![]() |
“HAM
itu memang bukan dari Islam, tetapi ia memiliki sisi positif yang mesti
diperhitungkan. Contohnya, seorang guru tidak akan memukul muridnya karena
takut melanggar HAM si murid”. Seorang teman berstatus aktivis dakwah kampus
berkata demikian kepada saya. Bisa diterima argumennya? Sekilas pendapat
tersebut tampak benar. Tetapi jika dipandang dari kacamata Islam, tunggu dulu.
Islam
mengajarkan seorang muslim untuk memandang segala sesuatu berdasarkan halal
haram, bukan sekedar manfaat. Salah satu dalilnya terdapat didalam Al Qur’an
surat Al Ahzab ayat 36 yang berbunyi : ”Dan tidaklah patut bagi laki-laki
yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”.
Jika
mengambil sesuatu karena manfaat, maka yang haram bisa jadi halal karena ada
manfaatnya. Sebaliknya yang halal bisa jadi haram saat tak ada manfaatnya bagi
manusia. Itu artinya ketetapan Allah dapat berubah-ubah sesuai manfaat yang
ingin diraih oleh seseorang dari sesuatu hal. Pacaran misalnya, Allah telah
menetapkan perbuatan tersebut terkategori haram. Namun bagi pelakunya pasti
merasakan manfaat dari hubungan yang tidak diridhai Allah itu. Si cewek akan
merasa senang ada yang nraktir makan, ada yang antar jemput, ada yang ngapel malam
mingguan. Atau kalau yang sedikit Islami, ada yang ngingatin sholat,
ada teman belajar bareng dan lain sebagainya. Lantas dengan manfaat
sebanyak itu, bisakah pacaran menjadi halal? Aktivis pacaran sekalipun tahu
pasti pacaran itu bukan hubungan sah dimata Allah. Nikah itu yang halal,
sebaliknya sekali lagi, pacaran haram.
Yang
disayangkan, sudah terlanjur menjadi kebiasaan di masyarakat untuk mengukur
segala sesuatu dari sisi positifnya, alias manfaatnya. Terpaksa dimaklumi.
Karena secara jujur kita mengakui kalau cara pandang Islam memang jauh dari
kehidupan kaum muslim era kini. Tetapi kalau yang memiliki pemikiran
seperti itu adalah mahasiswa, aktivis dakwah pula, ironis sekali. Bukankah
seharusnya pengemban dakwah adalah dia yang ingin memperbaiki pemikiran umat
dari yang tidak Islam menjadi Islam? Bukankah aktivis dakwah adalah mereka yang
akan selalu menjaga kemurnian ide Islamnya tanpa tercampur dengan pemahaman
diluar Islam?
Pengertian
HAM banyak sekali. Seperti yang diungkapkan oleh beberapa tokoh. Diantaranya, menurut
David Beetham dan Kevin Boyle, HAM dan kebebasan-kebebasan fundamental adalah hak-hak
individual yang berasal dari kebutuhan-kebutuhan serta kapasitas-kapasitas
manusia. Austin dan Ranney mengatakan bahwa HAM adalah ruang kebebasan
individu yang dirumuskan secara jelas dalam konstitusi dan dijamin
pelaksanaannya oleh pemerintah. Miriam Budiardjo mengatakan bahwa hak-hak asasi
manusia sebagai hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya
bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam masyarakat. Dan banyak
lagi pendapat lainnya. Belum lagi pengertian yang terdapat di dalam
perundang-undangan, bisa lebih banyak lagi.
Semua
pengertian HAM yang diungkapkan oleh semua pihak intinya tetap sama. Bahwa HAM
berarti kebebasan individu untuk berbuat apapun dalam kehidupannya. Manusia
dianggap berhak melakukan sesuatu yang ia anggap baik. Tidak ada yang boleh
ikut campur. Catatannya, HAM seseorang tidak boleh melanggar HAM orang lain.
Pengertian HAM yang begitu terdengar ekstrim disebabkan ide HAM memang lahir
dari dunia barat. Barat tak mengenal apa yang disebut sebagai aturan agama.
Tuhan bagi mereka telah mati di tiang salib.
Meski
di Indonesia atau negeri-negeri timur lainnya HAM sudah dimaknai sendiri
menurut keadaan setempat, tetapi sebenarnya intinya tetap sama yaitu kebebasan.
Termasuk alasan seorang mahasiswa dan sejumlah alumni dari fakultas hukum
Universitas Indonesia yang meminta nikah beda agama dilegalkan pun itu karena
alasan HAM. Mereka menganggap peraturan yang ada selama ini telah memasung
kebebasan sepasang kekasih beda agama untuk meresmikan hubungan mereka lewat
lembaga pernikahan. Bagi mereka negara telah melanggar HAM, sebab negara
menganggap pernikahan beda agama tidak sah. Ide HAM yang menjadi alasan para
pelaku LGBT (lesbian, gay, be seksual dan transgender) untuk minta dibiarkan
eksis ditengah-tengah kehidupan ini. Padahal keberadaan mereka salah satu
penyebab menyebarnya penyakit AIDS. Ide HAM pula yang menjadi alasan aborsi
dilegalkan. Betapa rusaknya kehidupan kita dengan adanya ide HAM ini.
Jangan
pernah dilupakan bahwa ide HAM sebenarnya diberlakukan curang oleh Barat. Coba,
mana HAMnya para bocah yang tak sempat menikmati hidup lebih lama karena
nyawanya melayang oleh ulah israel laknatullah. Mana HAMnya para muslimah
Palestina yang diperkosa oleh manusia berwatak kera itu. Mana HAMnya kaum
muslim di banyak belahan dunia lainnya yang menderita akibat perbuatan
orang-orang kafir itu? Mana HAMnya kaum muslim yang ingin agamanya terjaga oleh
pelaku penyesatan agama seperti ahmadiyah? Mana HAMnya para pramugari yang tak
diizinkan menggunakan kerudung meski mereka meyakini kerudung adalah sebuah
kewajiban agama. Untuk hal-hal demikian sepertinya HAM tak berlaku. Para
pengusung HAM terutama barat diam melihat kaum muslim tersakiti. Bahkan
merekalah sebenarnya pelaku kejahatan itu. Lebih tepatnya, HAM tidak berlaku
bagi kaum muslim. HAM hanya berlaku bagi mereka yang ingin melanggar aturan
Allah Swt.
Jadi,
bila ingin mempertahankan ide HAM, sama halnya kita mempertahankan kerusakan
bagi kehidupan kita. Pengakuan terhadap ide HAM, sama halnya kita mengizinkan
adanya pernikahan beda agama yang serupa dengan perzinahan. Atau pula secara
tidak langsung kita ingin mengatakan bahwa kita tidak terganggu dengan
keberadaan pelaku LGBT dan maraknya aborsi. Ide HAM dan ide-ide lainnya yang
berasal dari barat tidak akan pernah berlaku adil kepada kaum muslim. Sadarkah
wahai para pengemban dakwah? Sadarkah wahai mutiara umat?
0 Comments
Post a Comment