalam pelacuran. Namun pendidikan di sekolah minim pengaruhnya
terhadap anak didik, termasuk ilmu agama. Ilmu di sekolah dipahami anak sebagai
teori yang berguna untuk jawaban saat ujian. Hasilnya sebagian anak sekolah
lebih suka tawuran, gaul bebas dan narkoba.
Pendidikan di rumahlah yang sepertinya
lebih bisa diharapkan. Untuk itu para orangtua harus meningkatkan kualitas daya
didiknya dalam mengalahkan pengaruh buruk media pada anak – anak. Dengan
paradigma berfikir kapitalistik, saya kira tidak ada rencana media untuk tidak
menampilkan hal – hal berbau unsur pornografi. Masalahnya lagi, sebagian orang
tua turut terpengaruh media hingga sulit jadi benteng keluarga dari prilaku
seks bebas.
Saya bukan bermaksud mengamini
pendapat pak professor bahwa dengan banyaknya faktor yang ada pelacuran tak
bisa dihapuskan. Tetapi menawarkan solusi kepada pemerintah dalam mengatasi
persoalan tersebut. Yang sanggup merubah keadaan adalah kebijakan pemerintah.
Jadi pemerintah jangan enggan merujuk pada kitab suci Al Qur’an dalam mencari
solusi. Karena manusia adalah makhluk ciptaan Allah. Al Qur’an dan As sunnah diturunkan
sebagai pedoman hidup manusia. Jadi sepantasnyalah kita merujuk pada Al Qur’an
dan As sunnah.
Islam menjawab persoalan ekonomi
secara rinci. Ada sejumlah dalil yang mendorong pemerintah bertanggungjawab
penuh mensejahterakan rakyatnya. Diantaranya Rasulullah Saw bersabda: Al Imaamu
ra’in wa huwa mas uulun ‘an raiyyatihi: Pemimpin itu adalah penggembala dan dia
akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya (HR Bukhari).
Pemimpin
dalam Islam tidak akan membiarkan harta kekayaan alam sendiri ditentukan
mekanisme pasar yang sebenarnya adalah permainan para kapitalis. Beliau tidak
akan menjual harta milik umum kepada individu apalagi asing, Allah melarang hal
tersebut. Dalam Islam juga tidak boleh mengembangkan ekonomi non riil dimana
hal tersebut menjadikan harta kekayaan terkonsentrasi dikalangan segelintir
orang berduit. Dengan keimanannya, pemimpin dalam Islam akan berusaha
menciptakan mekanisme distribusi kekayaan yang ada secara adil dan merata.
Disadari oleh beliau bahwa tugas – tugas kenegaraannya akan dipertanggungjawabkan
di hadapan Allah SWT kelak.
Pemimpin ideal dalam Islam juga akan
menjalankan sistem pendidikan berbasis akidah Islam yang membentuk kepribadian
Islam dalam diri seorang muslim. Akan dipahamkan batasan bergaul antara pria
dan wanita demi menjaga kehormatan mereka. Media diatur sedemikian rupa hingga
bekerja hanya untuk menciptakan suasana keimanan dalam masyarakat dan
menjauhkan dari perbuatan maksiat.
Terakhir Islam punya sistem sanksi yang
berlaku adil dan tegas kepada seluruh warga negara. Jika sistem pendidikan dan
ekonomi telah dijalankan dengan baik ternyata masih ada yang berkeinginan
melacurkan diri. Maka sanksi akan dikenakan, yaitu sanski jilid bagi yang belum
menikah dan rajam bagi yang sudah menikah sebagaimana sanski perzinahan.
Penutup
Semua solusi yang ditawarkan tidak
dapat terlaksana dalam sistem demokrasi saat ini. Karena demokrasi menolak
agama dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka bila kita benar –
benar ingin keluar dari masalah pelacuran, mau tidak mau harus mengganti sistem
demokrasi sekuler dengan sistem Islam atau Khilafah. Mari berjuang. Wallahu a’lam
(posting tulisan lama, opini yang dimuat di Harian Waspada)
0 Comments
Post a Comment