Kupandangi balita itu yang hanya terdiam saat
sang ibu menghela dengan kasar tangannya seraya bilang, “ntah apa aja la
kerjaannya”. Gadis kecil itu baru saja dimarahi karena memegang sebuah benda di
kedai saat ikut ibunya belanja. Benda itu dianggap nggak layak dipegang si
anak, karena kotor dan baunya tak sedap. Ingin sekali aku bilang, “Anak itu
bukan sedang berbuat nakal. Tapi dia ingin tahu benda yang ada disekitarnya”.
Sebenarnya si ibu cukup menyebut nama benda itu, lalu dengan lembut melarang
sang anak agar jangan memegangnya karena sebuah alasan tertentu. Dengan begitu,
ada kebaikan yang bisa didapat. Anak dapat tambahan kosa kata. Yaitu nama si
benda. Sekaligus informasi tentangnya, bahwa itu benda yang cukup dilihat saja,
tidak perlu dipegang. Ekspresi si balita, menunjukkan kalau dia sering
diperlakukan kasar oleh ibunya. Tanpa sadar, si ibu sedang membentuk anak
pemalu, penakut dan minderan. Beginilah kalau jadi ibu otomatis.
Lain hari aku melihat seorang ibu menyisir
dengan kasar rambut anaknya yang ikal, lebat dan panjang. Ia terlihat kesal.
Mungkin karena kesulitan menyisir rambut anaknya. Atau karena lain hal, wallahu
a’lam. Yang jelas kepala si anak sampai dihempas-hempaskan agak keras.
Kalau memang masalah rambut yang sulit disisir, yah gimana nggak sulit, dia
menyisir dengan sisir bergigi rapat dan berukuran kecil. Trus, di sisir dari
pangkal. Terang aja susah, sisir itu nyangkut di tengah jalan. Nggak tersisir
sampai ujung rambut. Seharusnya si ibu bisa mengatasi dengan menggunakan sisir bergigi
jarang dan berukuran besar serta mulai menyisir dari ujung rambut. Bisa juga
ditambah dengan pelembab rambut atau minya rambut biar tambah mudah
menyisirnya.
Tapi yang jadi inti, sebenarnya bukan teknik
menyisir si ibu yang salah. Melainkan bagaimana seorang ibu bersikap terhadap
anaknya ketika si anak membuatnya kesal. Dengan berbuat kasar, hemm,
benar-benar bukan sikap yang baik. Apa si ibu nggak sadar bahwa dia sedang
menempa si anak menjadi seorang yang berperangai kasar. Ibu yang ini pun
kelihatannya demikian, menjadi ibu karena otomatis.
Waktu aku pulang dari suatu tempat, dipinggir
jalan terlihat dua orang ibu dan anak balita berjalan beriringan. Sesekali si
ibu membenturkan pelan helm yang dibawanya ke kepala si anak disertai wajah
sangar. Si anak hanya terisak. Semakin keras suara isak tangisnya, semakin
bertambah daya bentur helm itu. Kasihan. Mungkin memang si anak yang salah.
Biasanya anak-anak merengek di jalan saat ada keinginannya yang tak dipenuhi
ibunya. Biasanya pula si ibu jengkel menyaksikan tingkah laku anaknya
seperti itu. Kalau nggak diteriaki, ya kayak nasib anak ini, ditoyor (dipukul)
kepalanya. Hemm, kalau saja si ibu bisa bersikap bijak. Cukup diam sambil
membelai kepala si anak dan menggandeng tangannya saja, tanpa bentakan, tanpa
pukulan, insya allah, tangisnya berhenti. Kalau masih beralasan, si anak
bereaksi lebih keras dari sekedar isak tangis, ya tetap diam saja. Udah capek
juga si anak diam. Jangan lukai dia dengan sikap kasar kita. Tapi begitulah
kalau menjadi ibu otomatis.
Ibu otomatis, istilah ini ku dapat dari seorang
pakar sosial kemasyarakatan, Iwan Januar. Beliau bilang, bahwa perempuan bisa
saja otomatis bergelar ibu karena dia melahirkan, tapi dia tidak bisa otomatis
menjadi pendidik. Sementara, mendidik adalah tugas ibu. Jadi, kalau mau jadi
ibu ideal, ibu berkualitas yang melahirkan anak-anak cerdas dunia akhirat,
nggak bisa hanya bergelar ibu otomatis. Para muslimah, jauh sebelum menikah
harus mengisi dirinya dengan ilmu mendidik anak yang diajarkan Islam. Kalau ibu
otomatis, memperlakukan anaknya sebagaimana perlakukan orang-orang terdahulu
kepadanya. Kalau kebetulan dididik dengan baik, ia akan wariskan itu pada
anaknya. Begitu sebaliknya. Kalau ibu cerdas ala Islam akan memperlakukan
anaknya sesuai petunjuk Al Qur’an dan As sunnah. Dia akan menyaring, hanya
nasehat maupun pengalaman baik dari orangtuanya yang akan dia teruskan kepada
anaknya. Hasilnya, bukan anak yang minderan, pemarah dan kasar seperti
anak-anak sekarang. Melainkan akan seperti generasi Islam terdahulu, layaknya
Imam syafi’i dan teman-temannya.
Namun, kita sulit berharap dalam masyarakat
saat ini akan muncul ibu-ibu tangguh ala Islam. Kalaupun ada, jumlah mereka
sangat sedikit. Sebab, kita hidup dalam sistem sekuler, dimana masyarakat saat
ini memandang agama sekedar urusan ibadah mahdhoh saja, tidak mengatur
kehidupan. Paham sekuler membentuk pribadi berpikiran pendek. Mereka mencari
jodoh dengan pacaran. Lalu waktunya menikah tiba, yang dipirkan pestanya,
undangannya, baju pernikahannya, bulan madunya dan pernak-pernik lainnya. Sudah
menikah, tinggal mikirin mau hamil, nyiapain biaya melahirkan, nama bayi, baju
bayi, dan pernak-perniknya. Lah, mikirin dan nyiapin ilmu mendidiknya kapan?
Yah paling mengamati sekitar dan berdasarkan pengalaman aja. Buku-buku
mendidik anak bertebaran dimana-mana, tapi para muslimah jarang yang terdorong
untuk membacanya.
Pendidikan saat ini pun tidak punya program
untuk menyiapkan para ibu tangguh, tidak memberi para muslimah penyadaran
bagaimana melakukan peran utamanya sebagai ummu wa rabbatul bait (ibu dan
pengurus rumah tangga). Justru, dorongan yang ada saat ini adalah bagaimana agar
perempuan berperan aktif di luar rumah dengan berkarir. Di alam kapitalis
sekuler ini, kaum feminis lebih mendapat tempat untuk memasarkan model ibu ala
barat. Para ibu pencetak generasi Islam hanya akan banyak bermunculan saat
sistem kehidupan Islam diterapkan dalam naungan Khilafah. Wa ma taufiqi illa
billah.
saat ini banyak Ibu2 tangguh...tidak hanya dalam melakukan pekerjaan seputar rumah tangga, merawat dan mendidik anak, namun juga ibu2 tangguh mencari nafkah..mulai dari sektor informal hingga pekerja kantoran..
BalasHapus