Kenangan pada Februari 2015
Aceh memang tetanggaan dengan Medan. Tapi
saya tak pernah berkesempatan ke sana. Punya sih teman yang tinggal di sana,
tapi tetap belum berkesempatan ke tanah rencong itu.
Pernah suatu kali diajak teman berlibur ke kampungnya di Aceh. Ntah apa nama daerahnya, saya lupa. Tempat itu indah. Ada sebuah danau dikelilingi pepohonan hijau. Warna hijau pepohonan menghampiri air danau. Hingga hijau pula warna air danaunya.
Lagi-lagi, saya tak berkesempatan kesana.
Masalahnya, berat di ongkos hehe. Wah maklumlah, hari ini segalanya butuh uang.
Kebutuhan makan hingga kesehatan, kalau mau high quality, harus merogoh
kantong dalam-dalam.
Kalau saya, kayaknya kantong udah hampir bolong, tapi yang high quality nggak dapat juga, hehe. Begitulah kenyataan hidup di zaman kapitalis, harus pandai mengatur prioritas pengeluaran, kalau nggak mau terlilit hutang.
Rasa senangku bukan hanya karena melihat
langsung kota Banda Aceh. Tapi lebih dari itu, siapa tak senang menjadi saksi
sejarah berkumpulnya tokoh-tokoh Muslimah Nusantara dan perwakilan Malaysia
dalam rangka mendakwahkan Islam bertema “Akhiri Serangan Terhadap Islam”?
Wah belum tentu dua kali deh dapat
kesempatan kayak gini. Acara ini dilatarbelakangi oleh merebaknya isu negatif
tentang Syariah Islam dalam pengaturannya terhadap urusan perempuan.
Biang keladinya siapa lagi, tentu kaum
yang tidak menyenangi Islam. Mereka bilang, aturan berkerudung dan berjilbab
berarti mengekang kebebasan kaum muslimah.
Perintah untuk mentaati suami, dibilang
diskriminasi. Tugas sebagai ibu dan pengatur rumahtangga dianggap merendahkan
martabat dan menganggu eksistensi perempuan.
Lalu, yang diinginkan
oleh barat, perempuan menanggalkan identitas jilbab dan kerudungnya. Mereka
mau, perempuan dibebaskan dari kewajiban taat pada suami dan terjun ke
ranah publik, semata mengejar uang demi kenikmatan jasadiyah.
Realitanya, sudah banyak kini perempuan
yang merasa kebahagiaannya terletak pada karir di luar rumah. Para muslimah
banyak yang malu bila tak bekerja dan menyebut dirinya sebagai ibu rumahtangga.
Padahal justru ketika perempuan berbondong-bondong berkarir keluar rumah, kehormatan
mereka terancam, dilecehkan bahkan diperkosa.
Islam adalah aturan dari Pencipta manusia
yang dapat melindungi kaum perempuan. Sebelum Islam datang, bangsa Arab malu
memiliki anak perempuan. Bahkan kelahiran anak perempuan disambut dengan
penguburan dirinya.
Setelah Islam datang, derajat perempuan
terangkat. Ia bukan kehinaan, tapi dia adalah pencetak generasi masa depan dan
manajer rumahtangganya. Sebenarnya acara ini hanya pemanasan.
Yang lebih spektakuler adalah acara
Konferensi Perempuan Internasional yang diselenggarkan muslimah Hizbut Tahrir
di lima negara, Turki, Inggris, Palestina, Tunisia dan Indonesia.
Acara yang telah diadakan pada 28
Februari lalu bertema Perempuan dan Syariah, Memisahkan Antara Fiksi dan
Realita. Alhamdulillah berkat pertolongan Allah semua acara yang
diselenggarakan dapat berjalan lancar tanpa gangguan berarti.
Tak banyak memang yang bisa saya
ceritakan tentang Aceh. Karena saya kesana bukan untuk jalan-jalan. Mungkin
sedikit kesan, di kota Banda Aceh tak banyak terpajang foto wanita, apalagi
tanpa hijab di setiap baliho yang ada di jalan-jalan.
Nyaman melihatnya. Beda dengan di Medan
tempat saya tinggal, yang di hampir tiap sudut kota ada iklan bergambar
perempuan tak berhijab. Itu menyakiti hati saya.
Tsumma alhamdulillah, mengikuti acara
Konferensi Perempuan dan Syariah di Aceh, ilmu saya bertambah. Lalu menjadi
modal dalam menyebarkan Islam setelahnya.
Saya bahagia bisa bekerjasama dengan tim
dakwah dari Medan. Senang pula bisa berkenalan dengan teman-teman seperjuangan
dari Aceh dan Jakarta. Senang bisa meneguk ilmu menulis dari mbak Lilis
Holisah. Senang bisa merasakan semangat perjuangan bersama para muslimah
nusantara.Wa ma taufiqi illa billah.
0 Comments
Post a Comment